PEREMPUAN PEJUANG PANGAN. Tujuh orang perempuan menerima penghargaan Perempuan Pejuang Pangan 2018, dari Oxfam, Kamis (20/12) di Mataram.(MP/Istimewa) |
MATARAM - Oxfam Indonesia bersama para mitra didukung penuh oleh Direktorat Jenderal Pengentasan Fakir Miskin Kementerian Sosial Republik Indonesia memberikan penghargaan anugerah Perempuan Pejuang Pangan 2018 kepada tujuh perempuan desa yang berkontribusi nyata di sektor pangan.
Penghargaan diserahkan di Mataram, Kamis (20/12) kepada tujuh perempuan, antara lain, Yustina Jari dari Flores Timur (NTT), Syaeun dari Lombok Timur (NTB), Titik Kastiah dari Luwuk Banggai (Sulteng), Naema dari Kepulauan Aru (Maluku), Bernadette dari Flores Timur (NTT), dan Sartini Aisyah dari Karang Anyar (Jawa Tengah).
"Kami menyampaikan bahwa ke tujuh pemenang tersebut merupakan para champions yang mewakili perempuan - perempuan hebat yang memiliki kompleksitas permasalahan sosial, ekonomi dan budaya terkait dengan kondisi pangan di lingkungan masing - masing," kata Manager Program Hak atas Pangan Oxfam Indonesia, Widiyanto.
Tujuh perempuan pejuang pangan telah dipilih dan berasal dari beberapa wilayah di Indonesia oleh para mitra Oxfam di Indonesia.
Mereka umumnya adalah penghasil pangan skala kecil seperti petani dan nelayan perempuan yang berasal dari pedesaan, pesisir atau perkotaan.
Mereka menghasilkan pangan dan aktif dalam kegiatan pertanian atau perikanan dan menginspirasi serta memberdayakan perempuan petani atau nelayan lain.
“Program Perempuan Pejuang Pangan ini berupaya memberi pengakuan atas peran dan mengapresiasi perempuan sebagai kelompok rentan namun mereka terbukti sebagai kelompok yang tangguh, dan berdaya untuk peningkatan ketahanan pangan,” kata Widiyanto.
Tujuh duta perempuan pejuang pangan ini memberdayakan sekitar 500 kepala rumah tangga petani dan nelayan kecil dalam menghasilkan pangan atau setara bagi pemenuhan 2500 jiwa kebutuhan pangan mereka.
Mereka juga telah berperan dalam mempertahankan sumber pangan lokal yang sesungguhnya telah menjadi bagian tradisi pangan lokal sebagai sumber pangan dan tradisi kebudayaan lokal di tempat mereka tinggal yang berada di kawasan terpencil di Indonesia.
Menurut Widiyanto, ke tujuh perempuan pejuang pangan kali ini merupakan perempuan - perempuan yang berhasil menggerakkan 500 kepala keluarga yang mencukupi kebutuhan pangan bagi 2.500 jiwa di lingkungannya masing-masing.
Meski mereka harus menghabiskan waktu lebih dari separuh harinya untuk bekerja di ladang, di sawah, di pesisir pantai, ataupun di kebun, mereka tetap tidak dianggap sebagai produsen pangan yang utama.
Melalui serangkaian intervensi yang mereka lakukan sangat besar hasil positif yang bisa diraih.
Masyarakat miskin makin terangkat penghidupannya, masyarakat korban bencana alam tidak mengalami kelaparan, para perempuan kepala keluarga makin percaya diri atas perannya, komunitas yang terlibat dalam konflik tetap semangat dalam memperjuangkan haknya.
Widiyanto menjelaskan, Oxfam memiliki kriteria ketat dalam pemilihan perempuan pejuang pangan.
Kriteria pertama adalah perempuan yang terlibat langsung dalam kegiatan produksi pangan di sektor pertanian dan perikanan.
Dua sektor ini merupakan sektor utama bagi pencapaian ketahanan pangan, dari level komunitas hingga nasional.
Kriteria kedua adalah mereka harus berdaya dan menggerakkan komunitas.
Ia mengatakan, tujuh perempuan pejuang pangan ini tidak bekerja bagi pemenuhan kebutuhan pangan tingkat keluarga saja, akan tetapi berhasil mengajak dan terlibat langsung bersama komunitas untuk melakukan perubahan di lingkungan sosial setempat.
Kriteria ketiga adalah perempuan pejuang pangan ini mampu menjadi inspirasi gerakan perubahan.
