Ilustrasi. |
SENGGIGI - Bagi sebagian orang, pandemi korona hanya sebuah berita dan cerita yang lama kelamaan menjemukan. Bahan lelucon, antara ada dan tiada. Dan, tidak sedikit yang menjadikannya sebagai peluang untuk meraup sisi lain keuntungan.
Tapi bagi sebagian lainnya, pandemi korona benar-benar "medan pertempuran" ; sebuah pertaruhan bisa makan esok atau bakal kelaparan. Jatuh bangun di terowongan panjang, yang entah kapan cahayanya akan kelihatan.
Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, pandemi Korona (Covid-19) sangat berdampak pada sektor pariwisata. Kunjungan wisatawan terhenti sejak wabah ini mulai masuk awal Maret 2020 lalu.
Destinasi sepi dan banyak hotel menutup operasional. Industri pariwisata lainnya juga sama, travel agent, penyedian souvenir, pemandu wisata, dan jasa ikutan lainnya.
Data Dinas Pariwisata NTB menyebutkan ada lebih dari 15 ribu pekerja di sektor pariwisata ini terdampak langsung, dirumahkan, ada juga yang menerima Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Sedikit beruntung, 15 ribu pekerja yang terdata itu mendapat bantuan dari Kemenparekraf RI.
Seremoni penyerahan bantuan dilakukan Gubernur NTB Dr H Zulkieflimansyah bersama Kapolda NTB Irjen Pol M Iqbal SIK dan Kepala Dinas Pariwisata NTB, H Lalu Moh Faozal, awal Juni lalu. Isinya paket sembako, cukuplah untuk bertahan hidup dua minggu.
Karina hanya membaca berita itu di media sosial. Menghela nafas untuk nasib yang belum sempat menerima bantuan serupa.
"Kita nggak dapat. Nggak ada didata," ujar Karina, wanita 28 tahun, yang meminta namanya disamarkan.
Janda muda asal Garut, Jawa Barat, ini mengaku sudah berada di Lombok sejak akhir 2019 lalu. Bersama empat teman sekampung, ia dibawa "mami" untuk bekerja sebagai partner song (PS) di tempat hiburan malam di Senggigi.
Tiga bulan pertama bekerja, penghasilan Karina sebagai PS cukup lumayan. Menuang gelas minuman, menemani tamu bernyanyi, ia bisa membawa pulang Rp6 juta hingga Rp10 Juta setiap bulan. Belum lagi tip harian dari tamu yang puas dan senang dengan pelayanan.
"Itu bersih, sudah ditanggung biaya mess dan makan. Lebih besar dari gaji wartawan kan?," selorohnya.
Tapi, sejak Maret 2020 semua berubah. Pandemi korona membuat Pemda Lombok Barat dan Pemprov NTB menutup aktivitas pariwisata, termasuk bisnis hiburan malam.
Lokasi hiburan malam tempat ia bekerja, juga ditutup. Bos memutuskan tak ada gajian, sementara sang mami pun henkang, angkat tangan.
Sepanjang Maret, Karina bisa bertahan dengan tabungan tersisa, setelah sebagian besar dikirim untuk orangtua di kampung halaman. Memasuki April, ia tak punya pilihan dan mulai menjual barang-barang. Televisi, kulkas, AC portable, semua melayang untuk bertahan hidup di perantauan.
Sampai Juni, hanya tersisa spring bad dan perangkat masak di kos-kosan.
"Mau pulkam juga nggak bisa kan. Di mana-mana ada korona," katanya.
Sabtu malam (27/6), tangan halusnya menuang minuman, menawarkan beberapa lagu yang mungkin enak dinyanyikan.
Bukan. Bukan di tempat hiburan malam yang dulu. Kini Karina mulai bekerja di sebuah cafe minuman tradisional di Kota Mataram. Populer disebut cafe tuak, kedai-kedai kecil seperti ini cukup banyak di Mataram.
Pendapatan memang tak sebesar di Senggigi. Tapi bagi Karina, ini cukup untuk bertahan menyambung hidup.
Karina hanya satu dari puluhan wanita berprofesi PS di temoat hiburan malam di Lombok, NTB. Seperti Karina, semua juga terdampak dan mengalami kesulitan ekonomi yang sama. Tapi solusi tetap kembali ke masing-masing.
