AIDa dan Muslimat NW Sembalun Gelar Bedah Buku La Tay'as, Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya

MandalikaPost.com
Sabtu, Desember 26, 2020 | 09.24 WIB Last Updated 2020-12-26T01:24:36Z


LOMBOK TIMUR -  Muslimat NW Sembalun, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur bekerjasama dengan Aliansi Indonesia Damai (AIDa), mengadakan kegiatan diskusi dan bedah buku La Tay’as, (Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya), secara daring Sabtu (19/12) pekan lalu.


Kegiatan diikuti 108 peserta dari berbagai kalangan, mulai dari perwakilan Muslimat NW, Ikatan Pelajar NW (IPNW), Himpunan Mahasiswa NW (Himmah NW), Mahasiswa, Dosen, dan masyarakat umum. 


Ketua Muslimat Sembalun Sulniati menjelaskan, kegiatan ini diadakan untuk mempererat silaturrahim dengan sesama anggota NW, selain itu juga untuk mengampanyekan perdamaian dan menebarkan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin. 


"Islam yang moderat dan penuh kasih sayang, sesuai dengan judul buku La Tay’as Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya," ujar Sulniati, Jumat (25/12) di Sembalun. 


Menurut dia, diskusi dan bedah buku itu menghadirkan secara langsung mantan pelaku terorisme Ali Fauzi, korban bom bali 2002 R Supriyo Laksono, korban bom kampung Melayu 2017 Jihan Thalib, Hasibullah Satrawi penulis buku sekaligus direktur AIDa, dan Suci Wulandari Alumni Pelatihan Pembangunan Perdamaian di Kalangan Tokoh Agama sekaligus pengurus Muslimat NW Sembalun. 


"Alhamdulillah, kita bisa menghadirkan para tokoh. Baik itu mantan teroris maupun para korban", katanya. 


Ia mengungkapkan, ada beberapa hal yang di diskusikan dalam kegiatan ini, yakni tentang dinamika kehidupan pelaku terorisme, mulai dari awal mereka bergabung dengan jaringan terorisme kemudian proses mereka bertaubat, dan tantangan yang mereka hadapi ketika keluar dari jaringan tersebut. 


Kedua, tentang proses panjang korban terorisme mampu berdamai dengan musibah yang dihadapinya. 


Ketiga, proses panjang hingga akhirnya mantan pelaku dan korban ini bisa dipertemukan dan berekonsiliasi. 


Dan yang ke empat adalah mengenai ibroh atau pembelajaran yang bisa diambil dari berbagai peristiwa yang dialami oleh mantan pelaku terorisme dan korbannya. 


"Ke empat poin itulah yang kita diskusilan dalam giat bedah buku itu", imbuhnya. 


Diskusi diawali dengan penjabaran isi buku dan testimoni yang disampaikan oleh Suci Wulandari. 


Selanjutnya, Ali Fauzi selaku mantan pelaku terorisme, menceritakan tentang bagaimana awal mula dirinya bisa masuk dalam jaringan kekerasan dan terorisme. 


"Ali Fauzi, memaparkan bahwa 90 persen seseorang tertarik untuk bergabung dengan jaringan terorisme. Karena faktor friendship dan kindship, sebagaimana yang terjadi pada dirinya", jelasnya. 


Sementara itu, Suci Wulandari, pengurus Muslimat NW Sembalun. Memaparkan dalam peresentasinya, bahwa Ali Fauzi merupakan adik termuda dari tiga terpidana terorisme terkait kasus ledakan bom Bali 2002, yaitu Ali Ghufron, Amrozi, dan Ali Imron. 


"Setelah malang melintang dalam jaringan terorisme ia bertaubat, bahkan sekarang mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP) sebagai wadah perkumpulan mantan teroris yang bergerak mengampanyekan perdamaian", katanya. 


Lain halnya, lanjutnya, dengan Jihan Tholib dan R. Supriyo Laksono. Keduanya adalah korban aksi terorisme bom, berbagai kisah tentang proses panjang penderitaan yang mereka lewati akibat aksi tersebut, baik fisik maupun psikis. 


"Dukungan dari berbagai pihak, terutama keluarganya sangat membantu mereka untuk bangkit kembali. Bahkan sampai mereka memaafkan pelaku terorisme," imbuhnya.


Ia mengatakan, tidak semua korban siap berekonsiliasi. Begitupun dengan pelaku, butuh waktu untuk menyadari kesalahannya, karena terlibat langsung dalam aksi terorisme, maupun hanya pernah bergabung dalam kelompok tersebut. 


"Proses rekonsiliasi antara mantan pelaku dan korban terorisme. Ini adalah wujud nyata bentuk perdamaian yang bisa kita teladani", katanya. 


Di akhir sesi diskusi, Hasibullah Satrawi  menegaskan bahwa, tidak ada faktor atau latar belakang tunggal yang menyebabkan seseorang memilih jalan ekstrimisme. 


Banyak faktor, seperti semangat keagamaan yang tinggi, kedzaliman yang dialami oleh sebagian umat Islam, faktor sosial ekonomi, faktor hubungan keluarga, guru-murid, teman, balas dendam, dan ideologi. 


"Meskipun begitu, tidak berarti orang yang terpengaruh dengan satu faktor akan otomatis menjadi teroris", tegasnya 


"Faktor tersebut membutuhkan kombinasi dengan faktor-faktor yang lain, terutama faktor ideologi kekerasan yang membenarkan seseorang melakukan aksi tersebut. Bahkan menumbuhkan

keyakinan aksinya mengantarkannya ke surga", katanya. 


Dari diskusi panjang tersebut, tentunya ada banyak hal positif yang bisa dipetik sebagai Ibroh (pelajaran berharga). Dari sisi korban, misalnya, nilai pemaafan terhadap pelaku, tidak membalas kekerasan dengan kekerasan, ketangguhan menghadapi musibah, dan juga semangat optimisme menghadapi tantangan hidup. 


Sedangkan dari sisi mantan pelaku, terdapat nilai pertaubatan dan semangat menghadapi tantangan hidup pasca keluar dari jaringan terorisme. 


"Percayalah, bahwa aksi kekerasan merugikan banyak orang. Mari bersama menjadi agen perdamaian, hidup yang lebih indah dengan semangat perdamaian dan kebersamaan. Salam damai dari Muslimat NW Sembalun, Aliansi Indonesia Damai," katanya. 


Reporter : Rosyidin

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • AIDa dan Muslimat NW Sembalun Gelar Bedah Buku La Tay'as, Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya

Trending Now