Program S1 Korea, Belasan yang Batal Berangkat Pun Kecewa, Kehilangan Pekerjaan dan Menanggung Hutang !!

MandalikaPost.com
Jumat, September 06, 2019 | 08.00 WIB Last Updated 2019-09-06T04:25:28Z
Belasan peserta program S1 Korea mengikuti kursus bahasa Korea di Hotel Giri Putri Mataram, sambil menunggu keberangkatan gelombang II beberapa waktu lalu. (Foto: Dokumentasi/Istimewa) 


MATARAM - Selain 18 orang yang sudah berada di Korea Selatan dan gagal mengikuti kuliah S1 di Chodang University, 17 orang yang tak sempat berangkat ke negeri K-Pop itu juga mengaku sangat kecewa.

Beberapa diantaranya terpaksa kehilangan pekerjaan, menanggung malu, dan merasa terbeban hutang.

"Kami 17 orang yang belum diberangkatkan (ke Korea), juga tidak jelas ke depannya. Kami minta panitia dan Pemprov NTB bisa memperhatikan (nasib) kami juga," kata Zul Imam (bukan nama sebenarnya, disamarkan atas permintaan narasumber).

Zul adalah lulusan D3 Kesehatan, yang sudah beberapa tahun terakhir bekerja di perusahaan cabang sebuah BUMN di Lombok.

Kepada Mandalikapost.com, Kamis malam (5/9), Zul mengaku tertarik dengan program pendidikan di Korea Selatan setelah menerima brosur yang mempromosikan program tersebut, pada akhir 2018 lalu.

Niat Zul ingin melanjutkan kuliah dan meraih S1 sesuai keilmuannya dan juga bisa bekerja sesuai bidang keilmuannya kelak.

"Gaji pokok saya itu Rp4 juta perbulan, tapi saya memutuskan resign dari tempat kerja saya karena saya pikir dengan program ini saya bisa meraih S1 dan kembali memanfaatkan keilmuan saya di bidang kesehatan nantinya," katanya.


Seperti 35 peserta program lainnya, Zul mengikuti proses seleksi dan dinyatakan lulus.

Rasa bangga dan optimistis semakin kuat ketika pada Januari 2019 Pemprov NTB resmi menandatangani LOI dengan Chodang University, sebuah perguruan tinggi di Korea Selatan yang akan melaksanakan program pendidikan.

Menurut Zul, biaya pendidikan memang cukup besar mencapai Rp80 juta seperti tertera dalam brosur yang ia terima.

Namun ini bukan kendala, sebab panitia membantu dengan pinjaman di perbankan.

"Semua seperti di brosur, (peserta) yang tidak punya uang tunai, maka akan diberikan bantuan pinjaman oleh Bank NTB Syariah. Cara melunasinya nanti kami dikasih (pekerjaan) paruh waktu, dengan gaji Rp10 juta per bulan. Jadi kita kan mikir, oh bisalah bayar hutang itu sambil bekerja paruh waktu di Korea," katanya.

Seingat dia, tidak semua dari 35 peserta menerima pinjaman dari Bank.

Kebanyakan yang menerima pinjaman adalah non PNS dan fresh graduate, jumlahnya sekitar 28 orang.

"Kita dapat pinjaman Rp60 juta, disuruh buka rekening kemudian dananya ditransfer ke rekening tabungan. Terus esoknya panitia dampingi kita untuk transfer dana itu ke rekening pihak sana. Saya sama empat teman lainnya yang juga dapat dana pinjaman, panitianya satu orang (yang mendampingi)," katanya.

Namun, saat proses transfer ke rekening yang dituju, transaksinya gagal. Zul dan empat rekannya kemudian diminta untuk menarik uang tunai dan diserahkan ke panitia keesokan harinya.

"Kita disuruh kumpulkan, masing-masing Rp50 juta dan diserahkan ke panitia. Sisanya yang Rp10 juta katanya untuk persiapan, Rp5 juta untuk keperluan sebelum berangkat (ke Korea) untuk beli jaket dan sebagainya, kemudian Rp5 juta disuruh bawa untuk persiapan biaya awal di Korea," katanya.

Seingat Zul, proses itu terjadi beberapa pekan sebelum jadwal rencana pemberangkatan ke Korea.

Karena merasa sudah sangat pasti akan
melanjutkan kuliah di Korea Selatan, Zul dan rekan-rekannya bahagia. Beberapa rekan Zul malah sudah menggelar syukuran keluarga. 

Kebahagiaan yang penuh harapan juga tergambar dalam video seremoni pelepasan yang diupload di youtube dibawah ini :



Toh pada Maret 2019, Zul harus gigit jari. Panitia mengabarkan hanya 18 orang yang bisa berangkat, sementara 17 lainnya belum bisa karena visa yang dibutuhkan tidak terbit.

