Tarian kolosal dalam Festival Pesona Tambora (FTP) tahun 2018 di kawasan Doro Ncanga, Tambora, Nusa Tenggara Barat. (Foto: courtesy pesonaindonesia.id) |
GUNUNG TAMBORA di pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat meletus dengan sangat dahsyat pada 10 April 1815. Bahkan jauh lebih dahsyat dari letusan gunung Krakatau tahun 1883. Efek Tambora juga mempengaruhi pertanian di seluruh dunia. Setahun setelah letusan Tambora, negeri-negeri belahan utara mengalami anomali cuaca hebat; yakni sebuah tahun tanpa musim panas, The Year Without Summer.
Kengerian bencana vulkanik 2 abad silam itu, kini menjadi potensi pariwisata NTB. Sejak 2015, Pemerintah NTB mendesain kegiatan Tambora Menyapa Dunia yang saat ini menjadi event tahunan, Festival Pesona Tambora (FPT) yang masuk dalam Calendar of Event (CoE) Pariwisata NTB.
Tahun ini, FPT tahun 2021 ini akan dilaksanakan pada 1 - 15 April mendatang berpuncak di kawasan Doro Ncanga, di kaki Gunung Tambora.
"Festival Pesona Tambora yang dilaksanakan April 2021 terdiri dari Festival Lawata, Teka Tambora, dan Tambora Chalenge, serta kegiatan lainnya,"kata Kepada Dinas Pariwisata NTB, H Lalu Moh Faozal.
BACA JUGA : Calendar of Event Pariwisata NTB 2021 Diluncurkan
Seperti apa dahsyatnya letusan Tambora yang mengilhami Festival Pesona Tambora? Mandalika Post menuliskannya dari berbagai sumber.
Memusnahkan Dua Kerajaan
Seakan kiamat, letusan Gunung Tambora April 1815 mengubur peradaban di Sumbawa. Kerajaan Tambora dan Pekat musnah. Demikian tertukil dalam naskah Bo’ Sangaji Kai.
Baru sehari masuk bulan Jumadilawal. Subuh tak kunjung benderang tatkala petaka menyembur dari dalam Tanah Bima. Seakan meriam perang tengah diletuskan. Batuan dan hujan abu seperti dituang. Tiga hari dua malam tak berkesudahan.
Lukisan letusan Gunung Tambora 1815. (Foto: Shutterstock) |
Ketika tiba terang, tampaklah rumah dan tanaman rusak seperti diterjang perang. Gunung Tambora telah membawa tamat bagi dua negeri: Tambora dan Pekat.
Dari penuturan naskah Bo’ Sangaji Kai itu, bisa dibayangkan letusan Gunung Tambora seakan kiamat khususnya bagi Kerajaan Tambora dan Pekat.
Penyebabnya, menurut naskah itu akibat tindakan khilaf Sultan Tambora, Abdul Gafur. Malapetaka baru berakhir berkat orang bersembahyang. Namun, kemelaratan, kelaparan, dan penyakit tak bisa tertolong.
Orang mati bergeletakan di jalan. Mereka tidak dikubur, tidak pula disembahyangkan. Mayatnya menjadi santapan hewan liar. Andai tidak datang pedagang dari luar, penduduknya pasti habis, mati kelaparan.
Para pedagang datang dari pulau-pulau sekitar. Mereka ada orang Arab, Tionghoa, dan Belanda. Beras, gula, susu, jagung, kacang kedelai yang mereka bawa ditukar dengan piring, mangkok, kain tenun, senjata, barang emas dan perak, sereh, gambir, serta budak.
Penelitian membuktikan amukan Gunung Tambora terjadi pada April 1815.
Igan Sutawidjaja, peneliti dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia menjelaskan, terjangan awan panas yang menggempur hampir sekeliling Gunung Tambora pertama kali terjadi pada 10 April 1815.
Dampak terdahsyat dirasakan mereka yang bermukim di barat, selatan, dan utara gunung. Selain Tambora dan Pekat, Kerajaan Sanggar juga lebur diterjang awan panas mencapai 800°C.
"Ke timur, ke arah Sanggar tidak begitu besar. Jadi, raja Sanggar masih bisa menyelamatkan diri dan pindah ke Sanggar sekarang," kata Igan dalam diskusi daring berjudul "Jejak-jejak Peradaban Tambora: Secercah Harapan di Balik Bencana" yang diselenggarakan Balai Arkeologi Bali, Juli 2020 lalu.
