Korban Gigitan Anjing Gila/Ilustrasi. |
MATARAM - Seorang wanita warga Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB) dilaporkan meninggal dunia karena rabies. Hingga saat ini Dinas Kesehatan NTB mencatat lebih dari 2000 orang digigit anjing gila, dan 15 diantaranya meninggal dunia.
Korban meninggal di Dompu teridentifikasi bernama Hajrah (46), warga Desa Riwo, Kecamatan Woja, Kabupaten Dompu.
Kabid Kesehatan Kesehatan Hewan dan Kesmavet, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Dompu, Mujahidin menjelaskan, korban meninggal pada Kamis (5/3) di RSUD Dompu, setelah sempat mendapat perawatan.
"Hajrah masuk rumah sakit sekitar jam 6 sore, dan langsung dirawat di ruang isolasi. Dalam beberapa jam dirawat, dia mengembuskan napas terakhir sekitar pukul 01.00 dini hari," kata Mujahidin.
Dijelaskan, selama perawatan, korban gigitan anjing gila ini mengalami kondisi yang memprihatinkan. Dari mulutnya terus mengeluarkan air liur, takut pada air, berkeringat, sulit bernapas, takut dengan cahaya, menderita rasa nyeri di seluruh badan, dan takut terkena angin.
Berdasarkan catatan, korban digigit anjing gila pada bulan Oktober tahun 2019 di bagian paha pada kaki kanan. Ketika itu dia sedang membersihkan lahan untuk menanam jagung di Desa Riwo.
Setelah digigit, korban tidak dibawa ke pelayanan kesehatan untuk mendapatkan vaksin anti rabies (VAR).
"Selama itu korban tidak pernah di vaksin," kata Mujahidin.
Dihubungi dari Mataram, Kepala Dinas Kesehatan Dompu, Iris Juwita Kartianti membenarkan kasus tersebut.
Menurut dia, jumlah total kasus gigitan anjing gila di Kabupaten Dompu hingga 8 Maret 2020 sudah mencapai 2.097 orang. Namun sebagian besar tertangani dengan baik karena cepat dilaporkan dan mendapat suntikan virus anti rabies (VAR).
"Kasus GHPR (Gigitan Hewan Penular Rabies) di Dompu tercatat 2.097 orang, yang fatal ada 15 kasus. Meninggal dunia," kata Iris, Senin (9/3).
Dipaparkan 15 kasus fatal terjadi di sejumlah Kecamatan seperti, Kempo (6 kasus), Soriutu (2 kasus), Dompu Barat (2 kasus), Dompu Timur (1 Kasus), Rasabou (1 kasus) dan Calabai (3 kasus).
Iris menjelaskan, saat ini Pemda Dompu terus berupaya meminimalisir kasus rabies di wilayahnya.
Dikes Dompu sendiri telah melakukan peningkatan kapasitas para medis dalam menangani kasus rabies. Menyiapkan vaksin VAR dan SAR dari Kementerian Kesehatan untuk kebutuhan hingga tingkat Puskesmas, serta menyiapkan ruang isolasi khusus rabies di RSUD Dompu.
"Pemda Dompu juga sudah membentuk tim penanggulangan rabies hingga ke tingkat Kecamatan dan Desa," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB, Nurhandini Eka Dewi mengatakan, status Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk wilayah Sumbawa, Dompu, dan Bima di NTB masih tetap diberlakukan.
"Selama masih ada korban gigitan anjing atau GHPR maka status KLB masih berlaku. Status KLB Rabies ini bisa dicabut setidaknya dua tahun setelah kasus gigitan terakhir," kata Nurhandini, Senin (9/3) di Mataram.
Menurutnya, kasus GHPR masih terjadi di Dompu dan Bima, sementara di Sumbawa sudah cenderung menurun dan tidak ada laporan dalam dua bulan terakhir.
Ia menjelaskan, penanganan rabies di NTB cukup sulit lantaran populasi anjing liar yang masih banyak. Pemda Bima dan Dompu juga sudah membentuk tim eliminasi anjing liar sejak tahun lalu.
"Kalau vaksin untuk manusia aman, karena masyarakat yang digigit bisa lapor dan langsung diberi VAR, atau diberi SAR jika gigitannya dekat pembuluh darah besar. Tapi kalau anjing kan sulit ya, populasinya yang liar juga cukup banyak. Eliminasi tetap dilakukan tapi kan sulit karena mereka bergerak terus," katanya.
Ia menjelaskan, sejauh ini sudah lebih dari 3000 orang diberi vaksin anti rabies, lebih dari 2500 merupakan korban GHPR dan sisanya petugas kesehatan yang memiliki risiko GHPR.
Kasus rabies di NTB sudah terjadi sejak Februari 2019 silam dan pemerintah sudah menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) Rabies di Kabupaten Sumbawa, Dompu, dan Bima.
Meski demikian, Nurhandini mengatakan, sejauh ini Lombok masih aman dari rabies.
Salah satunya dengan melakukan larangan penyeberangan hewan peliharaan Anjing, Kucing dan Kera di pelabuhan penghubung Sumbawa-Lombok.
Nurhandini menjelaskan, kasus rabies memang sulit terdeteksi, karena gejala klinis baru muncul setelah dua bulan sampai dua tahun setelah gigitan anjing atau Hewan Penular Rabies (HPR).
Sebagian kasus fatal terjadi karena para korban GHPR tidak melaporkan sehingga penanganannya terlambat.
Ia mengatakan, rabies merupakan virus yang penularannya melalui hewan penular seperti anjing, kucing dan kera.
Virus akan menyebar pada korban yang tergigit melalui peredaran darah saraf. Jika tidak ditangani, maka virus akan terus berjalan dan bermuara di otak dan bisa menyebabkan kematian.
"Kalau sudah menyerang otak, maka fungsi otak akan terganggu terutama fungsi menggerakan organ pernafasan. Jadi memang harus segera melapor jika ada kasus GHPR, agar bisa ditangani," katanya.
Nurhandini memaparkan, untuk pasien tergigit anjing maka harus diberikan serum anti rabies. Mereka juga harus terus dipantau kesehatannya hingga dua tahun ke depan.
Dikes NTB dan jajaran juga terus melakukan sosialisasi dan edukasi pada masyarakat tentang pertolongan pertama rabies.
Sebab, menurutnya, risiko penularan rabies dari hewan ke manusia bisa dicegah atau diminimalisir jika setelah tergigit, luka gigitan dicuci dengan sabun dan air mengalir selama minimal 15 menit.
"SOPnya begitu, 15 menit dicuci dengn sabun dan air mengalir setelah gigitan. Itu 80 persen virus akan pergi dan sisanya bisa ditangani dengan perawatan medis," kata dia. (*)