Art Therapy, Cara The Red Pencil Melepas "Trauma Tak Bersuara" Anak-Anak Korban Gempa di Lombok Utara

MandalikaPost.com
Rabu, Maret 06, 2019 | 11.44 WIB Last Updated 2019-03-06T08:43:53Z
ART THERAPY. Anak-anak SD di Dusun Semokan menggambar bersama dalam program art therapy. (Foto: Dok. Yayasan Pemuda Peduli)


LOMBOK UTARA - Gempa bumi Lombok Juli-Agustus 2018 sudah enam bulan berlalu.

Tapi trauma akibat gempa besar yang merusak sebagian wilayah di Lombok, masih dirasakan banyak orang, khususnya anak-anak dan kaum perempuan di Lombok Utara, daerah paling parah terdampak bencana.

The Red Pencil, bekerjasama dengan Yayasan Pemuda Peduli menggelar rangkaian art therapy untuk membantu anak-anak dan kaum perempuan di Dusun Semokan, sebuah kawasan terpencil di Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB).

The Red Pencil merupakan organisasi kemanusiaan internasional yang berkantor di Jenewa, Singapura, Brussels dan Dubai.

Sekitar 40 anak usia SD dan SMP berkumpul di sekolah darurat satu atap, di Dusun Semokan, Senin 18 Februari lalu, selepas jam sekolah.

Dengan kertas dan peralatan gambar, mereka kemudian mulai melukis. Sesekali bercanda dan tertawa dengan teman di sampingnya.

"Untuk anak-anak ini perkembangannya bagus, dari lukisan dan pilihan warna, mereka sudah mulai bisa melepas trauma," kata Emma Halim, seorang pegiat Art Therapist dari The Red Pencil.


Program terapi seni di Dusun Semokan, Desa Sukadana, Lombok Utara. (Foto: Dok Yayasan Pemuda Peduli)

Emma sudah hampir dua bulan melakukan terapi seni di Dusun Semokan.

Sasarannya ialah anak-anak dan kaum perempuan di gubuk Semokan Ruak dan Batu Ringgit, dua wilayah lebih kecil yang termasuk dalam wilayah Dusun Semokan.

Jumlah mereka bisa mencapai 100 orang, anak dan kaum perempuan.

Menurut Emma, dengan art therapy maka anak-anak dan kaum perempuan di Dusun Semokan bisa mengekpresikan dan menumpahkan perasaan mereka dalam karya seni.

"Kami terapi menggunakan media seni visual. Kita juga ajarkan beberapa guru di sini untuk melakukan terapi seni ini," katanya.

Menurut Emma, saat pertama kali menggelar art teraphy awal Januari 2019 lalu, kondisi anak-anak dan kaum perempuan masih sangat trauma.

Apalagi ketika hujan deras atau angin kencang. Dan juga, hingga Februari lalu beberapa kali tremor gempa masih dirasakan di Lombok.

Tingkat keresahan dan trauma bisa diukur dari gambar yang dilukis, juga pilihan warna yang digunakan anak-anak dan kaum ibu peserta terapi.
Dusun Semokan masuk dalam administrasi Desa Sukadana, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara.

Kawasan ini tergolong terpencil, dan masyarakatnya masih sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan kearifan lokal.

Gempa bumi yang terjadi Juli-Agustus 2018 silam membuat hampir semua rumah penduduk di Dusun Semokan rusak berat.

Dan saat ini, kondisinya masih sama. Jarak Dusun Semokan yang jauh dari pusat pemerintahan Lombok Utara, membuat rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana di Dusun ini berjalan sangat lamban.

Kepala Dusun Semokan, Dulsalam mengatakan, jumlah keluarga di Semokan sekitar 400 KK. Dari jumlah itu, sekitar 179 rumah rusak karena gempa bumi.

"Sampai sekarang baru sekitar 75 rumah yang akan diperbaiki," katanya.

Yang paling parah adalah bangunan Posyandu. Hingga saat ini Posyandu masih rusak dan belum dibangun Posyandu sementara.

Untuk keperluan Posyandu, kader Posyandu dan masyarakat yang memiliki balita mengunakan berugak atau bangunan dari kayu di rumah Kepala Dusun.

