Mengaku mendapat jatah membangun RTG cukup banyak, oknum aplikator wanita berinisial S menjanjikan kerja subkontraktor kepada sejumlah perusahaan lainnya. Tak tanggung-tanggung, untuk satu kontrak subkontraktor, S meminta dana sebesar Rp50 juta sebagai fee.
Namun janji tinggal janji. S yang memegang dua perusahaan, PT C dan PT H, ternyata hanya bermanis bibir. Meski uang tanda jadi kontrak sudah diterima, namun ia tak juga memberikan pekerjaan RTG kepada tiga perusahaan subkontraktor itu.
Salah seorang pengusaha yang sempat menjalin kontrak dengan S, Vera Karamoy mengatakan, saat bertemu S pertama kali pada November 2018 lalu, ia ditawari menjadi subkontraktor untuk 500 unit RTG. Dari masing-masing RTG S menjanjikan membayar Rp21 juta sehingga totalnya mencapai Rp10,5 Miliar.
"Kita sudah bikin kontrak untuk 500 unit itu, nilainya tiap unit RTG Rp21 juta dia kasih jadi totalnya sekitar Rp10,5 Miliar. Dan setiap kontrak yang dibuat kami membayar Rp50 juta untuk S, tanda setorannya masih ada. Di dalam kontrak kerja juga tertuang dia mau kasih uang muka 20 persen dari nilai kontrak. Jadi kalau nilai kontrak Rp10,5 Miliar berari uang muka Rp2,1 Miliar," kata Vera Karamoy.
Dalam kontrak tersebut, papar Vera, PT C dan PT H yang akan mengurus alokasi 500 unit RTG untuk perusahaan milik Vera. Termasuk menjalin hubungan dengan Kelompok Masyarakat (Pokmas) dan Fasilitator, sehingga perusahaan Vera terima beres hanya bekerja menyediakan panel RTG jenis RISHA saja.
Namun papar Vera, setelah kontrak dibuat dan fee Rp50 juta ia setorkan ke S, pekerjaan yang dijanjikan pun tidak terealisasi.
"Faktanya, kami harus cari Pokmas dan menghubungi fasilitator sendiri, S dan perusahaannya terkesan lepas tangan. Dari sini saya mulai curiga, berarti dia hanya mengaku-ngaku saja punya jatah banyak untuk RTG ini," tukasnya.
Menurut Vera, selain dirinya ada juga pengusaha lain yang diduga tertipu ulah S. Bahkan selain menyetor Rp50 juta, pengusaha itu juga membayar Rp85 juta untuk memesan alat cetakl panel melalui perusahaan S.
Merasa dikadalin oleh S, Vera akhirnya memutuskan menjadi aplikator secara mandiri. Kini perusahaannya sudah mulai menjadi aplikator untuk beberapa unit RTG di daerah Lombok Utara.
"Ya kami merasa tertipu ya, karena sejak awal S ini gembar-gembor bahwa dia bisa minta kuota berapa saja untuk RTG ini. Tapi faktanya hanya isapan jempol saja. Saat ini kita jalan sendiri dan mandiri saja. Ada niat melaporkan S ke aparat hukum, tapi kami menunggu itikad baiknya dulu," tegasnya.
Saat dikonfirmasi masalah ini, Pelaksana Lapangan PT H dan PT C, yang juga tenaga ahli S, Irfaulia Sasa juga membenarkan ulah bosnya itu.
Menurut Sasa, sebagai aplikator PT H dan PT C hanya mendapat kuota sebanyak 30 unit RTG saja. Itu pun yang sudah selesai terbangun hanya sekitar 7 unit saja.
"Kita sendiri hanya dapat kuota 30 RTG, bagaimana mungkin mau subkon sebanyak 500 unit?," katanya.
Sasa juga merasa dirugikan oleh S lantaran sejauh ini gaji lima bulan belum dibayar. Padahal dalam proses pengerjaan panel dan pengirimannya ke lokasi, Sasa bersama seorang rekannya, Sukri harus mengeluarkan dana pribadi dulu.
"Dia (S) janji mau ganti sekaligus bayar gaji setelah dana RTG cair. Tapi nyatanya sampai sekarang tidak ada kabar," katanya.
Sasa dan Sukri hingga saat ini mengaku merugi sekitar Rp42 juta yang belum dibayarkan oleh S.
Ulah oknum aplikator nakal seperti S ini, diduga kuat menjadi salah satu faktor penyebab lambannya proses rehabiitasi dan rekonstruksi pembangunan RTG untuk korban gempa bumi di NTB.
Sebab, bukan tak mungkin S hanya satu dari banyak oknum aplikator nakal dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi ini.
Kepala BPBD NTB Ahsanul Khalik. (Foto: Ariyati Astini) |
Terkait dugaan permainan dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi ini, Kepala Pelaksana BPBD NTB, Ahsanul Khalik mengakui pihaknya sudah banyak menerima laporan.
Menurut dia, BPBD NTB sudah berkoordinasi dengan pihak Polda NTB untuk menelusuri terkait dugaan permainan dana gempa yang melibatkan oknum aplikator, oknum tenaga fasilitator dan oknum kelompok masyarakat (Pokmas).
"Jadi bukan hanya oknum aplikator saja. Kami bersama Polda NTB telah mulai melakukan penelusuran terhadap Pokmas, tenaga fasilitator dan aplikator yang diduga bermain mencari keuntungan dari bantuan dana pembangunan RTG ini," kata Ahsanul Khalik.
Selain dengan Polda NTB, koordinasi juga dilakukan dengan BPKP, Kejaksaan termasuk dengan BPBD Kabupaten dan Kota serta Pemda Kabupaten dan Kota terdampak gempa.
"Jadi kami sudah membentuk tim khusus yang membantu melakukan pengawasan dan penelusuran," tegasnya.
Ahsanul Khalik menduga, salah satu penyebab progres dan persentase pembangunan rumah di Kabupaten Lombok Utara masih rendah bisa jadi disebabkan adanya permainan dan penyelewengan dana bantuan gempa oleh oknum Pokmas, Aplikator dan Fasilitator.
"Pembangunan RTG bukan terkendala teknis, tapi adanya dugaan permainan di lapangan dan itu sedang kita telusuri untuk ditindak tegas," katanya.
Ia mencontohkan bagaimana modus permainan dana gempa di lapangan, misalkan aplikator yang sudah teregistrasi BPBD dan Dinas Perkim membuat kontrak banyak dengan Pokmas yang ada.
Kemudian oknum aplikator itu melakukan subkontrak lagi dengan pihak kedua atau ketiga. Aplikator yang disubkan itulah yang abal - abal, karena tidak terdaftar.
Sementara oknum fasilitator sendiri bermain disamping jadi tenaga fasilitator, juga menjadi aplikator yang ditawarkan kepada Pokmas untuk mendapatkan fee banyak.
"Yang jelas semua ditelusuri dan akan dirapikan, kalau nanti dari hasil penelusuran ditemukan fakta di lapangan, maka oknum aplikator, oknum fasilitator yang bermain akan kena sanksi. Bahkan tenaga Fasilitator akan dipecat," tegasnya. MP05/Ari/Gra