Zul termasuk dalam 17 peserta yang tidak bisa berangkat.

Zul adalah anak pertama dari dua bersaudara.

Sejak ayahnya meninggal beberapa tahun lalu, dia menjadi tulang punggung keluarga, menanggung kebutuhan hidup ibu dan adiknya.

Mendapat kabar tak jadi berangkat ke
Korea, menjadi pukulan berat baginya. Apalagi saat itu pekerjaan semula sudah
dilepas.

"Saya sudah resign dari kerjaan, (karena) saya fokuskan waktu untuk ikut program ini. Awalnya informasi semua bisa berangkat, tapi ternyata nama yang keluar hanya 18 saja. Saya masuk dalam 17 yang tidak bisa berangkat. Wah, saat itu satu Minggu saya tidak pulang ke rumah, di rumah kawan. Saya malu sama ibu saya. Bagaimana saya menjelaskan, ibu saya sudah terlanjur senang dan cerita ke banyak orang. Saya akhirnya pulang setelah keluarga mencari, dan saat sudah agak tenang baru saya bisa jelaskan kronologisnya ke ibu saya," paparnya.

Menurut Zul, saat itu pihak panitia menjanjikan akan segera mengurus visa dan memberangkatkan 17 peserta ini untuk gelombang selanjutnya.

Sambil menunggu jadwal pemberangkatan, Zul dan 16 rekannya yang lain mengikuti les bahasa Korea, difasilitasi panitia.

"Kalau janji berangkat itu sering sekali, tapi tidak jelas kapan. Kemudian ada panitia baru, ya mereka bilang kami akan berangkat gelombang kedua sementara Visanya mereka urus. Katanya karena 18 yang gelombang I sedang belajar bahasa Korea juga di sana, maka kami juga harus belajar bahasa Korea. Seingat saya, kita les intens tiga bulan lah, Mei sampai Juli. Iya seingat saya itu awalnya bulan Puasa,"
katanya.

Panitia baru menfasilitasi les bahasa Korea tanpa biaya. Beberapa dari 17 peserta yang berasal dari pulau Sumbawa juga diberi fasilitas akomodasi gratis di Hotel Giri Putri, Mataram, selama mengikuti les bahasa Korea.

Menurut Zul, selepas les bahasa Korea pada pertengahan Juli, mereka diminta bersabar menunggu dan dijanjikan akan berangkat pada September ini.

Zul menyebutkan sejumlah nama pejabat yang menjanjikan hal itu, namun ia meminta tidak untuk ditulis.

"Dia (pejabat) itu bilang kalian tenang dan sabar, visa sedang kami urus dan bisa berangkat September. Tapi kan sebelum September, sudah ada masalah yang di Korea," katanya.


Mendengar kabar tentang 18 peserta program yang gagal mengikuti pendidikan S1 di Korea Selatan, Zul mengaku sedikit lega. Ia bahkan bersyukur tidak ikut dalam rombongan gelombang pertama itu.

"Dulu waktu tidak jadi berangkat karena visa tidak terbit, kami kecewa sekali, sangat galau lah. Tapi mungkin ini hikmahnya, sekarang (setelah tahu kondisi di Korea) kita malah Alhamdulillah bukan termasuk yang 18 itu," kata Zul.

Meski bisa bersyukur, Zul mengaku masih juga galau tentang nasibnya ke depan.

Ia berharap panitia dan Pemprov NTB memperhatikan nasib 17 orang termasuk dirinya.


Apalagi menurut Zul, dari 17 orang belum berangkat ini rata-rata fresh graduated, baru saja lulus D3 Kesehatan. Mereka bahkan rela tidak mengikuti Uji Kompetensi, selepas kuliah, lantaran ikut dalam program S1 Korea ini.

"Di 17 ini yang sudah bekerja hanya dua orang termasuk saya, yang lain fresh graduated. Ya jelas, semua kecewa. Apalagi saya, ibaratnya piring sudah ada ditangan sekarang hilang, retaklah," tukas Zul.

Bukan hanya itu, 17 orang yang belum berangkat pun masih memikirkan beban hutang.

Hutang senilai Rp60 juga bukanlah jumlah yang ringan bagi mereka yang terpaksa kehilangan pekerjaan.

"Panitia pernah bilang, (hutang Bank) akan diputihkan. Tapi kita juga belum jelas," kata Zul.

Seperti alur drama Korea yang seringkali menguras pikiran dan mempermainkan emosi, Program Pendidikan Percepatan S1 di Chodang University telah memainkan perasaan dan juga nasib masa depan 35 orang lulusan D3 Kesehatan asal NTB, peserta program. (*/Bersambung)

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Program S1 Korea, Belasan yang Batal Berangkat Pun Kecewa, Kehilangan Pekerjaan dan Menanggung Hutang !!

Trending Now