Kepala Dinas Perhubungan NTB, H Lalu Bayu Windia. |
MATARAM - Kebijakan sebagian Pemda di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memutuskan melarang warga dari luar daerah dan luar negeri masuk ke wilayah NTT, berdampak pada warga NTT yang berniat pulang kampung.
Perjalanan pulang warga NTT yang ada di sejumlah daerah menuju kampung halaman masing-masing di NTT, yang salah satunya melalui wilayah NTB akhirnya berpotensi menimbulkan penumpukan di sejumlah pelabuhan di wilayah NTB.
Pemerintah Provinsi NTB mulai mengantisipasi penumpukan warga Nusa Tenggara Timur (NTT) tersebut, termasuk mengupayakan komunikasi intensif dengan Pemprov NTT untuk mengurai masalah tersebut.
"Gelombang kepulangan warga NTT sudah dimulai beberapa hari terakhir ini. Sayangnya mereka ditolak pulang Pemda di NTT. Ini sangat berpotensi mereka akan "terdampar" di wilayah NTB, seperti di pelabuhan Lembar, dan di Pelabuhan Sape. Ini yang tengah kita antisipasi, dan merumuskan jalan keluar," kata Kepala Dinas Perhubungan NTB, H Lalu Bayu Windia, Sabtu (18/4) di Mataram.
Tidak jelasnya nasib puluhan warga NTT yang hendak pulang kampung, Sabtu (18/4) terjadi di Pelabuhan Sape, Bima, NTB.
Mereka yang hendak menyeberang dari Sape ke Labuhan Bajo, tertahan lantaran Surat Edaran Bupati Manggarai Barat yang merujuk Surat Keputusan Dinas Perhubungan NTT melarang aktivitas penumpang dari pelabuhan Sape hingga 30 Mei mendatang.
BACA JUGA : Dilarang Pulang Kampung, Puluhan Warga NTT "Terdampar" di Pelabuhan Sape, Bima
Hal yang sama juga menimpa puluhan warga NTT yang hendak menyeberang menggunakan Kapal Pelni Egon, dari Pelabuhan Lembar ke Waingapu, Sumba Timur. Mereka tak bisa melanjutkan perjalanan karena Pemda di NTT melarang.
Berdasarkan data Dinas Perhubungan NTB, selama ini ada dua pintu penghubung laut dari NTB menuju NTT. Untuk daerah pulau Flores melalui Pelabuhan Sape, Bima, sementara untuk pulau Sumba melalui pelabuhan Lembar, Lombok Barat menggunakan kapal Pelni Egon.
Bayu Windia menjelaskan, umumnya warga NTT yang pulang kampung ini merupakan para pekerja swasta dan mahasiswa di sejumlah daerah di Jawa dan Bali, yang terdampak pandemi Covid-19.
"Mereka sepertinya mencoba bertahan di wilayah tempat kerja masing-masing, tapi lama-lama kan habis kemampuannya. Mulai ada kebijakan penutupan usaha, perhotelan, sudah ada juga PHK dan sebagainya, akhirnya mereka pilih pulang kampung. Tapi ini menjadi dilematis ketika NTT justru menolak kedatangan warganya, karena pasti berpotensi menumpuk dan terdampar di wilayah NTB," kata Bayu.
Ia menyayangkan kebijakan sejumlah Pemda di NTT yang menutup pintu lautnya, di tengah masa pendemi Covid-19 ini. Apalagi hal itu berdampak bagi warga NTT sendiri yang hendak pulang kampung.
"Ini kan kasihan. Apalagi sekarang, banyak orang di-PHK dan ingin pulang kampung karena tidak ada penghasilan di daerah tempat kerjanya," katanya.
Bayu menambahkan, untuk mengatasi potensi masalah ini, Gubernur NTB Dr H Zulkieflimansyah sudah bersurat ke Gubernur NTT Victor Laiskodat agar meninjau kembali kebijakan Pemda di wilayahnya.
"Gubernur sudah komunikasi dengan Gubernur NTT terkait masalah ini. Mudah-mudahan NTT mengubah sikap dan kebijakannya. Lagipula "anak sendiri" mau pulang, kok ditolak," katanya.
Menurut Bayu, kebijakan Pemprov NTB yang tetap membuka pintu masuk, namun dengan pengetataan pendataan, pemeriksaan, dan pemantauan bisa menjadi acuan kebijakan di NTT juga.
