Lebih dari itu, bagi ummat Buddha di Lombok, Hari Raya Waisak dimaknai sebagai momentum untuk menunjukkan rasa bakti kepada para orangtua.
Hal ini juga yang menumbuhkan budaya unik yang dilakukan para generasi muda Buddha di Dusan Tebango, Desa Pemenang Timur, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara.
Setiap kali puncak perayaan Waisak tiba, mereka menggelar kegiatan khusus untuk menunjukan bakti pada orangtua. Masing-masing membawa orangtuanya ke Vihara Jaya Wijaya, salah satu tempat ibadah di Desa setempat.
Mereka menyiapkan makanan dan menyuap orangtuanya, kemudian memijit, lalu membasuh dan mencium kaki orangtuanya sambil meminta maaf atas segala salah yang selama ini pernah dilakukan.
Tradisi "Basuh Kaki" yang sudah ada turun temurun ini, mulai kembali dilestarikan sejak tahun 2011, oleh Komunitas Kearifan Lokal Tebango (K2LT).
Ketua K2LT, Dammatha Samena mengatakan, tradisi basuh kaki ini dilakukan untuk menguatkan ikatan emosional generasi muda dengan para orangtuanya.
"Tahun 2011 itu, pak Metawadi selaku pembina K2LT melihat ada perilaku para generasi muda di Tebango yang kurang memiliki kedekatan emosional dengan orangtua sendiri. Kemudian kami inisiasi tradisi ini," katanya.
Menurutnya, seiring perkembangan kemajuan teknologi, anak-anak muda cenderung cuek dan tidak peduli dengan orangtua mereka.
"Atas dasar itulah pak Metawadi mengumpulkan anak-anak muda. Setiap setahun sekali dilaksanakan saat hari ibu, dan saat hari raya besar Buddhis seperti Waisak ini," jelasnya.
Prosesi basuh kaki kedua orangtua ini dilaksanakan di halaman Vihara Jaya Wijaya dengan jumlah peserta lebih dari 100 keluarga.
Air dalam wadah ditaburkan bunga dan diberi parfum pengharum. Kaki selain dicuci juga dipijit. Setelah usai proses tersebut. Anak-anak sujud dan mencium kaki kedua orang tuanya. Setelah itu acara makan bersama orang tua.
"Kalau menyuapi tidak wajib. Tapi yang wajib itu membasuh kaki orangtua dan wajib sujud bakti serta mencium kaki orang tua," kata Dammatha.
Menurut dia, penghormatan anak kepada ibu dan bapak diperlakukan secara sama dan tidak ada pembedaan yang istimewa. Peserta yang hadir tidak dipilih.
Semua datang berdasarkan kesadaran akan baktinya kepada orang tua. Anak yang berinisiatif mengajak orang tuanya setelah tahu ada pengumuman akan ada acara bakti anak kepada orang tua.
Kegiatan ini menjadi tradisi yang bertujuan untuk mengajarkan anak-anak muda arti cinta dan bakti kepada orang-orang yang patut dihormati. Selain mendekatkan hubungan batin dan emosional anak dengan orang tua.
"Harmoni akan muncul dari dalam diri, lalu keluarga dan disebarkan secara luas di lingkungan masing-masing. Sehingga dunia akan menjadi lebih harmonis," katanya.
Makna dan Pesan Waisak 2019
Pandita Buddha Dharma Indonesia, Iwan Setiawan mengatakan, pesan Waisak tahun ini adalah Meneguhkan Penghormatan pada Keberagaman.
Di kaki Gunung Himalaya, tepatnya di Kerajaan Kapilavastu, Buddha Sakyamuni masih menjadi seorang pangeran bernama Siddharta Gautama. Sebagai pangeran ia digadang-gadang sebagai raja yang kelak menggantikan Raja Suddhodhana. Pangera Siddharta juga telah berkeluarga dan dikaruniai seorang anak.
Sekilas, kehidupannya bisa dikatakan lengkap. Harta yang berlimpah, tahta sebagai pangeran yang kelak menjadi Raja hingga keluarga, semua telah ia rengkuh. Hingga suatu saat, ia merenung, resah karena menyaksikan empat peristiwa yang kemudian mengubah hidupnya, juga jutaan pendukungnya di dunia hingga kini.
Pemandangan bayi yang lahir, orang tua, orang sakit, dan orang meninggal membuat dirinya bertanya-tanya, untuk apa menjalani hidup, berawal dari bayi jika kemudian harus mengalami tua, sakit lalu meninggal? Apa sebetulnya tujuan dan makna kelahiran kita?
Guna menjawab pertanyaan tersebut, ia memutuskan jadi petapa dengan keluar dari istana. Berbagai ajaran ia pelajari, berbagai jenis pertapaan termasuk menyiksa diri dengan menghentikan makan dan minum ia jalani. Hingga kemudian mencapai kesadaran di bawah Pohon Bodhi dan dinobatkan sebagai Buddha Sakyamuni.
Secara harafiah, Buddha Sakyamuni dapat diartikan sebagai orang dari Suku Sakya yang tersadar. Selanjutnya, selama 40 atau 50 tahun berikutnya ia membabarkan berbagai ajaran terkait kesadaran yang ia miliki tentang kehidupan. Ada puluhan ribu ajaran diajarkan, yang kemudian disebut sebagai Tripitaka. Ia moksya atau meninggal di usia sekitar 80 tahun, meninggalkan murid dan ajaran.
Demikianlah, demi menjawab pertanyaan tentang kehidupan, seorang pangeran memilih jadi petapa, meninggalkan istana beserta istana mencari jawab dan berusaha memaknai kehidupan yang dijalani. Kehidupan yang kita jalankan semua.