Sebelum musnah, kerajaan-kerajaan di wilayah Semenanjung Sanggar itu sempat mengalami kemakmuran.
Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) I Made Geria, dalam tulisannya "Menyingkap Misteri Terkuburnya Peradaban Tambora", penelitian arkeologi memunculkan dugaan bahwa warga kerajaan-kerajaan itu telah membangun peradaban yang tinggi.
"Peristiwa itu bisa dibayangkan sebagai sebuah peristiwa kiamat di wilayah Tambora sendiri dan penelitian juga sudah membuktikan bahwa wilayah Tambora luluh lantak," tulis I Made Geria.
Sempat Disangka Murka Nyi Roro Kidul
Saat letusan Tambora terjadi April 1815, mereka yang berada di pulau lain hanya bisa bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.
Mengutip The History of Java Volume 1, laporan dari petugas kolonial di Makassar, Maluku, dan Jawa senada menyebutkan bahwa pada 5 April 1815 terdengar suara tembakan meriam dari seberang lautan, tetapi tak diketahui dari mana asal-usulnya.
“Suara itu, pada awalnya disangka suara tembakan meriam, sampai-sampai satu detasemen tentara siap dikirim dari Yogyakarta untuk memeriksa apakah wilayah terdekat sedang diserang. Dan di pantai kapal-kapal langsung disiagakan untuk merespons kemunculan asal suara tersebut,” tulis Raffles dalam The History of Java, Volume 1.
Letusan terkuat Tambora terjadi pada 10 April 1815. Desa-desa di sekitarnya hancur lebur diterjang material-material vulkanik, menghancurkan daerah Sanggar dan memaksa mereka yang selamat untuk mengungsi. Begitu pula yang terjadi di Dempo dan Bima, sebelah timur dari Tambora.
Lukisan letusan Tambora 1815. (Foto: Gettyimage) |
Residen-residen di Jawa memberikan laporan efek letusan Tambora di wilayahnya masing-masing kepada Thomas Stamford Raffles selaku letnan gubernur Inggris di Batavia. Surat-surat tersebut, sebagaimana terlampir dalam Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles, Volume 1, senada menyebutkan bagaimana gelapnya hari-hari setelah letusan 10 April 1815 itu, akibat cahaya matahari tertutup material vulkanik yang beterbangan di langit Jawa dan sekitarnya.
Residen Gresik bahkan mencatat bagaimana penduduk lokal menganggap letusan Tambora sebagai pertanda aktivitas supranatural: “Orang-orang lokal mengaitkannya dengan kisah legenda, yang mengatakan bahwa Nyi Roro Kidul tengah menikahkan salah satu anaknya, ditandai dengan tembakan salut dari artileri supranatural miliknya. Mereka melihat abu-abu vulkanik yang beterbangan di udara merupakan ampas bubuk mesiu meriam milik Nyi Roro Kidul.”
Satu lagi laporan yang komprehensif datang dari Letnan Owen Philips, utusan Raffles yang ditugaskan untuk menginspeksi efek dari letusan Tambora terhadap masyarakat lokal Sanggar, Dempo, dan Bima, sekaligus memberikan bantuan logistik.
Menurut laporannya, pemandangan di sana amat mengerikan. Mayat-mayat masih tergeletak di jalan-jalan.
“Mereka juga terkena penyakit diare yang disebabkan karena meminum air yang telah tercampur abu vulkanik. Kuda-kuda mereka juga mati, dalam jumlah yang besar, dikarenakan hal yang sama,” lapor Philips sebagaimana termuat dalam History of Java Volume 1.
Owen berhasil menemui Raja Sanggar dan keluarganya yang merupakan saksi hidup letusan. Dia menceritakan dengan mendetail detik-detik terjadinya letusan Tambora, yang kemudian Philips laporkan kepada Raffles di Batavia.
Diperkirakan 11.000 orang tewas terkena efek langsung letusan Tambora, menyusul 49.000 lainnya karena bencana kelaparan di Sumbawa, Lombok dan Bali. Efek Tambora juga mempengaruhi pertanian di seluruh dunia.
Peradaban dan Kerajaan Kuat di Tambora
Pada pertengahan abad ke-17, sumber lontar Makassar menyebut Tambora dan Pekat memiliki kedudukan khusus dalam pemerintahan negeri-negeri Pulau Sumbawa.
