Direktur Eksekutif Walhi NTB, Murdani. |
MATARAM - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi Nusa Tenggara Barat mendesak pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat dan Pemprov NTB untuk menutup dan mencabut izin pertambangan mangan milik konsorsium Pengusaha Modal Asing (PMA) China, di Desa Belo, Kecamatan Jereweh, Sumbawa Barat, NTB.
Walhi NTB juga menurunkan tim investigasi untuk menelusuri dugaan pemanfaatan lahan hutan sebagai daerah kawasan eksploitasi tambang mangan di lokasi tambang tersebut.
"Kami dan teman-teman Walhi Sumbawa Barat sudah membentuk tim. Kalau memang masuk wilayah hutan, ya kita desak agar kegiatan tambang ini ditutup, dicabut izinnya," ujar Direktur Eksekutif Walhi NTB, Murdani, di Mataram.
Meski perusahaan tambang mangan itu dikabarkan sudah mengantungi izin pemanfaatan lahan tambang, Murdani menekankan, harus dipastikan berada di luar kawasan hutan.
Sebab, papar dia, bisa jadi izin yang dikantungi ternyata berbeda dengan aktivitas yang dilakukan di lapangan.
"Perusahaan punya izin, tapi kalau praktiknya diduga menyimpang ya tetap harus diberi tindakan," tegasnya.
Dugaan PMA China beraktivitas tambang di kawasan hutan, terungkap sebelumnya setelah sejumlah warga di Desa Belo, Kecamatan Jereweh, Sumbawa Barat, melaporkan adanya warga negara asing (WNA) China yang datang dan menetap di wilayah itu.
Awalnya warga gelisah karena, China dikabarkan menjadi pusat awal tersebarnya virus Corona.
Kawasan Hutan Rusak Akibat Tambang
Direktur Eksekutif Walhi NTB, Murdani memaparkan, tingkat kerusakan hutan di NTB di pulau Lombok dan Sumbawa sudah tergolong parah.
Data Walhi menyebutkan, dari luas total hutan di NTB 1,07 ribu hektare lebih, setidaknya 78 persen dalam kondisi rusak dan perlu rehabilitasi. Penyebab kerusakan antara lain praktik illegal logging, perambahan hutan, alih fungsi lahan, dan investasi pertambangan, serta aktivitas illegal minning atau PETI.
"Dari aspek pertambangan saja, itu data kita menyebutkan ada sekitar 228 ribu hektare kawasan hutan di NTB masuk dalam lahan izin pertambangan. Belum lagi kita bicara PETI, yang tentu juga masif masuk ke dalam wilayah hutan," katanya.
Murdani menjelaskan, fungsi kontrol yang lemah dari pemerintah daerah membuat praktik yang merusak kawasan hutan semakin memprihatinkan.
"Kalau ditanya, sudah pasti klise jawaban Pemda, karena kekurangan SDM, wilayah yang terlampau luas untuk diawasi dan sebagainya.
Koordinasi pengawasan antara Pemerintah Provinsi dengan Pemda Kabupaten lokasi pertambangan juga kerab kali tidak sejalan. Hal ini membuat semakin rentan implementasi izin pertambangan yang melanggar aturan soal zona dan luasan lahan tambang, dan bisa masuk ke kawasan hutan.
"Untuk kasus dugaan PMA di Sumbawa Barat, Walhi merekomendasikan agar kegiatan tambang ditutup. Apalagi kalau benar dia masuk ke wilayah kawasan hutan," tegas Murdani. (*)