Pertemuan POKJA Pengelolaan Hiu dan Pari Berkelanjutan NTB, di Mataram. |
MATARAM - Pemerintah Provinsi NTB melalui Dinas Kelautan dan Perikanan NTB terus berupaya mendorong pengeloaan perikanan Hiu dan Pari berkelanjutan.
Penangkapan dan pemanfaatan ikan Hiu dan Pari di daerah ini harus dikelola dengan ramah dan berkelanjutan, untuk menjaga eksistensi populasi Hiu dan Pari secara nasional.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB, Yusron Hadi memaparkan, Indonesia dikenal sebagai negara penangkap hiu dan pari terbesar di dunia. Perikanan hiu dan pari menjadi komoditas perikanan target di beberapa lokasi dimana masyarakat memiliki ketergantungan tinggi pada hiu dan pari sebagai komoditas perikanan.
Saat ini perikanan hiu dan pari di Indonesia termasuk di NTB menghadapi tantangan yang cukup besar dimana populasi hiu dan pari terus mengalami penurunan secara global. Sementara di sisi lain, permintaan akan produk hiu baik dari luar negeri maupun dalam negeri sangat besar.
Kondisi tersebut memerlukan upaya pengelolaan perikanan hiu dan pari secara terpadu agar pemanfaatan hiu dan pari di Indonesia berkelanjutan.
Di wilayah NTB, penangkapan Hiu dan Pari masih dilakukan di kawasan Tanjung Luar, Lombok Timur.
"Salah satu upaya pengelolaan perikanan hiu dan pari di Tanjung Luar, pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, sejak tahun 2019 telah membentuk Kelompok Kerja (POKJA) Rencana Pengelolaan Perikanan Hiu dan Pari," kata Yusron Hadi, dalam pertemuan POKJA Pengelolaan Hiu dan Pari, Rabu (23/9) di Mataram.
POKJA rencana pengelolaan perikanan hiu dan pari ini terdiri dari lembaga pemerintahan, akademisi, nelayan, pedagang, dan LSM.
"Pengelolaan ini merupakan inisiasi pengelolaan perikanan hiu dan pari yang pertama di Indonesia," kata Yusron.
Pertemuan POKJA tersebut dihadiri sejumlah pihak terkait, termasuk perwakilan Pusat Riset Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan perwakilan Wildlife Conservation Society (WCS) sebuah lembaga nirlaba yang berfokus pada isu perikanan ini.
"Pertemuan POKJA ini untuk mengevaluasi hasil kesepakatan bersama yang telah dilakukan, yaitu kesepakatan masyarakat untuk membatasi upaya penangkapan, tidak menangkap hiu yang dilindungi, dan tidak melakukan penangkapan di habitat kritis bagi hiu hamil dan anakan," katanya.
Menurut Yusron, dari hasil evaluasi implementasi menunjukkan bahwa kesepakatan telah ditaati dengan baik, ditunjukkan dengan turunnya hasil tangkapan hiu-hiu anakan.
Ketua Tim Peneliti Wildlife Conservation Society (WCS), Dr Evron Asrial menjelaskan bahwa proses diskusi bersama nelayan dan pedagang telah dilakukan sejak tahun 2018.
"Diharapkan proses diskusi dapat terus dilakukan untuk mendapatkan masukan dan aspirasi dari masyarakat," kata Evron.
Perwakilan WCS lainnya, Benaya Simeon mengatakan, pengelolaan dan evaluasi pengelolaan Hiu dan Pari berkelanjutan ini harus terus dilakukan. Sebab, masih ditemukan eksploitasi yang berlebih untuk beberapa spesies prioritas seperti hiu mako dan hiu lanjaman.
Sedangkan peneliti Hiu dan Pari dari Pusat Riset Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dharmadi optimis bahwa ada kemungkinan peningkatan populasi hiu di alam setelah dilakukannya pengelolaan.
"Model pengeloaan hiu dan pari beekelanjutan di Lombok, NTB ini bisa menjadi contoh. Dengan pola partisipatif dan melibatkan kelompok nelayan, kami yakin eksploitasi bisa dikendalikan dan angka populasi Hiu dan Pari bisa meningkat ke depan," katanya.