Sonny C. Wibisono, peneliti Puslit Arkenas, dalam Bencana & Peradaban Tambora 1815, menunjukkan peta tahun 1659 koleksi KITLV yang memuat gambaran wilayah Tambora dan Pekat. Peta ini termasuk salah satu dokumen Barat awal tentang wilayah itu.
Bila mundur lagi ke masa lampau, sejumlah kerajaan di wilayah Sumbawa sudah dikenal sejak Raja Hayam Wuruk memerintah Majapahit. Dalam naskah Negarakertagama disebutkan negeri Dompo, Sang Hyang Api, dan Bima.
Menurut I Made Geria, kemungkinan ketiga kerajaan itu terkena pengaruh Majapahit. Kendati dalam catatan sejarah hanya Dompo yang ditaklukkan Majapahit di bawah komando Mpu Nala.
Ketika Majapahit jatuh, kerajaan-kerajaan di Sumbawa menjadi negeri-negeri mandiri yang selanjutnya berada di bawah pengaruh Kesultanan Gowa-Tallo di Makassar pada abad ke-17.
“Negeri ini berada di bawah penguasaan Makassar, khususnya dipimpin oleh para pangeran,” tulis Sonny.
Sejak itu, Tambora diwajibkan membayar upeti dan menyediakan 40 budak. Demikian pula Pekat, pelabuhan yang sebelumnya di bawah Dompu.
"Ketika Raja Rigaukanna atau Ala’uddin dari Goa menundukkan Sumbawa, Pekat diserahkan kepada Karaeng Maroanging. Rajanya selain harus memasok 20 budak ke Makassar, juga membayar upeti dengan tenun kain yang mereka buat," tulis Sonny.
Hubungan perdagangan dengan Pulau Jawa dan kawasan barat Nusantara terus berlangsung meskipun Majapahit tak lagi berpengaruh. Pelaut Portugis, Tome Pires dalam Suma Oriental, menyebut kapal-kapal dari Malaka dan Jawa yang berlayar ke Maluku untuk mencari rempah-rempah singgah di Bima. Mereka berdagang, mengambil air minum dan bahan makanan.
Hubungan pelayaran-perdagangan itu menjadikan Bima salah satu bandar terpenting di kawasan Nusa Tenggara, kendati sudah terjadi sejak era Majapahit. Lokasi bandarnya di Teluk Sape dan Teluk Bima.
Pada masa berikutnya, Bima berkembang menjadi pusat penyiaran Islam berkat letak geografisnya yang merupakan jalur lintas perdagangan. Keadaan itu juga membawa keberuntungan bagi Tambora, Pekat, dan Sanggar. Suplai komoditas dari kerajaan-kerajaan kecil itu ke Bima semakin lancar.
"Ketiga kerajaan kecil ini mempunyai akses ke jalur lintas laut yang selalu dilalui para pedagang dari luar apabila menuju bandar Bima," tulis I Made Geria. "Kerajaan di sekitar Bima memiliki peran strategis yang mendukung perdagangan Bima."
Kerajaan Tambora bahkan berdagang langsung dengan Kerajaan Makassar. Hubungan kedua kerajaan itu dibuktikan oleh surat-menyurat.
Selain kaya sumber daya alam, wilayah Tambora juga strategis. Peta tahun 1659 koleksi KITLV menunjukkan wilayah raja (koningrijk) Tambora berada di bagian utara, wilayah yang lebih besar, di Semenanjung Sanggar. Sementara itu, bagian selatan Semenanjung Sanggar merupakan wilayah raja (koningrijk) Pekat.
Lokasi Tambora berdekatan dengan Labuhan Kenanga dan Teluk Saleh. Karenanya ia termasuk jalur lintas perdagangan yang ramai disinggahi kapal asing.
"Karena ramainya jalur pelayaran di wilayah sekitarnya seperti pantai Kore, Sanggar, sering terjadi peristiwa serangan bajak laut," tulis I Made Geria.
Potensi Tambora yang kaya sumber daya alam dan signifikan dalam perdagangan juga tak luput dari penguasaan bangsa Belanda, dari awal abad ke-17 sampai awal abad ke-19.