Menurut Dulsalam, pemerintah daerah Lombok Utara sudah mendata rumah rusak, baik yang rusak berat, sedang, dan ringan.

Namun proses administrasi yang rumit dan sulit membuat proses pembangunan berjalan lambat.

Dulsalam mengakui, keberadaan Art Teraphy dari Red Pencil dan Yayasan Pemuda Peduli cukup membantu masyarakat setempat terutama anak-anak dan kaum perempuan.

Sebab, saat ini sebagian masyarakat masih tinggal di hunian sementara yang mereka bangun secara swadaya.

"Anak-anak dan perempuan ini kan yang paling rentan. Mereka pasti tidak nyaman sebelum bisa tinggal di rumah sendiri seperti dulu," kata Dulsalam.

Sementara itu, Issara Rizkya dari Yayasan Pemuda Peduli menjelaskan, Dusun Semokan di Desa Sukadana ini merupakan lokasi program pengembangan pendidikan Yayasan Pemuda Peduli sejak sebelum gempa terjadi.

Yayasan berbasis di Bandung, Jawa Barat ini, tadinya punya program pengiriman guru dan tenaga pendidik ke sekolah-sekolah filial.

"Awal 2018 itu, kami sudah mulai dengan program pendidikan. Kita tahu Dusun ini setelah browsing dan riset, ternyata ada sekolah filial di sini dan kita coba bantu dengan pengiriman guru," kata Acha, sapaan akrab Issara Rizkya.

Saat gempa bumi terjadi, Yayasan kemudian memutuskan melakukan bantuan tanggap darurat di Dusun ini.

Program trauma healing akhirnya juga dilakukan, dan pada 2019 Yayasan bekerjasama dengan The Red Pencil.

Acha mengaku ikut sedih dengan yang menimpa masyarakat Dusun Semokan.

Jauh dari pusat pemerintahan seolah membuat masyarakat di Dusun ini seperti terlupakan.

The Red Pencil's Marketing and Communication Manager, Joyce Zaide mengatakan, misi Red Pencil adalah untuk membawa manfaat terapi seni (seni, musik, tarian/gerakan) kepada anak-anak dan keluarga yang paling rentan di seluruh dunia.

Mereka adalah yang telah melalui keadaan kehidupan traumatis - bencana alam, perpindahan sebagai hasil dari zona konflik, perdagangan manusia, penyakit yang mengancam jiwa atau kekerasan dan pelecehan, dimana mereka tak bisa bersuara.

"Sejak awal kami pada tahun 2011, kami telah menjalankan misi di 24 negara dan berdampak pada lebih dari 17.000 penerima manfaat," katanya.

Joyce menjelaskan, art teraphy di Lombok dilakukan untuk membangun komunitas dan memulihkan harapan di antara anak-anak di sekolah darurat yang dikelola oleh mitra Yayasan Pemuda Peduli.

"Tujuannya adalah untuk memberikan penyembuhan trauma setelah mereka mengalami gempa bumi Lombok pada bulan Agustus 2018," katanya.

Sementara itu, Founder and Managing Director, The Red Pencil Humanitarian Mission, Laurence Vandenborre menjelaskan, dalam program di Lombok para guru juga diberikan pelatihan (Train-the-Trainer) dalam rangka mempertahankan dampak dari pekerjaan yang dilakukan dengan anak-anak.

Tujuan TTT sendiri adalah untuk memberikan keterampilan dan pengetahuan untuk menggunakan alat dan teknik seni kreatif dalam pekerjaan mereka dengan anak-anak.

Setelah masa tinggal dua bulan ini berakhir pada akhir Februari, Red Pencil melakukan penilaian penuh terhadap misi dan manfaatnya.

"Kami akan kembali ke tempat yang sama untuk penerima manfaat yang sama dalam beberapa bulan jika dianggap berharga bagi masyarakat. Ada tempat lain di Indonesia di mana kami berharap untuk campur tangan seperti Sulawesi,"kata Laurence. (*)

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Art Therapy, Cara The Red Pencil Melepas "Trauma Tak Bersuara" Anak-Anak Korban Gempa di Lombok Utara

Trending Now