Kaka Slank. (Ilustrasi/Istimewa) |
SEORANG kawan mengupload foto dirinya ; memamerkan tengah merokok di kawasan bebas asap rokok di Kantor Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB).
Latar yang nampak ialah bagian belakang ruangan rapat utama (RRU), tempat di mana banyak kebijakan-kebijakan pemerintah NTB dirumuskan secara musyawarah mufakat.
Bahkan di ruangan itu pula, konon kebijakan membatasi ruang gerak bagi para perokok dengan larangan merokok di sebagian besar kawasan Kantor Gubernur NTB.
Di upload di sebuah grup whatsapp, foto kawan saya menuai pro-kontra. Tentu saja lebih banyak kontranya, karena ternyata WAG itu milik sebuah unit di pemerintah NTB.
Foto merokok di depan tulisan Kawasan Bebas Asap Rokok, nyata-nyata merupakan bentuk perlawanan, menantang aturan, melanggar kebijakan, tidak berpihak pada kesehatan publik.
Ah yang benar saja. Masyarakat kita sekarang ini gampang sekali menjustifikasi sesuatu yang nampak kasat mata, seolah melanggar norma, kaidah, aturan-aturan.
Saya termasuk yang senang dengan foto kawan saya itu.
Bukan. Bukan karena "aksi perlawanan" terhadap aturan. Tapi karena setelah saya amati merk rokok yang ia nikmati, sama dengan rokok kegemaran saya sendiri : Gudang Garam Surya, yess .. selera pemberani !!.
Ya, saya juga seorang perokok. Bagi saya merokok itu bukan kecanduan atau ketergantungan. Ini adalah pilihan, sebuah gaya hidup, lifestyle yang asyik.
Bagi kebanyakan perokok mungkin sama. Bungkus rokok ditempeli gambar seseram apapun, dan pesan pemerintah semenakutkan apapun, tetap saja rokok dibeli.
Soal lokus mengeksekusi sebatang rokok, bisa diatur dimana saja, sesuai kebutuhan.
Bila terpaksa, ya di sudut teraman kawasan bebas asap rokok, boleh lah satu - dua hisapan.
Seperti juga di kawasan bebas asap rokok di Kantor Gubernuran.
Esensi kawasan bebas asap rokok sebenarnya upaya memberi batasan antara perokok dan masyarakat bukan perokok.
Sebab, konon pikiran kita terlanjur dicekoki konsep bahwa perokok pasif akan menerima dampak merugikan yang lebih besar ketimbang si perokok.
Tapi saya lebih suka jika larang merokok atau kawasan bebas asap rokok itu ditempatkan di kawasan yang memang bisa membahayakan secara nyata, bila ada aktivitas merokok.
Misalnya, di kawasan SPBU yang jelas bisa terjadi kebakaran berbahaya jika premium atau pertamax tersulut api rokok.
Di kawasan rumah sakit dan pelayanan medis lainnya, karena asap rokok tentu akan membuat proses penyembuhan pasien terganggu. Terutama untuk pasien sesak nafas dan penyakit pernafasan lainnya.
Terakhir, di ruangan ber-AC. Perokok sekali pun pasti tak merasa nyaman bisa melepas asap rokok di ruangan ber-AC. Bukan saja aromanya bakal tak sedap, mata juga bisa teradiasi merah dan perih-perih.
Sementara di lingkup perkantoran pemerintah, terutama di Kantor Gubernur NTB, saya lebih senang jika peringatan dilarang merokok dan tulisan kawasan bebas asap rokok diganti saja dengan yang lebih produktif dan menguntungkan.
Misalnya, dilarang korupsi disini !!, atau kawasan bebas praktik korupsi !!.
Korupsi lebih berbahaya dan merugikan dari merokok.
Perokok, selama bukan di SPBU dan Rumah Sakit, tentu hanya akan merugikan diri sendiri untuk kesehatan fisiknya, dan juga biaya membeli rokok.
Tapi koruptor, di mana pun locus eksekusi praktik korupsinya, dampaknya pasti akan dirasakan masyarakat yang jauh sekali pun.
Dana perokok, diambil dari kantong pribadi, dan hasil pembelian rokok menguntungkan negara lewat cukai yang terkutip dalam harga rokok.
Sementara duit korupsi, diambil dari dana negara dan hasilnya merugikan keuangan negara dan juga kepentingan masyarakat umum.
Dari sudut pandang mana pun, perokok masih lebih baik dari koruptor. Dan, aktivitas merokok, masih lebih terpuji daripada aktivitas korupsi.
Toh, pemerintah kita - setidaknya melalui larangan tertempel - masih saja lebih suka mengatur dan membatasi ruang gerak perokok, ketimbang membatasi ruang gerak koruptor.
Merokok bisa dinikmati dan dilakukan semua lapisan masyarakat, sementara korupsi hanya bisa dilakukan oleh mereka yang menjabat dan memiliki kekuasaan.. !!
Saya seorang perokok, dan saya mencintai dan menyayangi sesama perokok.
Tapi, saya akan sangat membenci perokok yang diam-diam dia juga pelaku korupsi ; Koruptor yang merokok !!.
Panca Nugraha
Koresponden The Jakarta Post.
Senior Editor di Mandalika Post.