Sudirman SH MH bersama Prof Dr H Farouk Muhammad saat menunjukan perbedaan wajah dalam dua foto Evi Apita Maya. (Istimewa) |
MATARAM - Anggota DPD RI, Prof Dr H Farouk Muhammad resmi melaporkan Calon Anggota DPD RI, Evi Apita Maya ke Bawaslu Provinsi NTB, atas dugaan penggunaan foto lama dan foto editan dalam surat suara Pemilu DPD RI Dapil NTB.
Laporan pangaduan dugaan pelanggaran Pemilu itu diajukan Farouk Muhammad melalui tim kuasa hukum yang diketuai Sudirman SH MH, Sabtu (18/5) ke Bawaslu NTB.
"Kami sudah ajukan laporan pengaduannya, Sabtu (18/5) kemarin. Terlapornya Evi Apita Maya nomor urut 26,"kata ketua tim kuasa hukum FM, Sudirman SH MH, Minggu (19/5) di Mataram.
BACA JUGA : Farouk Muhammad Tak Ingin Demokrasi Diciderai
Dalam surat laporan pengaduan yang ditandatangani Sudirman SH MH, Ony Husein Al Djufri, dan I Nyoman Bagiada sebagai saksi pelapor, disebutkan telah terjadi berbagai persoalan pelanggaran pemilu mulai dari sejak pendaftaran calon peserta pemilu hingga pada penentuan hasil Pemilu serentak 2019 di NTB.
Salah satu modus pelanggarannya adalah dengan memalsukan tanda gambar atau foto yang mengarah pada pemalsuan dokumen atau pemalsuan identitas.
Evi Apita Maya dengan nomor urut 26 diduga menggunakan foto lama atau setidak - tidaknya foto editan sebagai persyaratan pada saat mencalonkan diri sebagai anggota DPD.
Dengan modal itu, "Caleg Cantik" ini pun berhasil meraup lebih dari 283 ribu suara sekaligus menjadi Caleg DPD peraih suara tertinggi di NTB.
Evi juga dituding menggunakan spanduk kampanye berlogo DPD RI, padahal yang bersangkutan belum menjabat sebagai DPD RI.
Artinya dengan keberanian menampilkan tanda gambar DPD yang bersangkutan telah menjual lambang negara untuk menarik simpati rakyat NTB dengan cara tidak benar.
"Dari dua hal ini sangat terlihat yang bersangkutan telah menanamkan politik bohong kepada rakyat NTB secara terencana terstruktur dan massif, sehingga dapat merugikan masyarakat, para calon DPD yang lain, merugikan bangsa dan negara," tegas Sudirman.
Sudirman memaparkan, dugaan Evi terpilih hanya karena foto editan yang cantik itu dapat dilihat dari sebaran suaranya hingga ke pelosok terpencil.
Padahal menurutnya, Evi tidak pernah melakukan sosialisasi secara menyeluruh ke semua daerah. Apalagi di lokasi terpencil seperti di empat desa pegunungan di Kecamatan Batulanteh, di Desa Mata Kecamatan Terano, di Pulau Moyo dan di Kecamatan Lantung Kabupaten Sumbawa, termasuk di Kecamatan Pekat, Kecamatan Kilo Kabupaten Dompu, serta di Kecamatan Tambora, Kecamatan Sanggar, Kecamatan Wera, dan Kecamatan Perado Kabupaten Bima.
"Anehnya, walau pun daerah ini belum pernah dikunjungi oleh yang bersangkut namun suaranya meroket ibarat ada semacam daya tarik tersendiri ketika masyarakat melihat foto atau tanda gambar yang bersangkutan ibarat otak otak rakyat terhipnotis oleh aura kecantikan padahal bila kita lihat foto aslinya sangat berbeda dan tidak mungkin terhipnotis dan tidak mungkin sebanyak masyarakat menjatuhkan pilihannya," tukas Sudirman.
Ia menegaskan, pihaknya sudah menyiapkan masyarakat yang siap memberikan kesaksian walau pun tidak dikenal namun memilih dan mencoblos karena kecantikan foto Evi.
"Masyarakat akhirnya bukan memilih figur yang dikenal dan memiliki rekam jejak yang jelas, tapi memilih hanya karena cantik karena bertopengkan menggunakan foto lama dan atau foto editan sehingga dengan berparas cantik seakan menarik simpati rakyat, inilah adalah sebagai bentuk kebohongan publik dan membohongi publik," katanya.
Sudirman memaparkan, berdasarkan hal tersebut Evi didua telah sengaja melanggar peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang merupakan peraturan yang sah sebagai undang - undang yang berfungsi untuk mengatur tentang Pemilihan Umum yang Langsung Umum Bebas Dan Rahasia (Luber).
