Melihat Kehidupan Umat Muslim di China, Masjid Huangcheng dan Harmoni di Kota Chengdu

Redaksi
Kamis, Januari 03, 2019 | 22.52 WIB Last Updated 2019-01-03T14:52:45Z
MASJID KUNO DI CHINA. Rombongan UNU NTB berpose bersama pengurus Masjid Kuno di Kota Sanya, Provinsi Hainan, China. (MP/Foto: Dok. UNU NTB)

MATARAM - Meski minoritas, penduduk muslim di Provinsi Sichuan, China, masih bisa beribadah menjalankan syariat agama dengan aman dan nyaman.

Selama tidak mengganggu ketertiban umum dan kepentingan negara, seluruh umat beragama di China bebas menjalankan keyakinan beragama mereka.

Geliat Islami cukup terasa di Kota Chengdu, ibukota Provinsi Sichuan. Seperti yang dirasakan rombongan Universitas Nahdlathul Ulama Provinsi Nusa Tenggara Barat (UNU NTB), saat berkunjung ke Sichuan, China, pertengahan Desember 2018.

"Ternyata kami tidak sulit untuk menunaikan sholat di Sichuan, karena ada Masjid cukup besar di Kota Chengdu," kata Rektor UNU NTB, Hj Baiq Mulianah.

Masjid Huangcheng terletak di pusat Kota Chengdu. Di dekatnya ada Tian Fu Square, pusat perbelanjaan terkemuka, lapangan alun-alun Kota tak jauh dari patung raksasa Mao Zedong, tokoh pendiri Republik Rakyat China.

Konon nama masjid Huangcheng yang berarti Pagar Istana, diambil karena Masjid berada di lingkar istana kuno zaman dulu.

Baiq Mulianah mengaku takjub dengan toleransi dan harmoni masyarakat di Kota Chengdu.

"Kota ini berpenduduk 14 juta jiwa, dan penduduk muslim hanya 2 ribu jiwa. Namun sebagai minoritas, muslim di sini bebas melaksanakan kegiatan ibadah, interaksi sosial bahkan juga aktivitas perekonomian. Tidak ada diskriminasi," kata Mulianah.

Mengunjungi Masjid Huangcheng, Baiq Mulianah dan rombongan UNU NTB sempat berbincang dengan pengurus masjid dan masyarakat muslim di sana.

Menurut warga Muslim di sana, mereka hidup, beraktivitas, dan melaksanakan ibadah dengan nyaman dan baik-baik saja di Chengdu.

"Malah pengurus Masjid Huangcheng bilang bahwa Masjid Huangcheng juga direnovasi dengan biaya pemerintah (China). Dia bilang, umat agama apa pun di China tidak ada diskriminasi. Selama mereka tidak mengganggu kepentingan umum dan negara, maka keamanan dan kenyamanan mereka dijamin negara," kata Mulianah mengutip pengakuan masyarakat  muslim di Chengdu.

Bangunan Masjid Huangcheng Chengdu cukup besar sekitar 7 are, sementara halamannya sangat luas mencapai 1 hektare. Masjid yang berusia ratusan tahun ini digunakan oleh lebih dari 2000 penduduk muslim di Chengdu.

MASJID HUANGCHENG. Umat muslim di Masjid Huangcheng, Kota Chengdu, Provinsi Sichuan, China. (MP/Istimewa)  

Menurut Mulianah, pemerintah China memang melarang pendidikan keagamaan masuk dalam kurikulum pendidikan nasional, namun setiap warga negaranya tetap bebas menganut dan menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing.

"Saya tanya ke masyarakat, mereka bilang kalau mau belajar agama di sekolah-sekolah nggak ada. Semua agama, mau Islam, Kristen, Budha, Hindu, nggak boleh masuk kurikulum. Tapi pemerintah menyerahkan urusan agama itu ke urusan keluarga masing-masing," katanya.

Chendu menjadi Kota paling maju di China saat ini. Sejumlah destinasi wisata juga banyak tersedia di Kota ini. Menariknya, Chengdu bagaikan perpaduan lintasan dua zaman, kuno dan modern kekinian.

Toh bagi traveler muslim, termasuk pelancong dari Malaysia dan Indonesia, tidak terlampau sulit menemukan restauran atau warung makan halal di Kota ini. Di sekitar Masjid Huangcheng sejumlah restaurant dan warung halal tersedia, yang dikelola warga muslim setempat.

Harmoni dan toleransi antar umat beragama nampak menjadi budaya yang sudah sangat mengakar di Chengdu. Di perkampungan muslim sekitar Masjid Chengdu, banyak juga penduduk lokal yang berhijab.