Salah satu ajarannya yang dikenal adalah maîtri karuna. Ajaran untuk memiliki sikap yang senantiasa memikirkan, berusaha mewujudkan kebahagiaan orang lain.
Ajaran ini mengandung pesan untuk selalu berpikir, berucap dan bertingkah menimbang dampak yang hadir dan terasa pihak lain. Ajaran ini baik untuk dapat diaplikasikan semua pihak, baik itu penguasa, pengusaha, professional apa saja, siapa saja.
Sekilas ajaran tersebut memang hampir terdengar mustahil dan hanya bagus sebagai kalimat spanduk belaka, namun tidak mungkin dilaksanakan. Memikirkan diri sendiri untuk bahagia saja sulit, kok ya mendahulukan kebahagiaan orang lain?
Sepertinya untuk sikap utopis ini, kita semua kembali "diingatkan" akan apa yang telah Buddha Sakyamuni tinggalkan untuk kita. Beliau ingin ajaran ini dapat dilaksanakan, diamalkan, dan dirasakan oleh banyak orang, selama-lamanya.
Seorang penguasa, pembuat atau pelaksana Undang-Undang, perlu memikirkan kebahagiaan rakyatnya. Jika tidak, maka mereka adalah sekelompok tirani yang memaksakan suatu kehendak yang bisa jadi hanya membahagiakan diri sendiri.
Sebaliknya sebagai rakyat juga senantiasa memikirkan dan mengupayakan kebahagiaan penguasa, agar demikian tercipta sinergi kerja sama yang saling membahagiakan, bukan saling menuntut.
Hal yang serupa juga diperlukan seorang pengusaha yang dalam memberikan layanan barang atau jasa, penting untuk mengetahui da memenuhi apa yang menjadi sumber kebutuhan atau kebahagiaan kosumennya. Jika tidak, tentu pengusaha tersebut akan gagal, konsumen tidak terlayani, dan kehidupan sebagai ekosistem tidak ikut terbangun dan berkembang.
"Contoh-contoh ini guna mempertegas betapa ajaran Buddha sebagai hal yang beliau wariskan untuk manusia pada akhirnya untuk dilaksanakan, diamalkan. Hal senada ditegaskan tema Waisak tahun ini yang mengajak, "Menghormati Budaya Keberagaman Untuk Persatuan Indonesia sebagai Wujud Pengamalan Buddha Indonesia," kata Iwan Setiawan.
Menurutnya, Indonesia dengan segala keragaman, suku, agama, ras dan sebagainya bisa jadi negara paling beragam dan terbesar yang ada saat ini. Jika tidak satu sama lain saling menghormati, menghargai, tidak melecehkan atau melulu memuji satu pihak tertentu, tentu kita tahu hal tersebut akan memicu apa yang disebut sebagai api dalam sekam.
Sikap yang tidak menghormati perbedaan bukan cuma jadi bara yang membuat panas, tapi akan jadi api yang membumihanguskan apa saja yang tersentuh.
"Dalam kalimat "Menghormati Budaya Keberagaman" terkandung sikap ajakan untuk memikirkan keberadaan orang lain yang sangat berbeda satu sama lain. Oleh karena itu kita diminta untuk lebih menghormati, menghargai setiap pemikiran, ucapan atau tindakan orang lain yang pasti terdampak oleh kita," katanya.
Ia mencontohkan, dalam keseharian kita tentu pengguna jalan, baik sebagai pejalan kaki atau berkendara. Sikap untuk menghormati keberagaman tentu sangat diperlukan. Karena jika tidak, trotoar yang seharusnya untuk pejalan kaki, dipakai juga untuk pengguna sepeda motor. Lampu lalu lintas yang sedang berwarna merah, hendaknya diartikan berhenti, bukan malah diterabas. Ambulans yang memiliki nilai kepentingan tinggi, hendaknya bisa didahulukan, bukan malah harus terhalangi dan terjebak.
Apa yang terjadi di jalan raya adalah cerminan sikap kita dalam menghormati keberagaman. Setiap orang punya kepentingan dan tujuan masing-masing, namun hanya ada sebuah ruas jalan yang sama. Untuk itu diperlukan sikap saling menghormati, menghargai pihak lain. Melulu mempertahankan diri sendiri sebagai sikap paling benar dan mendahulukan diri sendiri tanpa memperhitungkan hal atau orang lain hanya akan membuat semrawut dan malah tidak bisa jalan.
"Perayaan Trisuci Waisak ini, kita semua diajak untuk percaya, belajar, dan melaksanakan ajaran yang telah diwariskan Sang Buddha. Karena hanya dengan begitu kita tahu tujuan kelahiran kita semua," katanya.
Ia menambahkan, peringatan Trisuci Waisak di tengah pelaksanaan ibadah puasa bagi umat Islam ini bukan sekadar kebetulan dan tidak berarti apa-apa.
Tema menghormati perbedaan menjadi memiliki nilai strategis untuk seisi negeri ini. Umat dari agama Buddha dapat merayakan hari rayanya dengan aman dan tenang, berdampingan dengan umat agama lain yang juga melaksanakan ibadahnya, tanpa gesekan, saling menghargai.
"Inilah potret sesungguhnya dari menghormati perbedaan. Siapa saja, dengan perbedaan masing-masing, entah itu agama, suku, dan lainnya beriringan bersama menuju tujuan yang sama, yakni lingkungan yang lebih baik untuk tinggal bersama, kerja, dan menanam cita cita dan cinta di hari ini dan masa depan," katanya.