Direktur LOGIS, M Fihiruddin. |
MATARAM - Pernyataan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) NTB Nanang Sigit Yulianto yang menilai pembebasan lahan di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Kuta, Kabupaten Lombok Tengah, sudah tuntas, mendapat sorotan dari Lombok Global Institute (LOGIS).
Direktur LOGIS, M Fihiruddin menilai pernyataan Kajati Nanang sebagai pernyataan yang premateur dan terburu-buru, tanpa memastikan kembali fakta yang ada di lapangan.
"Statemen Kajati NTB kami anggap premateur karena terlalu dini. Ibarat bayi yang keluarnya kurang bulan alias prematuer. Pandangan Kajati NTB (Tentang lahan KEK Mandalika) terbantahkan oleh fakta lapangan maupun fakta hukum," kata Fihir, Jumat malam (17/7) di Mataram.
Fihir menguraikan, fakta di lapangan saat ini masih ada masyarakat di wilayah KEK Mandalika yang memiliki bukti kepemilikan tanah. Dimana tanah tersebut terletak di lokasi yang saat ini masih dalam status bersengketa antara masyarakat dengan ITDC selaku pengelola KEK Mandalika.
Sementara itu, dari kajian uraian fakta hukum, papar Fihir, bahwa dalam terdapat putusan lepas dengan terdakwanya masyarakat pemilik lahan KEK dalam perkara pidana yang dalam pertimbangan hukum majelus hakim menyatakan terbukti perbuatan terdakwa (masyakarat pemilik lahan KEK) bukan merupakan pidana melainkan perbuatan perdata.
"Majelis hakim meyakini alat bukti yg disampaikan terdakwa dalam hal ini masyarakat pemilik lahan adalah merupakan alas hak kepemilikan terdakwa. Maka terlalu dini kesimpulan Kajati NTB yang menyatakan masalah lahan ini sudah tuntas," tukas Fihir.
Menurut dia, berdasarkan catatan LOGIS, kasus serupa pernah terjadi sekitar tahun 1999 silam, dimana pembebasan lahan KEK Mandalika masih dilakukan oleh Lombok Tourism Development Corporate (LTDC). Saat itu perwakilan LTDC menyatakan pembebasan lahan yang saat ini wilayah KEK diakui salah bayar. Namun kesalahan itu belum ada perbaikan sampai saat ini, hingga pengelola KEK Mandalika berganti menjadi ITDC.
"Jadi logikanya, kesalahan bayar tersebut akan menjadi cacat bawaan pembangunan pariwisata KEK Mandalika," katanya.
Fihir mengatakan, LOGIS meminta masalah sengketa lahan KEK Mandalika ini segera diselesaikan dengan baik oleh masyarakat pemilik lahan dan pihak ITDC selaku pengelola. Hal ini perlu dilakukan segera, agar pembangunan KEK Mandalika sebagai salah satu destinasi superprioritas, tidak tersandung kendala di kemudian hari.
"Kami minta masalah ini bisa diselesaikan dengan win-win solution. Sehingga mimpi kita bersama agar MotoGP terselenggara di Lombok, bisa terwujud tanpa meninggalkan masalah," katanya.
Ia menambahkan, sebesar dan semewah apapun pembangunan daerah, tak akan berarti apa-apa jika di dalamnya terkandung ketidak adilan dan air mata masyarakat setempat yang dirugikan.
Seperti dikutip kantor berita Antara, Kajati NTB Nanang Sigit Yulianto, menyatakan pembebasan lahan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Kuta, Kabupaten Lombok Tengah, sudah tuntas.
"Semuanya 'clear', sudah tidak ada lagi yang perlu dipersoalkan," kata Sigit.
Dia mengungkapkan hal tersebut karena melihat seluruh lahan yang menjadi lokasi pembangunan KEK Mandalika sudah berstatus hak pengelolaan lahan (HPL) yang diterbitkan PT. Indonesia Tourism Development Coporation (ITDC) Persero.
"Jadi HPL sudah ada semua, apalagi yang mau digugat, tidak ada yang perlu diganti lagi," ujarnya.
Padahal, terkait masalah lahan di areal KEK Mandalika, sebelumnya Komisi II DPR RI telah turun lapangan melihat progres perkembangan pembangunan KEK Mandalika.
Pendataan dan mendengar keluhan masyarakat, utamanya dari pemilik lahan yang bersengketa dengan pengelola KEK Mandalika, PT ITDC, menjadi perhatian Komisi II DPR RI.
Dalam temuannya, Komisi II DPR RI melihat banyak warga yang memegang atas hak yang kuat dalam kepemilikan lahan, seperti, Pipil Garuda tahun 1958, lontar tahun 1946, dan sporadik tahun 1970.
Alas hak tersebut terbit sebelum HPL dikeluarkan PT ITDC. Untuk bisa membuktikan keabsahannya, Komisi II DPR RI menantang pihak PT ITDC untuk melakukan pengujian forensik.
"Jadi silakan diuji saja keasliannya. Jangan malah mengklaim HPL (hak pengelolaan lahan) di atas lahan warga," kata Anggota Komisi II DPR RI HM Syamsul Luthfi.