"Pertimbangan Belanda untuk melakukan penguasaan terhadap kerajaan kecil karena dianggap lebih mudah ditundukkan sehingga potensi alam penyangga perdagangan Bima akan lebih mudah dikuasai," tulis I Made Geria.
Ternyata, Tambora dan kerajaan lainnya tak mudah ditundukkan. Digunakanlah politik adu domba dengan Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667. Isinya di antaranya, Kerajaan Gowa dilarang mengirim bantuan ke Bima dan diperintahkan untuk menangkap raja-raja di kerajaan kecil. Perintah itu tidak dilaksanakan oleh Kerajaan Gowa.
Namun, alam berkehendak lain. Tambora dan kerajaan lainnya mendapatkan pukulan dahsyat setelah Gunung Tambora meletus.
I Made Geria mengutip catatan residen Tobias yang mendata: sebelum letusan, Tambora berpenduduk sekira 40.000 jiwa pada 1808. Setelah letusan dahsyat itu, 30.000 jiwa lebih penduduk tewas. Pada 1816, sisa penduduk yang masih hidup tewas semua karena diterjang banjir bandang dan banjir lahar.
"Selanjutnya bekas Kerajaan Tambora yang sudah habis ditelan ganasnya alam tersebut digabungkan dengan wilayah Kerajaan Dompu," catat I Made Geria.
Setelah bencana terjadi, Tambora tetap masyhur. Banyak pedagang datang untuk menukar dagangannya dengan barang berharga, sebagaimana dikisahkan syair Bo’ Sangaji Kai.
Penduduk kembali ramai meninggali kawasan Tambora pada 1907.
I Putu Yuda Haribuana, peneliti Balai Arkeologi Denpasar, menyebut ada peninggalan bangunan Belanda di sekitar situs Tambora, salah satunya bekas pabrik kopi.
Menurut I Made Geria, temuan berbagai artefak disertai rangka manusia juga komponen sisa bangunan membuktikan bahwa Situs Tambora telah dihuni oleh sekelompok masyarakat yang memiliki peradaban cukup tinggi, jauh sebelum letusan Tambora 1815.
Meletus Akibat Kekhilafan Raja
Naskah lokal mencatat sabab musabab meletusnya gunung Tambora. Salah satunya karena Allah murka pada raja Tambora.
Beberapa naskah tradisional menyebutkan Gunung Tambora meletus lantaran Abdul Gafur, raja kerajaan Tambora, melakukan kelalaian. Dia memerintahkan pembunuhan seorang warga keturunan Arab dengan alasan telah menghina kerajaan.
Atraksi seni budaya dalam Festival Pesona Tambora tahun 2018. (Foto: Dok. Dinas Pariwisata NTB) |
Dalam Syair Kerajaan Bima karya Khatib Lukman, sebagaimana termuat dalam Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah karya Henri Chambert-Loir, orang yang dibunuh itu bernama Haji Mustafa.
Syair mengisahkan tentang Haji Mustafa yang segala permintaannya selalu dikabulkan Allah karena dirinya pernah mengunjungi Baitullah. Penduduk setempat meyakininya sebagai orang keramat.
Cerita musabab letusan Tambora pun hadir dalam Asal Mulanya Meletus Gunung Tambora karya Roorda van Eysinga, terbitan 1841, yang disusun berdasarkan kisah perjalanan C.G.C Reinwardt dan H. Zollinger. Keduanya mendapatkan gambaran tentang bencana Tambora dari Ismail, Raja Bima 1819-1854.
Menurut cerita ini, seorang Arab dari Bengkulu bernama Said Idrus singgah di Kerajaan Tambora untuk berniaga. Ketika pergi ke mesjid, dia melihat ada seekor anjing di sana. Lalu disuruhnya penjaga mesjid untuk mengusirnya. Si penjaga berkata bahwa raja adalah empunya anjing itu.
Said Idrus menjawab, “Siapa yang memasukan anjing di dalam mesjid, orang kafir itu.” Merasa tak punya kuasa, pergilah sang penjaga anjing itu menghadap raja. Raja tak terima disebut kafir, lalu memerintahkan orang untuk membunuh Said Idrus.
Akibatnya, Allah murka atas ulah raja. Meletuslah Tambora. Api menyala dari pusat letusannya, mengejar para pembunuh di kota, hutan hingga ke laut yang juga ikut menyala. Lalu turun hujan abu.
