Eli Sukemi. |
MATARAM - Bursa lelang jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) sudah dimulai. Solidaritas Perempuan berharap pejabat Sekda yang responsif dan ramah gender.
"Ya, siapa pun yang jadi Sekda NTB harus memiliki loyalitas, memahami visi misi politik kepala daerah, responsif gender, faham isu gender, ramah gender," kata Ketua Badan Eksekutif Solidaritas Perempuan Mataram, Eli Sukemi, Rabu (25/9) di Mataram.
Menurutnya, pejabat utama yang memegang kebijakan administrasi pemerintahan di NTB harus memahami persoalan perempuan, tidak melakukan kekerasan terhadap perempuan, paham persoalan buruh migran, dan tidak mendukung eksploitasi sumber daya alam.
"Dalam setiap kebijakannya juga harus memiliki program mendukung kesetaraan, program yang responsif gender," katanya.
Eli menegaskan, Sekda NTB ke depan harus bisa mengakomodir kesetaraan untuk Gender dan Inklusi (GESI).
"Dan tidak saja bicara kepentingan laki-laki atau perempuan saja, tetapi juga penyandang disabilitas," katanya.
Ia menekankan, akan lebih baik lagi jika jabatan Sekda NTB dijabat oleh pejabat perempuan.
"Kami rasa perlu juga, (Sekda) perempuan yang punya perspektif feminis, paham dan mengerti persoalan perempuan dan kelompok rentan. Sehinga mampu nemperjuangkan kepentingan dan kebutuhan GESI," tukasnya.
Solidaritas Perempuan (SP) Mataram merupakan bagian jejaring Solidaritas Perempuan Nasional. Selama ini lembaga non profit ini bergerak di bidang pembinaan dan pendampingan advokasi untuk perempuan, termasuk buruh migran dan buruh tani perempuan.
Eli mengungkapkan, keberpihakan pemerintah daerah pada perempuan dinilai masih kurang.
Hari Tani Nasional (HTN) menjadi momentum melihat dan introspeksi kembali.
"Masih banyak kebijakan alihfungsi lahan pertanian atas nama investasi. Ini mengorbankan banyak perempuan, buruh tani kita, ini hanya salah satunya," katanya
Karena itulah dalam peringatan HTN tahun 2019 ini, SP Mataram menyatakan sikap menolak alih fungsi lahan pertanian.
Eli memaparkan, buruh tani perempuan banyak yang menggantung sumber hidup, kehidupan keluarga dari bertani.
Masifnya alih fungsi lawan sawah produktif telah meminggirkan petani, buruh tani perempuan dan merampas kedaulatan petani atas sumber dan hak-haknya dalam mengakses sumber pangan sehat.
"Padahal selama ini perempuan memiliki peran dan keterikatan kuat dalam sistem pengelolaan pangan, baik di dalam proses produksi, konsumsi hingga distribusi," katanya.
Di sektor pertanian, papar Eli, aktivitas seperti pemuliaan benih hingga pengelolaan tanaman pangan banyak diperankan oleh perempuan.
Pengetahuan kearifan lokal dan pengalaman perempuan mampu mempertahankan pola pengelolaan produksi pangan, mulai dari kesuburan tanah dan benih lokal hingga menjadi pertanian yang berkelanjutan.
Peminggiran perempuan dari akses pangan lokal semakin sulit dengan semakin sempitnya lahan sawah produktif yang tersedia.
"Situasi yang ada akan berdampak pada sulitnya perempuan, buruh tani dalam mengakses sumber dan bahan bahan pangan lokal yang sehat," katanya.
Dalam momentum peringatan HTN 2019, petani, perempuan petani, buruh tani perempuan bersama Solidaritas Perempuan Mataram menggalang dukungan melalui aksi solidaritas bersama dan mengajak kepada semua pihak menolak alih fungsi lahan sawah produktif petani sebagai bentuk petani berdaulat atas sumber pangan.
"Kami juga menuntut pemerintah lebih mendukung kebijakan pertanian dan perlindungan lahan pertanian berkelanjutan sebagai bentuk upaya pemenuhan hak-hak pangan petani, terutama buruh tani perempuan," katanya.(*)