Merayakan Pencerahan 84 Tahun NWDI

MandalikaPost.com
Senin, Juli 29, 2019 | 13.36 WIB Last Updated 2019-07-29T05:41:36Z
PENULIS. M Achieve Ikroman.


TENTU banyak persepsi dalam setiap kali gelaran hari lahir atau HULTAH atau Hari Ulang Tahun Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI). Tahun ini diperingati yang ke 84.

Apalagi kian banyak aspek kehidupan, dinamika keumatan, seiring dengan era yang kian terbuka,  apalagi di era lalu lintas informasi menjadi “maha cepat” melalui media sosial.

Tidak sedikit juga yang mempersepsikan HULTAH dalam kacamata politik, hal ini wajar saja, jika melihat kiprah dan perjalanan politik para kader dan jamaah NW dalam dunia politik daerah maupun nasional.

Terlepas dari berbagai persepsi tersebut, bagi penulis, salah satu hal istimewa adalah, HULTAH NWDI bukan hanya sekedar pengingat dan perayaan kelahiran NWDI.

Tetapi perayaan HULTAH NWDI  adalah perayaan pencerahan.

NWDI tercatat sebagai madrasah atau sekolah pioneer yang mengajarkan pengetahuan keagamaan dalam sistem klasikal atau layaknya sekolah modern.

Mulai dari Madrasah NWDI-lah, di Lombok, pelajaran atau pengetahuan keagamaan dipelajari di dalam ruang kelas, dengan jam pelajaran yang terstruktur, serta sistem evaluasi yang jelas, layaknya sekolah atau madrasah yang kita kenal hari ini.

Ada banyak pesantren yang lebih tua dibandingkan NWDI, tetapi sebelum Madrasah NWDI, banyak Pesantren yang memiliki banyak santri, namun sistem yang dilaksanakan masih sangat tradisional.

Yakni dengan sistem khalaqoh, atau pengajaran seperti pengajian, dimana orang-orang yang ikut dalam pengajian itu duduk bersila mengelilingi guru.

Khalaqoh yang digelar, biasanya bersifat terbuka, mengajarkan kitab-kitab kuning klasik, digelar di surau dengan jumlah tak terbatas, seperti layaknya pengajian Majelis Taqlim yang kita kenal hari ini.

Mendirikan sekolah atau madrasah hari ini mungkin perkara gampang, namun di era 1930an, saat Belanda masih mencengkeram lain cerita.

Kondisi masyarakat Lombok pada saat itu, masih sangat memprihatinkan.

Seperti yang dipaparkan dengan cukup detail Alfons Van Der Kraan dalam buku berjudul “Lombok, Conquest, Colonized, and Underdevelopment 1870-1940” (Terjemahan M Donny Supanra; cetakan II edisi revisi; Lengge; Jogjakarta,2015).

Saat itu, Lombok baru memiliki sekolah resmi ala Belanda pada tahun 1910, itupun hanya ada tiga GIS (the Gouvernement-Indlandsche Scool), 7 buah Sekolah Desa atau Volkscholen.

Hanya satu dari 845 orang yang bisa bersekolah di seluruh Lombok saat itu.
Era 1930an atau saat TGKH M Zainuddin Abdul Madjid muda baru pulang belajar dari dari Mekkah, 1934, kondisi pendidikan di Lombok tidak jauh berubah.

Jumlah dua jenis sekolah di atas meningkat menjadi 9 buah untuk GIS dan 49 buah untuk Volkscholen.

Di tahun ini juga ada tambahan jenis sekolah lebih tinggi yakni HVS atau Hollansch-Indische School. Dengan jumlah murid pada tahun 1930, sekitar 4.948  siswa.

Saat itu, jumlah anak usia sekolah sekitar 17 persen dari populasi penduduk, dan hanya 4,1 persen yang bisa mengenyam pendidikan. 

Tidak hanya itu, dari sisi ekonomi masyarakat Lombok juga terbelakang, masih dalam paparan Van Der Kraans, era 1930an ini juga menunjukkan kian menurunnya ekonomi masyarakat, dari kondisi yang sangat miskin menjadi semakin miskin.

Belanda juga memberlakukan hukum agraria baru di Lombok, yang membuat pemusatan kepemilikan tanah ke orang atau kelompok tertentu.

Bahkan, seperti digambarkan Van der Kraan, perwangsa pemilik lahan kadang tidak lagi mengenal petani penggarap lahannya (pengayah maupun sepangan).
Sekitar 63,5 persen lahan dikuasai elit feodal. 

Ini berdampak pada konsumsi beras per kapita masyarakat juga memprihatikan, dari 395 gram per hari per kapita di kurun waktu 1911-1920, turun menjadi hanya 300 gram per kapita per hari, selama dasawarsa 1930-1940.

Kondisi keterjajahan dan keterbelakangan inilah yang membuat TGKH M Zainuddin Abdul Madjid, selaku pendiri Madrasah NWDI, tidak menghimpun orang dan kemudian mengangkat senjata.

Tetapi kemudian memilih jalan pencerahan. Kondisi masyarakat dengan kehadiran Madrasah NWDI ini, seperti Lesung bertemu Alu, sehingga sejak didirikan, Madrasah NWDI diterima secara luas dengan cepat.

Dalam satu dekade, ada 60 cabang Madrasah NWDI yang berdiri di seluruh pulau Lombok. 

Bahkan, dalam rentang tersebut juga berdiri Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI), 1943, sekolah khusus untuk kaum perempuan.

Saat ini, ada seribuan madrasah beranak pinak dengan semangat dan ideologi yang sama sejak dilahirkan. Bahkan hingga tingkat perguruan tinggi, dan tersebar di berbagai provinsi di Indonesia.

Proses pembelajaran NWDI sebagai sekolah agama modern, tidak hanya pengetahuan agama Islam semata, tidak sekedar bisa membaca dan mengaji, tetapi juga proses ideologisasi.

Seperti nama yang disemat Nahdlatul Wathan yang berarti Perjuangan Tanah Air. Menyadarkan masyarakat akan kondisi dan bagaimana berjuang membebaskan diri dari penjajahan.

Tidak sedikit murid madrasah NWDI yang gugur dalam penyerangan tangsi NICA di Selong, 1946, bahkan salah satu guru madrasah TGH M Faishal gugur dalam penyerangan tersebut.

Madrasah NWDI adalah pencerah.

NWDI tidak sekedar lembaga pendidikan, tetapi madrasah tempat menggembleng ideologi kebangsaan dan keislaman.

Doktrin/prinsip dasar perjuangannya, yakni agama dan negara dalam satu tarikan nafas, yakni membangun agama berarti membangun negara, begitu juga sebaliknya.

Tidak berlebihan, perayaan HULTAH NWDI tidak sekedar peringatan lahir lembaga pendidikan, tetapi sebuah Perayaan atas Pencerahan Masyarakat.


Wallahuallam Bissawab ..

*Penulis adalah Peneliti Hamzanwadi Institut, juga penulis buku Mengaji Hamzanwadi

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Merayakan Pencerahan 84 Tahun NWDI

Trending Now