Ilustrasi. |
Praktik prostitusi terselubung mulai marak di Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat, sejak masa pandemi corona Maret lalu. Aturan dan kondisi yang memaksa usaha perhotelan dan SPA legal untuk tutup sementara, diam-diam menjadi peluang untuk penjaja "wik-wik" online di lain sisi.
Barra Elank
Mandalika Post / Mataram
HOTEL melati di kawasan jalan Sriwijaya nampak sepi, Sabtu malam, akhir Agustus 2020 lalu. Hanya ada satu karyawan di bagian resepsionis, bernama Bagus.
Melihat ada yang datang, ia langsung menyapa dan bertanya sok akrab, "Malam mas, cari cewek Mic**t ya?,".
Putri Poh sudah hampir sebulan terakhir menyewa kamar 101 yang ditunjuk Bagus. Di kamar ini janda anak satu berdarah Manado ini membuka praktik masas, pijat-pijat berminyak.
Cantik, bertubuh seksi dan sintal. Tatoo bermotif bunga mawar merah, kontras di bagian dadanya yang berkulit putih. Cukup merogoh kocek Rp200 ribu perjam untuk menikmati pijatan Putri. Tapi, hidung belang mana yang rela melewatkan layanan plus-plus dari Putri?. Tentu saja, tarif akan meningkat beberapa kali lipat daripada sekadar masas kesehatan.
"Semua pasti ujung-ujungnya minta plus. Aku minta sejuta untuk dua jam," ujar Putri, masih dengan logat Manado yang kental.
Putri tiba di Mataram, Lombok, NTB awal Juli lalu. Sebelumnya ia bekerja sebagai waitress di sebuah cafe dan karaoke di pinggiran Kota Jayapura, Papua. Pandemi corona memaksanya pulang kampung ke Manado sejak Maret. Awal Juni, seorang teman lama mengajaknya bekerja di Bali.
"Kita diajak ke Bali, kerja. Tapi karena di Bali ketat sekali, akhirnya kita ke Lombok," katanya.
Di Lombok, janji kerja sebagai waitress di kawasan wisata Senggigi, tinggal janji. Putri bersama tiga temannya sempat dua hari terlunta-lunta tak tentu tujuan. Misca, wanita paruhbaya yang menjanjikan pekerjaan, hilang entah kemana. Kontak personnya pun mendadak blokir.
"Waktu datang Lombok sempat bingung, ibu Misca itu hilang kontak. Untung ada sopir taksi di Bandara Lombok yang kasih saran, kita tinggal di hotel ini sementara waktu," ujarnya.
Sambil menyelam minum air. Dari kamar hotel itu Putri pun membuka layanan jasa. Melalui aplikasi kencan Mic**t, ia bisa melayani 3-4 orang tamu dalam sehari. Seperti Putri, tiga temannya juga membuka praktik yang sama. Membatasi jumlah pelanggan, mereka membagi waktu sesuai "slot". Ada empat slot dalam sehari, durasinya terbagi menjadi pagi, siang, sore, dan malam. Tiap slot harganya berbeda, semakin larut semakin mahal.
"Ya kan kita harus kumpul uang, kalau sudah cukup untuk biaya sewa hotel bulanan, dan untuk biaya pulang kampung," katanya.
Putri hanya salah satu dari puluhan wanita yang menawarkan layanan wik-wik melalui aplikasi Mic**t. Keterpaksaan tak ada pilihan dan desakan kebutuhan ekonomi sepertinya hanya menjadi alasan klasik untuk menutupi profesi mereka yang terpinggirkan.
Di sebuah kamar kos-kosan elit kawasan Cakranegara, Kota Mataram, cerita Meilinda tak jauh beda. Sempat dua tahun hidup tak berkekurangan sebagai wanita simpanan seorang oknum GM hotel berbintang di Lombok, kini Meilinda berhadapan dengan kesulitan ekonomi yang sebenarnya.
Pandemi corona yang memaksa bisnis pariwisata meredup, ikut membuat hubungan gelap Meilinda pupus. Pria idaman yang selama ini menganggung hidupnya, hilang entah kemana.
Meilinda mengaku asli Surabaya. Tapi kulit putih dan mata sipitnya tak bisa menutupi darah keturunannya. Sebulan pasca gempa bumi 2018, Meilinda tiba di Lombok. Menjadi wanita simpanan seorang oknum GM hotel berbintang, kehidupan Meilinda serba berkecukupan.
Bukan hanya dimanja secara materi, pasangan gelapnya pun cenderung posesive. Selama dua tahun, wanita berwajah oriental ini hanya boleh tinggal di sebuah rumah sewaan. Meilinda boleh meminta apa saja, asal membatasi diri keluar rumah dan berteman, meski dengan sesama perempuan.
