ISU KEHUTANAN. Sekda NTB, Ir H Iswandi (Tengah), Koordinator WWF Nusa Tenggara M Ridha Hakim (Kanan), dan Kabid Pengelolaan Hutan Dinas LHK NTB Julmansyah (Kiri). (Kolase/Istimewa) |
MATARAM - Masyarakat di lingkar kawasan hutan harus dilibatkan dalam upaya pelestarian hutan di Provinsi NTB. Pelibatan mereka juga perlu dilakukan dengan pola partisipatif yang memberi nilai tambah ekonomis, tanpa harus merusak kelestarian hutan.
"Ini yang harus dilakukan. Sebab, sepanjang keberadaan kawasan hutan tidak dirasa memberi manfaat bagi masyarakat pinggir hutan dan kepedulian masyarakat tidak ada, maka ancaman terhadap kelestarian (hutan) akan terus ada," kata Koodinator WWF Nusa Tenggara, M Ridha Hakim, Minggu (23/6) di Mataram.
BACA JUGA : Ternyata Dari Sini Sumber Dana Program Beasiswa Luar Negeri Pemprov NTB !!
Ridha memaparkan, saat ini tercatat setidaknya ada 468 Desa yang letaknya berbatasan langsung dengan kawasan hutan di NTB. Sehingga melalui keberadaan 11 KPH harus betul-betul dibuat strategi yang jelas untuk memberi kesempatan dan membuat partisipasi masyarakat di desa-desa tersebut menjadi lebih baik lagi.
"Ada banyak peran desa yang bisa diperkuat untuk mendukung kelestarian hutan. Sudah banyak contoh juga bagaimana desa bisa melakukan itu, dimana dana desa sudah mulai dibelanjakan untuk mendukung aktivitas-aktivitas terkait pengelolaan hutan," katanya.
Pelibatan masyarakat mutlak diperlukan, sebab tugas menjaga kawasan hutan di NTB sudah tidak mungkin dibebankan kepada pemerintah semata.
Ridha menggambarkan, perbandingan tenaga pengamanan hutan di NTB saat ini sangat tidak sebanding dengan luas kawasan yang harus dijaga.
Saat ini perbandingan petugas pengamanan hutan di NTB berasio sekitar 1 orang : 5.000 Ha hingga 7,000 ha. Padahal idealnya, 1 orang : 250 ha saja.
"Maka harus disusun strategi yang kongkrit bagaimana partisipasi masyarakat untuk bisa terlibat dalam pengamanan hutan. Skema dan insentif yang baik bisa dibuat dan disepakati," katanya.
Ridha menegaskan, membangun hutan adalah membangun hulu hingga hilir. Saat ini NTB masih bermasalah dengan data dan pendataan. Padahal potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang belum digarap di NTB masih sangat banyak.
Menurutnya, perlu dilakukan secara terintegrasi dalam pengelolaan HHBK tersebut agar persoalan ekonomi masyarakat pinggir hutan atau masyarakat yang telah mendapat izin mengelola hutan bisa menguntungkan.
"(Harus) terintegrasi pada 3 aspek yakni produksi, pengolahan, dan pemasaran. Dan urusan ini tidak bisa jadi tanggungjawab Dinas LHK saja, tetapi OPD lain harus memberikan dukungan program dan anggaran. Contoh rintisannya sudah ada dan mulai menunjukan hasil. Untuk itu memang harus dikawal betul dengan baik," katanya.
Masalah lain di NTB, papar Ridha, ialah kawasan hutan yang legal dikelola oleh masyarakat dengan berbagai skema yang ada, ternyata belum mampu menjawab tujuan pembangunan kehutanan.
Hal ini disebabkan banyak faktor, sehingga pemerintah harus berani melakukan evaluasi utk perbaikannya. Begitu juga dengan nasib hutan yang dikelola tanpa berizin, harus segera diputuskan kepastiannya.
"Sembilan Pemda Kabupaten/Kota yang berbatasan dengan kawasan hutan harus diajak memikirkan solusi kongkritnya, karena masyarakatnya sangat bergantung dari kawasan hutan," katanya.
Ia menambahkan, rrusan bagi hasil dan lain sebagainya tentu harus dirumuskan bersama. Begitu juga dengan skema insentif dan disinsentifnya.
"Harus ada sinkronisasi perencanaan dalam pengelolaan hutan bersama para Bupati dan Walikota. Begitu juga antar OPD. Evaluasi yang ketat perlu dilakukan terhadap seluruh program dan kebijakan lainnya yang ada dalam kawasan hutan kita yang berpotensi memberikan kerusakan hutan. Tumpang tindih program dan perijinan harus diselesaikan dan ada solusi kongkritnya," tukasnya.
Ridha menilai, untuk pembangunan kehutanan di NTB harus ada solusi kongkrit juga terkait pemberdayaan dan penguatan ekonomi masyarakat terutama lingkar hutan.
"Sebab, kalau (masyarakat) hanya disuruh jaga hutan tanpa ada insentif yang baik dalam formulasi yang mujarab terkait ekonominya, tentu program tidak akan sukses," katanya.
Penjabat Sekda NTB, Ir H Iswandi mengatakan, dari hasil pertemuan koordinasinya bersama jajaran Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTB, sudah diperoleh sejumlah update situasi riil di lapangan, yang berkaitan dengan sektor kehutanan ini.
"Persoalan besar kita pada sisi pengamanan hutan memang masih pada kesadaran masyarakat lingkar hutan yang masih perlu ditingkatkan. Selain ini kita juga masih terkendala keterbatasan SDM dan anggaran," kata H Iswandi.
