Dirreskrimum Polda NTB Kombes Pol Hari Brata didampingi Kabid Humas Polda NTB Kombes Pol Artanto, saat menggelar jumpa pers di Mapolda NTB. |
MATARAM - Polda NTB berhasil mengungkap kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) atau human trafficking dengan modus pengiriman pekerja migran Indonesia (PMI) ke Timur Tengah.
Dua orang pelaku dibekuk polisi di lokasi berbeda. Tersangka HSR, pria berusia 44 tahun, warga Jakarta, ditangkap di rumahnya di Kelurahan Rambutan, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur, pada Minggu (21/2), dan tersangka AB (41) warga Lombok Timur, ditangkap di rumahnya di Desa Anjani, Kecamatan Suralaga, Lombok Timur, NTB pada Senin (22/2).
Direskrimum Polda NTB Kombes Hari Brata mengatakan, saat ini kedua tersangka pelaku TPPO ini ditahan di Polda NTB untuk proses hukum selanjutnya.
"Dugaannya TPPO, dua tersangka ditangkap di dua lokasi berbeda. Setelah ditangkap, tersangka HSR diterbangkan dari Jakarta menuju Polda NTB. Sedangkan AB, yang dari Lombok Timur, juga digiring ke Mapolda NTB," kata Kombes Hari Brata, Selasa (23/2) di Mataram.
Kasus TPPO ini terungkap setelah korban bernama Nurhalimah (29), warga Kecamatan Suralaga, Lombok Timur, berhasil melarikan diri dari rumah majikannya di Turki pada 21 Desember 2020 lalu. Selain melaporkan kehilangan paspor ke kepolisian setempat, Nurhalimah juga mendatangi KBRI Ankara, Turki untuk meminta perlindungan.
Dari keterangan Nurhalimah, akhirnya praktik TPPO tersangka HSR dan AB mulai terendus. Korban kabur dari majikannya di Turki, karena kerab mendapatkan tindakan dan ucapan yang kasar. Dari situ kemudian diketahui bahwa dia juga korban TPPO sejak 2018.
"TPPO atau human trafficking ini merupakan Transnasional Organized Crime yang menjadi atensi Polri. Sehingga begitu mendapatkan laporan, kami langsung melakukan penyelidikan dan akhirnya berhasil menangkap dua tersangka," kata Hari Brata.
Ia memaparkan, kasus TPPO ini bermula sejak Oktober 2018, saat tersangka AB menawarkan korban untuk bekerja menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Abu Dhabi, Dubai dengan iming-iming gaji berkisar Rp4 juta perbulan.
Namun, saat diberangkatkan korban bukannya dibawa ke Abudhabi tetapi ke Turki.
"Setelah diberangkatkan, ternyata tujuan negara bekerja adalah negara Turki, bukan Abu Dhabi, seperti janji saat awal direkrut AB," katanya.
Saat tiba di Turki, paspor korban diambil oleh para agen. Korban juga ditampung bersama banyak calon PMI dari daerah lain. Di penampungan itu, korban juga mendapat perlakukan kurang manusiawi, hanya diberi makan sebanyak satu kali dalam sehari dan tidak diberi air minum.
Korban sempat bekerja di Turki selama 2 tahun. Selama itu, korban sering mendapatkan caci maki dan kata-kata kasar dari majikan. Korban juga hanya diberi gaji USD300 atau Rp 4,2 juta.
"Sehingga pada 21 Desember 2020, korban lari dari majikan, melaporkan kehilangan paspor di kantor kepolisian setempat dan melaporkan diri ke KBRI Ankara Turki untuk mendapat perlindungan," jelasnya.
Hari Brata mengatakan, tersangka HSR dan AB dijerat dengan pasal 10 dan/atau Pasal 11 Jo 4 UU RI No. 21 tahun 2007 tentang TPPO. Keduanya juga dijerat dengan Pasal 81 dan atau Pasal 83 UU RI No.18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI).
Ancaman hukuman untuk TPPO, pidana penjara paling sedikit 3 tahun dan paling lama 15 tahun, dan denda paling sedikit Rp120 Juta dan paling banyak Rp600 juta. Sedangkan untuk PMMI ancaman hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp15 Miliar.
"Dari keterangan dua tersangka ini, saat ini kami masih memburu satu tersangka pelaku lainnya berinisial KM. Sudah masuk dalam daftar pencarian orang," katanya.