Oleh karena itu berdasarkan UU no 7 tahun 2017 Tentang Pemilu dan PKPU No 26 Tahun 2018, perubahan kedua atas PKPU Nomor 14 Tahun 2018 pasal 65 ayat (1) huruf J yang mengatur bahwa bakal calon perseorangan, peserta Pemilu anggota DPD, wajib menyerahkan dokumen pendaftaran sebagaimana yang dimaksud, termasuk foto terbaru bakal calon ukuran 4x6 cm (empat kali enam centimetre) sebanyak 2 (dua) lembar dalam bentuk naskah asli (hardcopy) dan naskah asli (softcopy) yang merupakan foto terakhir yang diambil paling lama 6 (enam) bulan sebelum pendaftaran calon anggota DPD.
"Bila mengacu pada pasal yang dimaksud kami menilai terlapor tersebut telah sengaja melanggar ketentuan pasal 65 ayat (1) huruf J PKPU dimana calon DPD nomor urut 26 menggunakan foto lama atau foto editan sehingga jauh dari wajah aslinya," kata dia.
Lebih jauh Sudirman mengungkapkan, bila berpedoman pada ketentuan pasal dalam PKPU, tentu KPU kurang cermat dan kurang teliti dan lalai dalam melakukan verifikasi terhadap syarat administrasi dan kebenaran data para calon.
Sehingga KPU dinilai telah lalai mengakibatkan adanya pelanggaran administrasi yang dilakukan oleh KPU dengan sengaja diduga melanggar pasal 70 dan pasal 74 tentang kewajiban KPU dalam melakukan verifikasi administrasi bakal calon DPD.
Selain itu, tambah Sudirman, berdasarkan ketentuan dan peraturan KPU, maka keduanya wajib diberi sanksi tindak pidana pemilu dan atau tindak pidana umum sebagaimana di maksud dalam pasal 263 ayat (1) KUHP.
"Keduanya bisa dikenakan diskualifikasi dari pencalonan dan pelantikan sebagai anggota DPD," tegasnya.
Ia menegaskan, sebelumnya pihaknya juga telah membuat surat keberatan kepada KPU Provinsi NTB atas berbagai pelanggaran Pemilu yang sengaja dilakukan oleh para oknum dan telah dibacakan pada forum Rapat Pleno Terakhir di Hotel Lombok Raya.
"Atas kasus ini, kami saksi calon DPD nomor urut 27 (Prof. Dr. Farouk Muhammad) merasa dirugikan baik secara materil maupun secara Immateril. Oleh karena itu kami minta kepada Bawaslu Provinsi NTB untuk mengambil tindak tegas untuk calon DPD tersebut," katanya.
Sudirman memaparkan, selain melaporkan laporan pelanggaran tersebut ke Bawaslu NTB, pihaknya juga meyampaijkan tembusan laporan yang sama kepada Ketua DKPP, Ketua KPU Pusat, dan Ketua Bawaslu Pusat. Hal ini dilakukan agar kasus tersebut benar-benar diatensi.
Farouk Muhammad Tidak Ingin Demokrasi Diciderai
Sementara itu, anggota DPD RI yang juga calon DPD RI nomor urut 27, Prof Dr H Farouk Muhammad mengatakan, laporan pengaduan terhadap Evi Apita Maya dan H Lalu Suhaimi Ismy ke Bawaslu NTB dilakukan bukan hanya atas pertimbangan kepentingan pribadinya semata.
Lebih dari itu, upaya hukum ini dilakukan Farouk Muhammad karena dirinya tak ingin proses demokrasi dalam Pemilu 2019 diciderai.
"Ada kepentingan nilai demokrasi disini, saya tidak ingin demokrasi kita diciderai," kata Farouk Muhammad, Minggu (19/5) di Mataram.
Menurut Farouk, jika hal ini dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi lagi dalam Pemilu lima tahun mendatang. Dimana para calon tidak lagi mengedepankan kapasitas dan kompetensi kemampuan mereka sebagai calon wakil rakyat, tetapi lebih kepada kecantikan dan keindahan foto semata.
"Kalau ini dibiarkan, maka nanti di Pemilu selanjutnya akan terjadi lagi. Ya pakai kontes kecantikan saja akhirnya, kalau tindakan orang-orang ini tidak dihukum," katanya.
Menurut Farouk, pertimbangan nilai demokrasi inilah yang membuat dirinya melaporkan ke Bawaslu. Selain itu dorongan dari tim dan juga dari calon DPD lain juga datang untuk menyikapi masalah ini.
Ia menegaskan, tidak hanya ke Bawaslu NTB pihaknya juga akan membawa masalah ini melalui gugatan ke PTUN, bahkan akan mengajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Saat ini tim kuasa hukum Farouk Muhammad tengah menyiapkan laporan dan juga sejumlah barang bukti untuk diajukan dalam waktu dekat ini. (*)