"Dulu aku mewah lah, malah nggak boleh kerja, uang kebutuhan belanja dan jalan-jalan selalu dipenuhi. Tapi sekarang kan beda, terpaksa terjun ke Mic**t," katanya.
Terkekang kebebasannya selama dua tahun membuat Meilinda lebih liar berselancar di Mic**t. Ia terang-terangan menawarkan open BO - istilah untuk transaksi seksual berbayar - dalam aplikasi itu.
Pandemi corona menjadi kambing hitam untuk praktik prostitusi online serupa ini. Memang tak semua pemilik akun media sosial ini adalah penjaja wik-wik online. Toh mereka bisa mudah dikenali dari foto profil dan gaya obrolannya. Seperti Meilinda, banyak juga yang terang-terangan menawarkan jasa kenikmatan sesaat.
Di Kota Mataram dan sekitarnya, wanita penjaja wik-wik online bisa dibedakan dalam dua kelompok. Satu yang bekerja atas inisiatif sendiri, dengan alasan klasik kebutuhan ekonomi. Dan, satu lagi bekerja berkoloni, ada pihak tertentu yang mengelola bisnis ini.
Seorang pengusaha pemilik sebuah jasa SPA di Lombok, sebut saja Budi, mengaku resah dengan praktik wik-wik online ini. Bukan saja lantaran pasar usahanya terganggu, tetapi juga kekhawatiran dampak sosial yang buruk ke depannya.
"Ya dari sisi bisnis jelas kita dirugikan, tamu kita banyak yang hilang. Tapi yang lebih mengkhawatirkan kan masalah lainnya, misalnya praktik begitu kan rawan penyebaran HIV/AIDS, tidak terkontrol," katanya.
Menurut Budi, pengusaha lainnya tentu akan bersuara sama. Menganungi izin berusaha SPA tidak lah mudah. Mereka harus menyediakan tempat usaha yang memenuhi standar, menanggung retribusi dan pajak-pajak usaha untuk daerah. Mereka juga berkontribusi pada peluang lapangan kerja.
"Dan terapis kita juga terkontrol. No sex, no drug, itu sudah aturan baku. Kalau pun ada yang nakal dan ketahuan melayani plus-plus ya kita keluarkan," katanya. (Bersambung)
"Dulu aku mewah lah, malah nggak boleh kerja, uang kebutuhan belanja dan jalan-jalan selalu dipenuhi. Tapi sekarang kan beda, terpaksa terjun ke Mic**t," katanya.
Terkekang kebebasannya selama dua tahun membuat Meilinda lebih liar berselancar di Mic**t. Ia terang-terangan menawarkan open BO - istilah untuk transaksi seksual berbayar - dalam aplikasi itu.
Pandemi corona menjadi kambing hitam untuk praktik prostitusi online serupa ini. Memang tak semua pemilik akun media sosial ini adalah penjaja wik-wik online. Toh mereka bisa mudah dikenali dari foto profil dan gaya obrolannya. Seperti Meilinda, banyak juga yang terang-terangan menawarkan jasa kenikmatan sesaat.
Di Kota Mataram dan sekitarnya, wanita penjaja wik-wik online bisa dibedakan dalam dua kelompok. Satu yang bekerja atas inisiatif sendiri, dengan alasan klasik kebutuhan ekonomi. Dan, satu lagi bekerja berkoloni, ada pihak tertentu yang mengelola bisnis ini.
Seorang pengusaha pemilik sebuah jasa SPA di Lombok, sebut saja Budi, mengaku resah dengan praktik wik-wik online ini. Bukan saja lantaran pasar usahanya terganggu, tetapi juga kekhawatiran dampak sosial yang buruk ke depannya.
"Ya dari sisi bisnis jelas kita dirugikan, tamu kita banyak yang hilang. Tapi yang lebih mengkhawatirkan kan masalah lainnya, misalnya praktik begitu kan rawan penyebaran HIV/AIDS, tidak terkontrol," katanya.
Menurut Budi, pengusaha lainnya tentu akan bersuara sama. Menganungi izin berusaha SPA tidak lah mudah. Mereka harus menyediakan tempat usaha yang memenuhi standar, menanggung retribusi dan pajak-pajak usaha untuk daerah. Mereka juga berkontribusi pada peluang lapangan kerja.
"Dan terapis kita juga terkontrol. No sex, no drug, itu sudah aturan baku. Kalau pun ada yang nakal dan ketahuan melayani plus-plus ya kita keluarkan," katanya. (Bersambung)