MATARAM - Sumartini binti M Galisung (44 tahun), wanita asal Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kamis siang (25/4) tiba di Mataram, setelah menjalani hukuman pidana 10 tahun di penjara Annisa Almalas, Riyadh, Saudi Arabia.
"Saya berharap teman-teman yang mau kerja di Arab Saudi, jangan sampai berbicara yang tidak-tidak atau membawa jimat dan sebagainya. Karena di sana, tuduhan menggunakan sihir bisa mengancam nyawa kita," kata Sumartini, saat dijumpai di kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTB.
Sumartini mulai bekerja di Arab Saudi pada akhir 2007 silam di rumah majikan bernama Saad Mohammad Al-Dwiyan.
Awalnya semua baik-baik saja, bahkan Sumartini pun sempat menikmati gaji sebesar 600 real per bulan. Sampai pada pertengahan 2009, adik majikannya yang bernama Ibtisam (perempuan 19 tahun) diketahui menghilang dari rumahnya.
"Adik majikan itu menghilang selama 9 hari. Dan keluarga majikan menuduh saya menggunakan sihir dan guna-guna untuk menghilangkannya. Meski kemudian adik majikan itu pulang ke rumah, tapi saya tetap diperkarakan dan dibawa ke polisi," kata Sumartini.
Surmartini mengaku sempat disiksa selama satu bulan dan dipaksa mengakui menggunakan sihir oleh majikannya.
Penyiksaan dilakukan dengan mengikat Sumartini di kebun Kurma milik majikan, dan juga disetrum menggunakan kursi listrik.
Tak kuat menahan siksaan, Sumartini pun terpaksa mengakui tuduhan. Ia pun dibawa ke polisi dan diajukan ke pengadilan pada akhir 2009.
Pada Maret 2010, hakim pengadilan Riyadh menjatuhkan vonis mati bagi Sumartini.
"Saya didampingi pengacara dari KBRI waktu itu. Dia (pengacara) bilang, heran juga dengan hukuman di Arab, padahal adik majikan sudah pulang, tapi kok saya tetap dihukum mati," katanya.
Sumartini mengaku hanya bisa pasrah saat itu. Apalagi bersama dia juga ada Suwarnah binti Wartaning, TKW asal Depok yang juga bekerja di rumah majikan yang sama. Menurut Sumartini, Suwarnah lebih dulu dibawa ke polisi. Tuduhannya juga menggunakan sihir.
"Tapi Warnah dituduh menggunakan sihir untuk membuat rambut anak majikan rontok dan botak. Kita sama-sama disidangnya, hukumannya juga sama-sama sempat divonis mati," katanya.
Toh nasib berkata lain. Upaya KBRI Riyadh menggajukan banding atas kasus Sumartini ke Mahkamah Riyadh, akhirnya dikabulkan pada Desember 2011.
Pengadilan memutuskan mencabut hukuman mati, namun Sumartini dan Suwarnah tetap divonis hukuman penjara 10 tahun dan cambuk 1000 kali.
"Waktu dengar bebas dari hukuman mati ya saya senang. Tapi sama juga sedih, karena tetap harus jalani 10 tahun penjara, untuk kesalahan yang tidak pernah saya buat," akunya.
Berdasarkan surat pengantar dari KBRI Riyadh ke Gubernur NTB dan Disnaker Trans NTB, Sumartini sudah menjalani hukuman 10 tahun penjara sejak Januari 2009, dan dinyatakan bebas pada 23 April 2019.
Bisa bebas dan kembali ke kampung halaman membuat Sumartini merasa sangat lega. Apalagi sejak berangkat menjadi TKW pada 2007 silam, ia meninggalkan dua anaknya di kampung halaman.
"Sekarang anak saya yang besar sudah berusia 24 tahun, dan yang kecil 18 tahun. Saya tidak akan jadi TKW lagi, saya sangat lega kembali ke Indonesia," katanya.
Meski demikian Sumartini mengaku mengambil hikmah dari apa yang dialaminya. Selama 10 tahun di penjara Annisa Almalas Riyadh, ia bisa belajar bahasa arab dan juga bisa menghafalkan Al-Quran hingga 18 Juz.
Menurutnya di penjara itu ada 35 orang narapidana wanita asal Indonesia, termasuk empat orang dari Lombok, NTB. "Kasusnya macam-macam, tapi yang sihir hanya kami berdua, saya dan Warnah. Yang lain ada kasus jual diri dan sebagainya," katanya.
Selama di penjara, Sumartini mengaku mendapatkan uang belanja dari pemerintah Arab Saudi sebesar 150 Real setiap bulan.
Bagi yang bisa bekerja juga diberi upah 450 Real perbulan. "Malah bagi saya, di penjara itu lebih baik daripada di rumah majikan," katanya.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTB, Agus Patria mengaku baru mengetahui kasus Sumartini ini setelah menerima surat dari KBRI Riyadh tentang pembebasan Sumartini.
"Kita diminta menjemput dan mengantarkan pulang ke kampung halamannya di Sumbawa. Kasusnya ini baru kita tahu, unik juga karena tuduhan sihir," katanya.
Agus Patria menjelaskan, berdasarkan surat KBRI itu dijelaskan bahwa Sumartini bebas dari hukuman mati karena pengadilan tingkat banding tidak menemukan bukti rekam medis kesehatan adik majikan Sumartini.
"Itu jadi pertimbangan meringankan sehingga tidak jadi dihukum mati. Tapi karena pembuktian sihir ini tidak bisa dengan logika, mungkin di Arab sana pembuktiannya pakai ahli metafisik juga, ini yang kita nggak paham," katanya.
Terkat kasus ini, Agus Patria mengatakan Pemprov NTB dan Disnaker Trans NTB akan melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, khususnya calon TKI atau TKW dengan tujuan Arab Saudi.
"Ini akan jadi bahan edukasi, agar TKI kita jangan sampai bawa apapun yang mungin disangka jimat atau semacamnya," katanya.
Ia mengatakan, Disnaker Trans NTB akan mengantar Sumartini hingga ke rumahnya di Desa Kukin, Kecamatan Moyo Hulu, Sumbawa.
Ke depan, jika kondisi psikologis Sumartini sudah pulih benar, Disnakertrans NTB akan memberdayakan Sumartini sebagai tenaga tutor atau pelatih bahasa Arab di Balai Latihan Kerja (BLK) Tenagar Kerja NTB, baik di Mataram maupun di Sumbawa.
"Untuk purna TKI kita bisa tempatkan dia sebagai pelatih bahasa di BLK. Karena memang dia punya potensi untuk itu,"katanya.