Sebagai penjabat Sekda NTB, H Iswandi mengatakan pihaknya tengah mencari solusi dan menampung masukan-masukan kritis dan konstruktif untuk membangun konsep pengamanan hutan yang efektif dan bermanfaat ekonomis bagi masyarakat.
"Ini diperlukan, karena salah satu misi pemerintah daerah adalah NTB yang asri dan lestari," tukasnya.
Menurutnya, jika masyarakat lingkar hutan tidak nyaman dengan kerusakan hutan di sekitarnya maka mestinya mereka bisa berperan menjaganya. Sehingga hal ini perlu didalami mengapa masyarakat lingkar hutan juga terkesan kurang peduli dengan pengamanan hutan.
Iswandi mengamini WWF terkait pelibatan masyarakat dalam pengamanan kawasan hutan. Sebab, jika hanya dibebankan pada pemerintah daerah saja, tentu akan sangat banyak keterbatasan.
BACA JUGA : Industrialisasi di NTB Mendorong Investor Kembangkan Pengolahan Produk Lokal
Dari sisi anggaran, Iswandi mencontohkan, Pemprov NTB hanya menerima sekitar Rp1,1 Miliar dari dana bagi hasil Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH).
"Itu jumlah yang sangat kecil sekali dibanding kerusakan hutan yang mesti diurus Pemprov (NTB). Sehingga kita memang mesti cari upaya peningkatakan partisipasi masyarakat, sebab kita tidak punya dana yang cukup kalau semua dari APBD untuk mengatasi kerusakan (hutan) yang ada," katanya.
Menurut Iswandi, konsep yang perlu didorong adalah konsep pengamanan hutan partisipatif, dan tidak sekadar pengelolaan hutan partisipatif semata.
"Kita harus coba rumuskan konsep pengamanan hutan partisipatip, jangan yang ada hanya pengelolaan yang partisipatif. Pengamanan hutan harus menjadi prioritas karena ancaman bahaya tidak bisa kita tolak. Lombok dan Sumbawa merupakan daerah agraris yang sangat tergantung keberlangsungan hidupnya karena dukungan hutan. Anak cucu kita tidak bisa hidup di daerah yang kurang air," tegasnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Pengelolaan Hutan Dinas LHK NTB, Julmansyah MHut, mengatakan sebenarnya saat ini sudah ada beberapa Peraturan Menteri Desa (Permendes) yang mengatur kewenangan desa berskala lokal terkait kehutanan.
"Permendes itu bisa dijadikan sebagai payung hukum, keterlibatan institusi desa dalam pengelolaan hutan. Tapi memang masih perlu effort lintas OPD untuk menjangkau ke arah itu," katanya.
Menurut Julmansyah, jika Permendes dan aturan lain yang memungkinkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pengamanan hutan bisa diterapkan, maka NTB punya banyak potensi HHBK yang bisa dikembangkan dan bisa menjadi nilai tambah ekonomis masyarakat lingkar hutan.
Hal ini, papar dia, nantinya akan bermuara juga pada dukungan untuk nprogram industrialisasi yang tengah dikembangkan Pemprov NTB ke depan.
Julmansyah mencontohnya, potensi madu hutan NTB yang sudah kesohor. Dan satu lagi yang baru saja dilaunching, tanaman Sentalo yang tadinya dianggap petani di Sumbawa sebagai gulma atau tanaman penggangu, kini sudah berhasil dikembangkan menjadi produk herbal dalam kemasan yang diinisiasi para ilmuan muda di Fakultas Teknobiologi UTS Sumbawa.
"Ini salah satu contoh yang sering Pak Gubernur sampaikan soal industrialisasi dan peningkatan nilai tambah serta keberadaan Sains Tekno Park dan Sain Tekno Industri Park sebagai inkubator UMKM/IKM dan sejumlah startup," katanya.
Menurutnya, akan ada banyak produk HHBK yang bisa dikembangkan di NTB dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat di lingkar hutan.
Namun, untuk meraih itu, konsep integrasi harus dirumuskan selain antar Pemprov NTB dan Pemda Kabupaten/Kota, juga lintas sektoral yang saling berkaitan.
896 Ribu Hektare Hutan di NTB Tercatat Rusak
Mengutip Republika, kerusakan hutan menjadi persoalan serius di Provinsi NTB. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTB hingga November 2018 total areal hutan di NTB yang rusak dan dalam taraf mengkhawatirkan berjumlah sekitar 896 ribu hektare.
Itu lebih dari separuh total luas kawasan hutan di pulau Lombok dan Sumbawa yang berkisar 1,071 Juta hektare.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan NTB, Madani Mukarom mengatakan, jumlah luas kerusakan hutan itu terdiri dari hutan virgin yang terbuka mencapai 580 ribu hektare, dan sekitar 316 ribu hektare hutan yang rusak akibat pertanian lahan kering guna ditanami jagung oleh masyarakat.
"Dari total 896 ribu hektare yang rusak itu, sekitar 35-40 persen diantaranya berada di wilayah Pulau Sumbawa kerusakan hutannya," ujar Madani, seperti dikutip Republika.
Ia mengakui, tingkat kesadaran masyarakat dalam menjaga wilayah hutan juga dirasa masih sangat minim.
Terkait pengawasan, Madani mengaku, pihaknya tetap melakukan sejumlah upaya pengawasan. Salah satunya menerjunkan tim terpadu bersama aparat kepolisan dan TNI AD selama ini, termasuk patroli rutin selama 24 jam.
"Namun, jumlah personil Dinas Kehutanan terbatas. Rasio petugas kita dengan areal hutan adalah 1:2.200. Itu artinya, seperti satu Kota Mataram, petugas kita hanya ada dua orang yang mengawalnya. Jadi, bisa kita bayangkan bagaimana kesulitan petugas kami di lapangan," ungkap Madani. (*)