Menurut Karina, banyak juga oknum PS yang akhirnya beralih profesi menjadi pramunikmat. Cari duit gampang dengan menjual tubuh di masa pandemi korona.
Modusnya beragam. Ada yang buka lapak di kos-kosan, banyak juga yang mengatur janji lewat aplikasi medsos sejenis M*chat dan sebagainya.
"Tarifnya juga beragam, mulai Rp500 ribu sampai Rp1,5 juta shortime. Mereka rela sewa kamar hotel untuk praktek. Teman saya sehari bisa dapat sampai 5 tamu. Tapi nggak ah, takut penyakit. Masih banyak korona juga," ujar Karina.
Banyak yang mencari jalan instan, meraup rupiah dari hidung belang dan suami yang galau dengan pasangannya. Toh, banyak juga PS seperti Karina, masih bisa bertahan.
Para PS dan pekerja lain di tempat hiburan malam, semestinya masuk juga dalam data pekerja sektor pariwisata yang terdampak pandemi saat ini. Sayang, belum ada wadah atau organisasi yang menampung aspirasi kelompok ini.
Keberadaan mereka nyata, ada dan dibutuhkan di hingar bingarnya pariwisata. Namun, untuk urusan-urusan formal, stigma negatif membuat kelompok ini seringkali kurang mendapat pengakuan.
"Nggak ada didata. Ya selama ini kita nggak dapat bantuan apa-apa. Semua juga begitu kok," kata Karina.
Ia berharap pemerintah daerah bisa memperhatikan nasib pekerja malam seperti dirinya. Mungkin saja, Dinas Sosial bisa sedikit memberi perhatian.
Sekretaris Assosiasi Pengusaha Hiburan (APH) Senggigi, Ketut Mahajaya membenarkan dampak pandemi membuat bisnis hiburan malam ibarat merayap, nyaris gulung tikar.
Di kawasan Senggigi, setidaknya ada 17 tempat hiburan malam yang tutup sejak Maret lalu. Jika rerata hiburan malam mempekerjakan 50 orang saja, maka bisa diperkirakan sekitar 850 orang pekerja yang turut terdampak. Sebagian diantara mereka ialah PS seperti Karina.
Saat ini, new normal menjadi secercah cahaya di terowongan yang cukup panjang.
"Iya new normal sebenarnya jadi harapan baru agar hiburan malam bisa buka kembali. Tapi kan, semua belum jelas kapannya," kata Mahajaya.
Ia mengatakan, persiapan new normal memang terus dilakukan. APH Senggigi juga selalu mensosialisasikan protokol new normal kepada para karyawan, agar ketika kembali buka semua sudah bisa diimplemantasikan.
Toh, keputusan tetap ada ditangan Pemda Lombok Barat.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Dinas Pariwisata Lombok Barat, H Saiful Ahkam menyambut baik semangat pelaku wisata di Lombok Barat yang terus meningkatkan kesiapan mereka menyongsong new normal.
Menurutnya, Pemda Lombok Barat secara bertahap sudah mulai membuka beberapa destinasi wisata dengan protokol yang ketat.
"Tapi memang untuk hiburan malam, masih kita rumuskan modelnya. Protokolnya harus kita siapkan," kata Ahkam.
Sejauh ini, komunikasi Dinas Pariwisata dengan pelaku usaha di Senggigi terus berjalan.
"Mungkin nantinya bisa buka, tetapi belum untuk room (karaoke). Skemanya masih kita kaji dulu," ujarnya.
Dinas Pariwisata Lombok Barat juga tengah mengupayakan kemungkinan rapid test bagi pekerja hiburan malam, sebelum beroperasi kembali.
Pola rapid test bisa dilakukan dengan model B to G, atau pelaku bisnis dengan Dinas Kesehatan Lombok Barat, atau bisa juga B to B, antara pelaku bisnis dengan klinik atau RS swasta penyedia rapit test.
"Biaya rapid test kan berkisar Rp150 ribu, saya pikir ini bisa dilakukan. Yang jelas upaya-upaya kembali menggeliatkan sektor pariwisata tetap kami lakukan, dengan tetap mematuhi protokol new normal," katanya.