"Perempuan mengalami situasi rentan dan ketidakadilan di banyak aspek, akan tetapi dengan semangat yang luar biasa, para perempuan pejuang pangan ini mampu memberikan contoh dan semangat bagi perempuan - perempuan lainnya untuk mencapai kesetaraan bahkan lebih dari itu," katanya.
Widiyanto memaparkan, Indonesia merupakan negara besar dengan kekayaan alam yang sangat besar, akan tetapi memiliki kerentanan-kerentanan terhadap perempuan yang sangat tinggi.
Perempuan mengalami keterbatasan akses, kontrol dan pada akhirnya kurang mendapatkan manfaat atas kekayaan alam tersebut.
Perempuan mengalami stigma dan tantangan dari kebudayaan yang mengekang dengan menempatkan perempuan sebagai lapisan kedua di masyarakat.
Harus diakui ini masih dialami oleh sebagian perempuan di Indonesia.
Selain itu perempuan mengalami diskriminasi terhadap akses.
Perempuan telah secara nyata berperan dalam kegiatan produksi pangan, akan tetapi perannya tersebut tidak diakui dalam berbagai kebijakan. Pada akhirnya perannya hilang dan dilupakan.
Oxfam memiliki komitmen kuat untuk mendorong kesetaraan dan pemberdayaan perempuan.
"Kebijakan Oxfam adalah dengan menempatkan perempuan sebagai pusat dari seluruh program yang kami lakukan," katanya.
Penganugerahan ini hanya satu dari sekian upaya Oxfam untuk mempromosikan pengakuan peran perempuan dalam kegiatan pertanian dan pangan.
"Bagi Oxfam sangat penting memberikan investasi kepada perempuan karena ia mampu men-generate produksi pangan," katanya.
Oxfam berharap dengan adanya penganugerahan ini para perempuan hebat ini bisa memperluas dukungan dan pengaruhnya bagi komunitas lain sekitar.
Tentu saja dukungan semua pihak, Pemerintah, lembaga pendamping, lingkungan komunitas yang apresiatif menjadi kunci utama untuk mewujudkannya.
"Kepada pemerintah, penganugerahan ini diharapkan menjadi pemicu sekaligus pemantik tugas - tugas kepemerintahan untuk terlibat aktif memberikan dukungan dan pengakuan kepada para perempuan pejuang pangan berdaya ini," katanya.
Kepala Dinas Sosial NTB, Ahsanul Khalik mengatakan, penghargaan perempuan pejuang pangan itu menunjukan bahwa perempuan memiliki kontribusi besar, termasuk dalam menurunkan angka kemiskinan melalui ketahanan pangan.
"Selama ini stigma bahwa perempuan selalu berada pada posisi rentan, bisa mulai dihilangkan. Karena sebenarnya perempuan juga bisa berkontibusi," katanya.
Salah satu penerima penghargaan,Yustina Jari mengaku bangga dan mengpresiasi penghargaan tersebut.
Yustina Jari (39) yang biasa disapa Mama Jari lahir dan besar di Desa Kimakamak, Kecamatan Adonara Barat, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Ia mengembangkan berbagai tanaman pangan lokal, seperti Sorgum, Jewawut, Jagung varietas lokal, dan jenis kacang-kacangan, yang menginsipirasi 30 anggota Kelompok Tani Desa Kimakamak, korban kekeringan di desanya.
Baginya, dengan mengembangkan berbagai jenis tanaman pangan lokal yang adaptif kekeringan mampu menjawab penurunan produksi pangan sebagai dampak perubahan iklim yang terjadi, mencukupi kebutuhan pangan, dan berhasil mengembalikan minat perempuan lain untuk kembali bertani.
"Saya berharap dapat memperluas gerakan penanaman varietas lokal ini kepada perempuan lain, baik di desa sediri maupun di luar desanya sebagai bentuk adaptasi perubahan iklim," katanya.
Program Perempuan Pejuang Pangan diselenggarakan Oxfam di Indonesia bersama Kementerian Sosial Republik Indonesia.
Program penghargaan diselenggarakan setiap dua tahun sekali ditujukan kepada para perempuan penghasil pangan skala kecil yang memberi sumbangan kepada komunitas mereka, perempuan yang tangguh dalam menghadapi situasi rentan lingkungannya, perempuan yang menggerakan komunitas untuk menghasilkan pangan, perempuan yang memberi inspirasi bagi aktifitas pertanian dalam menghadapi kerentanan iklim serta perempuan yang berhasil mempertahankan tradisi pangan lokal sebagai sumber pangan dan tradisi kebudayaan lokal di kawasan terpencil di Indonesia. MP02