![]() |
Ratusan wisatawan mancanegara menunggu fastboat untuk meninggalkan Gili Trawangan, Senin (16/3) menuju Bali. (Dok.Ist) |
LOMBOK UTARA - Drama eksodus wisatawan yang terjadi saat Lombok dilanda gempa bumi 2018, seolah kembali terjadi di Gili Trawangan, Senin (16/3), pasca pemerintah NTB menetapkan status siaga darurat bencana non alam, untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19.
Tanpa informasi yang mereka terima dengan tepat, sekitar 3.000 orang wisatawan di pulau eksotis ini nampak tergesa untuk segera bergegas meninggalkan Trawangan.
Keputusan yang tepat, tanpa disertai pola distribusi informasi yang akurat, membuat sektor pariwisata di Gili Trawangan terpukul untuk ke sekian kalinya.
"Kami bisa survive saat ini? Ya, survive dalam tanda petik. Pasca eksodus kemarin, kita benar-benar menderita. Okupansi rata-rata per hari ini, bisa dibilang nol koma sekian persen saja," kata Ketua Gili Hotel Association, Lalu Kusnawan, Selasa (17/3) di Gili Trawangan, Lombok Utara.
BACA JUGA : Wisatawan Asing Ini Sebarkan Berita Baik Tentang Gili Trawangan
Kusnawan mengatakan, eksodus pada Senin terjadi karena ada kepanikan sebagian besar wisatawan di Gili Trawangan, Air dan Meno setelah beredar informasi tentang penutupan seluruh akses ke kawasan Gili.
Informasi menyimpang juga muncul tentang peluang Gili dikosongkan dari wisatawan.
Sementara, para pelaku wisata di sana juga belum menerima informasi detil dan teknis terkait keputusan Pemprov NTB, untuk kawasan Gili.
"Catatan di Syahbandar, yang keluar Senin kemarin itu sekitar 2.500 orang, tapi perkiraan saya bisa sampai 3.000 orang. Saat ini di tiga Gili ini paling banyak tinggal 500 orang wisatawan saja. Kepanikan kemarin memang karena informasi yang sebenarnya tidak segera sampai, dan kami juga tidak bisa menjelaskan pada wisatawan," kata Kusnawan.
Menurut dia, pada Senin malam, informasi yang utuh dan teknis baru diterima para pelaku wisata dalam pertemuan bersama Gubernur NTB, Dr H Zulkieflimansyah dan jajaran Pemprov NTB, di Mataram.
Pemprov NTB mengeluarkan kebijakan membatasi akses masuk ke kawasan Gili, terutama untuk kapal cepat langsung dari Bali. Wisatawan masih bisa ke Gili melalui pelabuhan Bangsal, karena Bandara Lombok dan pelabuhan Lembar masih beroperasi.
Pembatasan akses juga hanya berlaku 14 hari hingga 30 Maret mendatang. Selama kurun itu upaya pembersihan dan penyemprotan disinfektan akan dilakukan di tiga Gili.
"Jadi, kesimpulan dan gambaran utuh itu baru kita terima setelah meeting dengan Gubernur bahwa Gili sebenarnya tidak ditutup total. Ya, saya sampaikan ke Gubernur, tolong lain kali kedepannya paling tidak kami dilibatkanlah, sehingga efek dampak yang muncul itu tidak sampai seperti ini," katanya.
Menurutnya, pelaku wisata khususnya di Gili juga bisa memahami soal antisipasi Covid-19 ini. Hanya saja, kebijakan yang diambil tanpa melibatkan pelaku wisata bisa menimbulkan dampak yang diluar dugaan.
"Setidaknya jika kami dilibatkan, bisa ada opsi-opsi bersama tentang teknis kebijakan itu. Apa saja langkah yang harus diambil, sebelum beliau-beliau itu memutuskan untuk mengeluarkan kebijakan. Kalau tidak begitu, kita tidak akan pernah tahu kan kalau ternyata kebijakan yang bagus di satu sisi justru mengorbankan banyak pihak di sisi lain," katanya.
Kusnawan mengatakan, kalau saja informasi yang tepat dan utuh diterima para pelaku wisata di kawasan Gili sebelum pemerintah mengumumkan keputusannya, justru akan berdampak sangat baik bagi sektor pariwisata di Gili.
"Kita baru tahu setelah meeting dengan pak Gubernur, kalau tamu yang sudah ada di Gili ini boleh stay. Ini kan seharusnya bisa menambah lama tinggal mereka. Ini bisa jadi opportunity behind disaster, tapi sayangnya jadi hilang momentnya," ujarnya.
Menurutnya, secara prinsip pelaku wisata di Gili sangat mendukung kebijakan pemerintah NTB demi mengantisipasi Covid-19. Namun ia berharap ke depan, setiap kebijakan bisa melibatkan pelaku wisata juga.
"Kita sangat setuju dan mendukung, tapi kami juga dikasih solusi dan teknis pelaksanaan yang jelas bagaimana di lapangan biar tidak terjadi seperti kemarin. Jadi selama ini yang sering terjadi, keputusan diambil, sementara pelaku wisata sendiri belum tahu," tukasnya.
Kepala Dinas Kominfotik NTB, I Gede Putu Aryadi mengatakan, kepanikan wisatawan di Gili Trawangan Senin (16/3) itu disebabkan informasi yang salah, dan ada informasi keliru yang diduga disebar pihak tak bertanggung jawab.
"Jadi informasi yang diterima di sana bahwa Gili akan ditutup, seluruh bandara dan pelabuhan di NTB juga akan ditutup. Hal ini yang menyebabkan wisatawan panik dan berusaha segera keluar dari Gili," katanya.
Sejak Senin siang (16/3) pemerintah NTB melalui Posko Waspada Covid-19, juga sudah membantah isu penutupan Gili. Toh, ribuan wisatawan yang keburu panik, lebih dulu keluar, menuju Bali.
Ketua Gili Hotel Association, Lalu Kusnawan mengatakan, hal ini harus menjadi koreksi dan pelajaran bagi otoritas dalam mengambil keputusan ke depan.
"Karena sebagus apapun keputusan dan kebijakan daerah, bisa menjadi kurang bagus pelaksanaannya kalau informasi yang diterima masyarakat tidak tepat," katanya.
Menurutnya, selain meluruskan informasi-informasi yang terlanjur tersebar, Gili juga membutuhkan re-branding dan promosi masif kembali. Agar pasca 14 hari pembatasan, destinasi ini bisa kembali menarik wisatawan untuk berkunjung.
"Setelah kejadian kemarin, saya rasa tidak mudah melakukan re-branding dan mempromosikan Gili kembali. Tapi ini satu-satunya jalan untuk bangkit dari keterpurukan," katanya. (*)