DESA SUKARARA. Mahasiswa Program Studi D4 Usaha Perjalanan Wisata (UPW) Poltekpar Lombok, saat melakukan PKL di Desa Sukarara, Lombok Tengah. (Foto: Abdul Azis) |
LOMBOK TENGAH - Sebanyak 36 mahasiswa Program Studi D4 Usaha Perjalanan Wisata (UPW) Poltekpar Lombok, Rabu (20/3) berkunjung ke Desa Sukarara, Kecamatan Jonggat, Kabupaten Lombok Tengah dalam rangka Praktek Kerja Lapangan (PKL).
Bersama dosen pendamping, para mahasiswa ini menggali wawasan dan keilmuan tentang kain tenun khas Lombok, di masa Desa Sukarara merupakan salah satu desa sentra produksi tenun khas Lombok.
Dosen Prodi D4 UPW Polterpar Lombok, Supardi menjelaskan, kegiatan PKL diikuti 36 mahasiswa dan didampingi oleh 3 orang pendamping. Peserta praktek dibagi menjadi tiga kelompok yang masing-masing didamping oleh satu orang dosen.
"Setiap peserta atau mahasiswa diwajibkan membuat laporan tertulis, nantinya," kata Supardi, di sela-sela kunjungan, Rabu (20/3) di Desa Sukarara.
Dijelaskan, PKL berlangsung selama dua hari. Pada hari pertama para mahasiswa mengunjungi kawasan wisata tiga Gili yang ada di kawasan Sekotong Kabupaten Lombok Barat, yakni Gili Nanggu, Gili Sudak dan Gili Kedis.
Sepanjang perjalanan peserta di minta untuk menjelaskan tentang materi materi yang berkaitan dengan destinasi yang dikunjungi.
"Tujuannya agar mahasiswa bisa mengimplementasi teori yang didapat di bangku kuliah," katanya.
Supardi berharap dengan adanya Praktek Kerja Lapangan yang dilakukan itu, para mahasiswa akan lebih banyak mendapat pengalaman di lapangan.
"Sehingga saat lulusnya nanti bukan mencari pengalaman lagi, namun mereka mencari financial," katanya.
Hal itu juga akan dilakukan untuk mahasiswa semester IV yang rencananya akan berangkat PKL menuju Bandung Jawa Barat dan Yogyakarta.
Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) HPI Kabupaten Lombok Tengah yang juga pemilik Bahri Artshop, Syamsul Bahri menerima baik kunjungan para mahasiswa Poltekpar Lombok tersebut.
Syamsul Bahri pun menjelaskan tentang kain tenun khas Lombok yang merupakan ikon produk Desa Sukarara.
Ia menjelaskan dari sisi sejarah, filosofi dan juga proses pembuatan kain tenun.
"Di Desa Sukarara khususnya perempuan diwajibkan untuk bisa menenun, kalau belum bisa menenun belum boleh menikah," kata Syamsul Bahri.
Menurutnya, hal ini merupakan kearifan lokal yang bertujuan agar kaum perempuan mau belajar untuk melanjutkan dan melestrarikan budaya menenun secara terun temurun.
"Karena proses pembuatan kain tenun membutuhkan kesabaran dan ketekunan hinga menjadi sebuah kain tenun atau songket," jelas Syamsul. MP03/Abdul Azis