DISKUSI PUBLIK. FHMS menggelar diskusi publik "Meneropong Arah Baru Sumbawa 2020, ddi De Lima Cafe, Mataram. |
MATARAM - Setelah menggelar diskusi publik jilid satu di Sumbawa, kini Forum Mahasiswa Hukum Samawa (FMHS) Fakultas Hukum Universitas Mataram kembali menggelar diskusi serupa jilid dua di De-Lima Cafe, Kota Mataram, Sabtu, 21 September 2019.
Diskusi bertajuk "Meneropong Arah Baru Sumbawa 2020 Jilid II," dimoderatori M. Riadhussyah menghadirkan dua akademik sebagai narasumber. Masing-masing adalah Prof. Dr. Salim HS, SH., MS, dan Prof. Ir. Taslim Sjah, M.App., Ph.D.
Diskusi publik yang hadirkan ratusan mahasiswa Sumbawa di Mataram tersebut, dihajatkan untuk meneropong arah politik dalam Pilkada Sumbawa 2020 mendatang.
Prof. Ir. Taslim Sjah, mengkaitkan diskusi tersebut dengan pembangunan sebuah daerah. Dia menjelaskan, pembangunan sebuah daerah sama dengan bisnis, karena memiliki satu tujuan yaitu mencari keuntungan.
"Bagaimana cara mencari keuntungan ada tiga pertanyaan pokok, untuk siapa barang itu, apa itu barangnya dan bagaimana cara hasilkan atau adakan barang," katanya.
Ironisnya, pembangunan justru tidak sejalan dengan aspek lingkungan, sehingga berimbas pada kerusakan lingkungan dan bencana banjir. Prof. Taslim menyoroti produk hukum yang terkesan tidak ada efek jera bagi pelaku perusakan lingkungan.
"Banjir menandakan pembangunan tidak berkelanjutan. Satu sisi yang dilanggar aspek lingkungan. Hukuman tidak membuat jera terhadap pelaku kerusakan lingkungan," ujarnya.
Dia mencontohkan negara tetangga Australia yang memperketat produk hukum soal pelaku perusakan lingkungan. "Di Australia setiap kerusakan dendanya 300 persen. Harus ada efek jera dan pelaksanaan atau penegakan secara ketat," ucapnya.
Pemaparan Prof. Taslim disambut pertanyaan peserta diskusi. Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Unram, Suryadi mempertanyakan peran Pemda Sumbawa, khusus di industri garam. Banyak petani garam di Sumbawa seperti di Kecamatan Lape, Kecamatan Labuan Bontong dan Kecamatan Utan kesulitan menjual hasil pertanian garam mereka.
"Sumbawa penghasilan garam terbesar. Pada 2011 jumlah produksi garam 3600 ton, 2012 sebanyak 6118 ton dan 2015 sebanyak 3500 ton, tapi Pemerintah Kabupaten Sumbawa saya rasa gagal mendatangkan investor. Retail modern justru jual garam dari Pulau Jawa," ungkapnya.
Setali tiga uang dengan pertanyaan Suryadi, Prof. Taslim menjelaskan peran pemerintah dalam menyediakan informasi pada petani garam sangat minim, sehingga berdampak pada meruginya petani garam di Sumbawa.
"Garam mau dijual ke mana tentu bisa dibantu pemerintah. Di sini peran pemerintah kurang menyediakan informasi pada masyarakat (petani garam)," katanya.
Akademisi lainnya, Prof. Salim sebagian besar presentasi dalam dialog berkaitan dengan masalah-masalah di lapangan. Di awal dialog, dia memaparkan banyak kondisi infrastruktur di Sumbawa yang jauh dari kata layak. Kondisi ini terus berlarut tanpa adanya tindakan Pemda.
"Berkali-kali diminta memperbaiki (infrastruktur) tapi jawabannya selalu akan memperbaiki. Lima tahun kemudian juga selalu begitu," ujarnya.
Ditanya penilaiannya terkait kepemimpinan Bupati Sumbawa, Prof. Salim menyerahkan baik atau buruknya kinerja pemerintah tergantung penilaian publik.
"Tidak semua bupati dapat melaksanakan kewajiban dengan baik. Apakah berhasil dengan tidak itu terserah anda menilai," jelasnya.
Dia berharap pemerintah setempat atau pemerintah yang memimpin pada 2020 lebih menunjukkan kinerja sesuai harapan khalayak ramai. Faktor-faktor ekonomi strategis seperti pertanian dan pertambangan diharapkan lebih dimaksimalkan pemerintah ke depannya. (*)