Ketua Gapeksindo NTB, Ir H Bambang Muntoyo. |
MATARAM - Penerapan Layanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (PBTSE) atau disebut dengan nama generik OSS (Online Single Submission) menjadi kendala tersendiri bagi sejumlah pengusaha konstruksi di Provinsi NTB.
Bukannya memudahkan, sistem OSS yang pelaksanaannya diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 2018, justru membuat pengusaha sulit mengantungi izin atau mengurus perpanjangannya.
"Bahkan untuk perpanjangan izin pun, jadi sulit. Dengan sistem OSS ini seolah semua urus izin baru. Ini yang jadi kendala bagi kami," kata Ketua Gabungan Pengusaha Konstruksi Indonesia (Gapeksindo) NTB, Ir H Bambang Muntoyo, Selasa (24/9) di Mataram.
Ia mencontohkan, untuk perpanjangan izin dan perubahan akta sistem OSS mengharuskan pengusaha menyertakan Surat Izin Usaha Jasa Konstruksi (SIUJK), Sertifikat Laik Fungsi (SLF) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk kantor mereka.
Padahal, menurut Bambang, umumnya pengusaha konstruksi menyewa kantor dalam jangka waktu tertentu.
"Kontraktor kan (biasanya) nyewa kantor. Apalagi yang skala pengusaha menengah dan kecil. Nah OSS mewajibkan ada SLF sesuai IMB, dan juga harus ada Amdal. Ini menyulitkan, akhirnya banyak anggota (Gapeksindo NTB) yang sulit memperpanjang izin, belum lagi urus Nomor Induk Berusaha (NIB)," katanya.
Bambang mengatakan, hal ini menjadi salah satu penyebab lesunya usaha konstruksi di NTB belakangan ini.
Berdasarkan data, jumlah anggota Gapeksindo NTB setiap tahun menurun.
Sebelumnya tercatat sebanyak 815 anggota aktif di tahun 2017, kemudian menjadi 625 di tahun 2018, dan tahun 2019 tercatat tinggal 255.
"Sektor usaha jasa konstruksi kita di NTB bisa dibilang terpuruk. Selain dampak gempa bumi tahun lalu, juga karena sistem OSS yang masih sulit. Jadi, pengusaha di sini jangankan menang tender, ikut (tender) saja susah, karena perpanjangan izin yang rumit," katanya.
Ia berharap Pemda di NTB baik Pemkab maupun Pemkot bisa mempermudah pengurusan izin yang diperlukan untuk pengusaha konstruksi.
"Harusnya ada kebijakan. SIUP, SITU dan SIUJK misalnya, itu kan kebijakan Pemda setempat, baik Pemkab maupun Pemkot," katanya.
Bambang Muntoyo menilai, jika kondisi ini terus berlanjut maka akan membuka peluang semakin besar bagi perusahaan-perusahaan luar NTB untuk masuk. Sekaligus membuat Peraturan Gubernur NTB Nomor 20 Tahun 2019 tak bisa optimal terealisasi.
Padahal Pergub 20 Tahun 2019 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia Lingkup Pemerintah Provinsi NTB itu bertujuan untuk melindungi, memudahkan dan memprioritaskan pengusaha lokal NTB.
"Dengan tender terbuka saat ini, jelas akan banyak pengusaha lokal kita yang tidak bisa ikut kompetisi karena kelengkapan perusahaan kurang. Ini membuka peluang perusahaan luar masuk," katanya.
Bambang Muntoyo menekankan, seharusnya Pergub 20 Tahun 2019 itu diimplementasikan maksimal dengan cara memprioritaskan pengusaha lokal NTB.
Dalam sebuah tender misalnya, perusahaan luar bisa dikesampingkan dulu dan memprioritaskan lokal.
Jika nantinya ternyata pengusaha lokal tidak ada yang memenuhi kriteria, baru silahkan yang luar masuk.
"Ini baru proteksi, prioritaskan yang lokal dulu lah.Terus terang saya miris dengan kondisi kita saat ini, banyak anggota (Gapeksindo NTB) yang mengeluhkan ini," tukasnya. (*)