Nauvar Farinduan. |
MATARAM - Distribusi dana hibah untuk lembaga dan organisasi pendidikan dan kebudayaan di Provinsi NTB tahun 2019, terindikasi timpang dan tidak berimbang.
Sejumlah berkas dana hibah yang beredar di media sosial satu pekan ini, membuka kritisi dari banyak pihak termasuk jajaran DPRD Provinsi NTB.
"Terlihat sekali dana bantuan hibah yang diberikan kepada lembaga - lembaga Pendidikan/Pelatihan/ Penelitian pada tahun ini sangat jelas ketimpangan dan ketidak-berimbangannya apabila dilihat dari nilai bantuan," kata anggota DPRD NTB, Nauvar Farinduan, Sabtu (5/10) di Mataram.
Farin menandaskan, seharusnya dalam menetapkan kebijakan khususnya berkaitan dengan dana hibah untuk lembaga-lembaga yang berorientasi pada pendidikan dan pelatihan, maka Gubernur atau pun Wakil Gubernur harus mengacu pada azas pemerataan dan keberimbangan.
Apalagi, papar dia, bantuan-bantuan terhadap lembaga-lembaga ini memang merupakan kewajiban pemerintah sebagai support tool atas keberlangsungan lembaga-lembaga tersebut ke depan.
"Sehingga (dengan) indikasi ketimpangan dan ketidakberimbangan dari nilai bantuan ini, sangat terasa dan kental subjektivitas dan ketidakprofesional Pemprov dalam menentukan acuan dalam penetapan distribusi bantuan ini," katanya.
Farin mengungkapkan, perspektif DPRD NTB dalam melihat kebijakan Pemprov terkait bantuan hibah ini tidak hanya dari kata-kata yang diucapkan Gubernur saja, namun juga harus terefleksi semua dalam angka-angka.
Dari sejumlah data yang ia terima, ketimpangan jumlah bantuan yang diterima masing-masing lembaga jelas terlihat.
Misalnya, ada beberapa lembaga yang bidang pendidikan dan pelatihannya sama namun mendapatkan bantuan dengan nilai yang jauh berbeda. Yang satu mendapat hingga ratusan juta rupiah, sementara lainnya hanya puluhan juta.
Menurutnya, penyaluran bantuan hibah punya batas-batas subjektif toleransi yang dapat dibenarkan dan bisa di terima.
"Jangan sampai seperti ini, ratusan juta berbanding puluhan juta. Tidak jelas ukurannya dan cenderung semaunya saja," katanya.
Ketua Fraksi Gerindra DPRD NTB ini mengingatkan Pemprov NTB bahwa keberimbangan dan keadilan ini penting, sebab semua lembaga penerima hibah memiliki hak yang sama dan tuntutan yang sama pula dari Pemerintah.
"Jadi jangan kemudian kewajiban dituntut sama, tapi (saat) berbicara hak-hak malah cenderung subjektif ukurannya. Ini kan tidak adil dan tidak berimbang," tegasnya.
Lebih jauh Farin memaparkan, dalam menentukan bantuan harus jelas term of reference dan juga indikator indikator output dan outcomenya.
"Bukan hanya memberikan berdasarkan like and dislike (suka atau tidak suka), atau bahkan berdasarkan pendukung ataupun bukan pendukung di zaman Pilkada," tegasnya.
Farin meminta, jajaran OPD atau Dinas terkait harus mampu memberikan penjelasan teknis terkait hal-hal tersebut.
"Jangan hanya retorika konsep dan program, karena ukuran pembangunan ini haruslah jelas, apa output atau outcome yang akan dicapai dari nilai bantuan ini?. Hal ini penting, sehingga NTB Gemilang yang digaung-gaungkan jangan berubah menjadi Kegalauan," tukas Farin.
APH Diminta Telurusi Dugaan Penyimpangan
Sementara itu, Lombok Global Institute (Logis) mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) baik Kepolisian maupun Kejaksaan untuk menelusuri dugaan penyimpangan aliran Dana Hibah kepada Badan/Lembaga/Organisasi untuk Bidang Penyelenggaraan Pendidikan dan Kebudayaan di Provinsi NTB tahun 2019.
M Fihiruddin. |
Direktur Logis, M Fihiruddin mengungkapkan, selain tak tepat sasaran, dana bansos 2019 dengan total nilai mencapai Rp60 Miliar juga dinilai rancu terkait jumlah dana yang diterima sasaran.
"Ada ketidakwajaran terkait besaran dana masing-masing penerima hibah. Dan jumlah selisih perbedaannya sangat mencurigakan," kata Fihiruddin.
Ia mencontohkan, ada sebuah komunitas pendidikan yang mendapatkan dana bantuan hibah hingga mencapai Rp900 juta, sementara komunitas lainnya rata-rata hanya mendapatkan dana masing-masing Rp75 Juta sampai Rp100 Juta.
Selain itu ada juga lembaga pendidikan setingkat SMP yang mendapatkan hingga Rp1 Miliar, sedangkan lainnya hanya berkisar Rp75 juta hingga Rp100 juta.
"Ini tidak wajar. Disini jelas harus dipertanyakan adalah mekanisme dan dasar penentuan jumlah besaran bantuan?," tegas Fihir.
Fihir menekankan, perbedaan jumlah dana hibah yang berbeda dalam margin yang diduga tidak wajar, menimbulkan indikasi penyimpangan.
"Hal ini juga menunjukan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur NTB pilih kasih dalam memberikan bantuan," tegasnya.
Lebih dari itu, papar Fihir, Logis mengkhawatirkan dugaan aliran dana hibah ini tidak tepat sasaran dan digunakan salah pemanfaatan.
Untuk mencegah terjadinya korupsi yang merugikan keuangan daerah, maka ia mendesak Kepolisian dan Kejaksaan untuk menelusuri masalah ini.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTB, H Rusman SH MH menjelaskan, mekanisme penyaluran dan besaran dana hibah dilakukan berdasarkan Pergub Nomor 21 Tahun 2017 Tentang Pedoman Pengelolaan Belanja Hibah dan Bantuan Sosial, serta perubahannya di Pergub Nomor 4 Tahun 2018.
H Rusman SH MH. |
Menurut Rusman, setiap OPD termasuk Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, sesuai tupoksi hanya menerima proposal hibah bansos yang masuk.
"Kemudian proposal disampaikan ke Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) untuk penganggarannya. Kalau sudah lengkap maka dikaji dan ditetapkan," katanya.
Terkait besaran bantuan yang diberikan pada lembaga penerima hibah, Rusman menjelaskan, sesuai ketentuan dalam Pergub diatur bahwa besaran tertinggi untuk lembaga atau badan pendidikan maksimal Rp300 juta dan untuk Ormas maksimal Rp250 juta.
"Itu yang diatur dalam Pergub pasal 3 ayat 7. Nah untuk jumlah besaran bantuan yang melebihi batas maksimal, bisa dikecualikan dengan persetujuan Gubernur," katanya.
Ia mengungkapkan, mekanisme untuk proposal dengan nilai bantuan diatas maksimal akan disampaikan TAPD ke Gubernur untuk mendapatkan persetujuan.(*)