NTB Tetap Buka Pintu dengan Pengetatan Protokol Kesehatan
Kepala Dinas Perhubungan NTB, H Lalu Bayu Windia menjelaskan, penutupan pintu masuk seperti bandara dan pelabuhan laut juga pernah menjadi polemik di NTB, di masa awal Pandemi Covid-19 pada awal Februari lalu.
Apalagi NTB termasuk daerah destinasi wisata unggulan yang trafik wisatawan mancanegara dan domestiknya tentu tinggi, sementara penyebaran pandemi corona rawan disumbang oleh pergerakan manusia antar daerah.
Kepanikan masyarakat terhadap pandemi ini membuat sejumlah pihak meminta Pemprov NTB menutup semua pintu masuk.
Namun, Pemprov NTB tetap mengambil sikap untuk tidak menutup pintu masuk. NTB sadar bahwa wilayahnya menjadi penghubung utama antar Provinsi yang berbatasan dengan Bali dan NTT.
Dinas Perhubungan NTB sebagai leading sektor perhubungan kemudian bekerja dengan sinergitas lintas sektoral bersama Dinas Kesehatan NTB dan Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) di sejumlah bandara dan pelabuhan.
"Kewenangan Dishub NTB kan sangat terbatas, tapi untuk menjaga pintu-pintu ini sinergitas yang baik dengan sektor Kesehatan dan stakeholders lainnya ternyata sangat membantu. Pintu tetap kita buka tapi penegakan protokol kesehatan tetap kita utamakan," katanya.
Warga yang datang dari luar daerah atau luar negeri, langsung mendapatkan pemeriksaan kesehatan di pelabuhan dan bandara. Mereka juga diberi blangko HAC (Health Alert Card/ Kartu Siaga Sehat) sebagai alat kendali setiap orang yang masuk NTB.
Maklumat Gubernur NTB tentang kewajiban isolasi diri bagi warga yang datang dari luar daerah dan luar negeri, juga diimplementasikan saat mereka tiba di pintu-pintu masuk NTB.
Selain mengisi surat kesediaan melakukan isolasi diri selama 14 hari, warga yang datang juga ditetapkan sebagai OTG (Orang Tanpa Gejala), ODP (Orang Dalam Pemantauan) atau status lainnya, selama masa pemantauan isolasi.
"Sejumlah Pemda kita di NTB juga punya inisiatif-inisiatif yang bagus, misalnya Lombok Timur menjemput warganya dan juga PMI dan memastikan mereka menjalani isolasi dan pemantauan," kata Bayu.
Dari aspek sosial kemanusiaan, langkah Pemprov NTB juga sangat membantu warga NTB yang pulang kampung di masa pandemi. Baik para pekerja, mahasiswa, dan santri di luar daerah, hingga para Pekerja Migran Indonesia (PMI) dari luar negeri.
Menurut Bayu, hikmah di balik kebijakan Pemprov NTB, untuk tidak menutup pintu masuk, mulai disadari belakangan ini.
Bahwa ternyata di luar daerah, banyak warga NTB yang gusar, dan ingin pulang kampung ke NTB, dan ini diperlakukan dengan baik, namun dilakukan pemeriksaan kesehatan dan pendataan yang ketat.
Sama seperti warga NTT yang saat ini mulai bergerak pulang kampung, para pekerja, PMI, mahasiswa dan santri asal NTB yang ada di luar daerah dan luar negeri juga memutuskan pulang kampung karena aktivitas kerja dan sekolah di daerah mereka berada juga sudah dihentikan sementara waktu selama pandemi corona ini.
"Pergerakan orang memperlihatkan, setiap orang ingin dekat dengan keluarganya.
Demikian pula, para pekerja migran, di rantau mereka tidak bekerja, maka secara naluri kemanusiaan, pilihan terbaik adalah dekat keluarga. Dengan tetap membuka pintu masuk namun melakukan pengetatan protokol kesehatan, NTB bisa mencapai dua sasaran, yakni mencegah penyebaran Covid-19 tanpa mengesampingkan aspek sosial dan kemanusiaan," katanya.
Selain itu, papar Bayu, masyarakat NTB juga menyadari bahwa sebagian besar yang datang ke NTB pada musim Corona ini, adalah saudara mereka juga. (*)