"Mereka juga sangat respek pada tamu. Tanpa kita memberi tahu bahwa kita muslim, mereka bisa melihat dari aksesoris yang kita pakai. Satu ketika ada warga melintas membawa ternak Babi, itu dia langsung bergegas agar ternaknya berlalu, dan kemudian dia minta maaf pada (rombongan) kami. Ini yang saya rasa luar biasa," katanya.

Yang membanggakan, penduduk muslim di Chengdu rata-rata mengenal tokoh Indonesia, Presiden RI ke 4 KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Seorang pengurus Masjid Huangcheng di Kota Chengdu, malah menunjukan kaos bergambar Gus Dur yang ia kenakan, pada rombongan UNU NTB.

"Dia bilang pernah juga bertemu dengan Gus Dur, waktu berkunjung ke Beijing saat Gus Dur masih menjabat Presiden," kata Baiq Mulianah.

Potret toleransi beragama juga sangat terlihat di Kota Sanya, Provinsi Hainan, China. Kota wisata ini menjadi Kota kedua yang dikunjungi rombongan UNU NTB.

"Di Hainan tepatnya di Kota Sanya itu ada satu distrik yang penduduknya mayoritas Islam. Ada enam Masjid di sana dan semua menaranya pakai toa (pengeras suara) untuk kumandangkan adzan," kata Baiq Mulianah.

Jumlah penduduk muslim di Sanya tercatat lebih dari 20 ribu jiwa, dan mereka semua hidup dan bermasyarakat tanpa ada diskriminasi dari pemerintah dan negara.

Baiq Mulianah mengatakan, Kota Sanya bisa dibilang Hawainya China. Kota ini berdiri di pulau tersendiri, yang kini tengah giat dipromosikan dengan konsep wisata moslem friendly.

"Kota ini sangat indah dan bersih. Kami banyak bertemu wisatawan muslim dari Malaysia dan Indonesia juga, ada rombongan dari Kediri (Jawa Timur). Kita juga sempat bertemu dengan wisatawan dari suku Uighur dan sempat berbincang juga," kata Baiq Mulianah.

Wisatawan Uighur yang datang dari Provinsi Xinjiang saat itu berjumlah 25 orang, terdiri dari beberapa keluarga. Dalam perbincangan, mereka juga mengaku baik-baik saja.

"Saya tanya apakah mereka didiskriminasi?, dan mereka jawab kalau benar didiskriminasi tidak mungkin mereka bisa berwisata ke Sanya. Mereka juga bilang sedang mempromosikan Xinjiang sebagai destinasi halal tourism," kata Baiq Mulianah.

Menurut Baiq Mulianah, dari kunjungan rombongan UNU NTB ke dua kota di China itu, sama sekali tak nampak ada diskriminasi terhadap umat muslim di sana. Semua warga negara diperlakukan sama, selama mereka tidak mengganggu kepentingan umum dan tidak mengganggu negara, apapun agama dan kepercayaannya.

"Sesama masyarakat juga mereka harmonis dan toleran. Karena memang ternyata ada budaya di sana yang tertanam sejak kecil bahwa hidup dan tindakan jangan sampai merugikan orang lain," katanya.

Prinsip hidup dan tindakan jangan sampai merugikan orang lain, bahkan juga berlaku dalam kehidupan keseharian masyarakat di sana dalam hal kecil.

Misalnya, saat makan di restauran, masyarakat di sana harus on time, tepat waktu. Sebab jika lama dan menghabiskan waktu yang berlebihan, maka orang lain yang hendak makan akan menunggu lebih lama.

"Itu kami rasakan di Sanya, sangat tertib dan on time. Jadi kalau sudah pesan jam 12 siang, maka harus on time, karena kalau lewat maka kita dianggap merugikan orang lain yang juga hendak makan setelahnya. Ini contoh kecil kan, tapi luar biasa," katanya.

Baiq Mulianah dan rombongan UNU NTB berkesempatan berkunjung ke Provinsi Sichuan dan Provinsi Hainan di China, 16-24 Desember 2018 lalu, atas undangan Konjen China di Denpasar, Gao Haodong.

Sebelumnya pada akhir Agustus 2018 lalu, Konjen China di Denpasar, Gao Haodong bersama rombongan berkunjung ke Lombok untuk menyampaikan rasa empati dan bantuan untuk korban gempa bumi melalui Posko NU Peduli di UNU NTB.

Haodong menyampaikan pemerintah dan masyarakat China bisa merasakan apa yang dirasakan masyarakat NTB yang dilanda bencana gempa bumi, karena China juga pernah merasakan bencana yang sama di Sichuan pada 2008 lalu.

Haodong juga mengundang jajaran UNU NTB untuk berkunjung ke China dan melihat bagaimana Sichuan bisa bangkit kembali pasca bencana. MP02

Artikel ini pernah dimuat di situs berita www.kataknews.com
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Melihat Kehidupan Umat Muslim di China, Masjid Huangcheng dan Harmoni di Kota Chengdu

Trending Now