Kala itu langit gelap gulita, abu dan api berkuasa. Mulai 11 April 1815, selama tiga hari dua malam Tambora meletus bergemuruh tiada henti.
Catatan dari Kerajaan Bima, Bo’ Sangaji Kai, menyebutkan akibat letusan Tambora, Kerajaan Tambora dan Kerajaan Pekat lenyap dari muka bumi. Kedua kerajaan itu dibanjiri lahar, ditimbun batu dan pasir.
Letusan Tambora pun menyebabkan terjadinya tsunami. Kerajaan lain di Sumbawa, yakni Kerajaan Dompo, Sanggar, Sumbawa, dan Bima juga mengalami duka.
Menurut Adrian B. Lapian dalam “Bencana Alam dan Penulisan Sejarah” termuat pada Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis, diperkirakan Pulau Sumbawa kehilangan 85.000 warganya yang tewas karena letusan, wabah penyakit, kelaparan, serta meninggalkan Sumbawa untuk pergi ke pulau lain.
Syair karya Khatib Lukman pun menceritakan malapetaka letusan Tambora berakhir karena orang sembahyang dan meminta ampun pada Allah.
Mutiara Pariwisata Alam dan Sejarahnya
Kepala Dinas Pariwisata NTB, H Lalu Moh Faozal menyebutkan, 2 abad setelah letusan dahsyat itu, Tambora menjadi mutiara pariwisata. Kaya akan keindahan alam, budaya, dan sejarahnya. Kini Gunung Tambora juga masuk sebagai salah satu Geopark nasional.
Kemeriahan Festival Pesona Tambora tahun 2018 di kawasan Doro Ncanga, Tambora. (Foto: Dok. Dinas Pariwisata NTB) |
Dalam situs resmi Geopark Tambora disebutkan, Tambora Menyapa Dunia yang digelar NTB di Tahun 2015 merupakan peringatan 200 tahun meletusnya Gunung Tambora tahun 1815.
Menurut seorang Ahli Gunung Api dari Universitas Rohde Island, Haraldur Sigurdson inilah erupsi yang paling banyak di teliti dalam sejarah.
Berdasarkan hasil penelitian Letusan Gunung Tambora sepuluh kali lebih dahsyat dibanding letusan Krakatau dan seratus kali lebih besar dari letusan Gunung Vesuvius dan St. Helens. Sekitar 100 ribu orang menjadi korban akibat letusan ini, tiga kerajaan terkubur dalam timbunan erupsi yaitu Kerajaan Tambora, Kerajaan Pekat dan Kerajaan Sanggar.
Gunung Tambora sebagai warisan dunia dengan sejarah kedahsyatan letusannya kini telah menjadi epic. Tambora telah menorehkan sejarah dahsyat dan merubah tatanan masyarakat serta alam pada waktu itu. Cerita epic tersebut kini sangat menarik perhatian ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu untuk mengkaji ulang melalui serangkaian penelitian dan penelusuran literature, untuk mempertautkan potongan-potongan cerita dari mulut ke mulut dan manskrip yang ditemukan. Serangkaian penelitian Arkeologis dan Vulkanologis mengawali pembuktian secara ilmiah epic tersebut.
Tambora Menyapa Dunia 2015 kemudian dijadikan event pariwisata dan budaya tahunan di NTB, setiap tahun digelar sebagai Festival Pesona Tambora. Beragam pertunjukan pun disajikan di acara tersebut.
"Festival Pesona Tambora diadakan untuk meningkatkan nama Tambora sebagai branding pariwisata Sumbawa yang telah melenggenda karena kedasyatan letusannya dua abad silam. Festival ini diharapkan sebagai event tetap Sumbawa akan menjadi ikon pecinta wisata minat khusus dan adventure serta edukasi, hal ini sesuai dengan topografi pulau sumbawa yang berbukit-bukit mampu memberikan tantangan extreme bagi wisatawan penicinta tantangan," kata Lalu Moh Faozal.
Toh, tahun ini FPT 2021 tak bisa optimal dilaksanakan semeriah tahun-tahun sebelumnya. Masa pandemi menyebabkan FPT 2021 kemungkinan besar dilaksanakan secara hybrid.
Ada seremoni offline yang dilaksanakan dengan penerapan tsrandar protokol kesehatan yang ketat, dan sebagian besar kegiatan lainnya dilaksanakan secara virtual melalui jejaring daring.