Kapan Kami Bisa Tinggal di Rumah Sendiri .. ?

MandalikaPost.com
Minggu, September 19, 2021 | 13.24 WIB Last Updated 2021-09-19T05:24:26Z

Anak-anak pengungsi Wisma Transito Mataram. Dalam 15 tahun masa pengungsian, tercatat lebih dari 38 anak lahir, dan 10 dewasa meninggal karena sakit dan tua.

MANDALIKAPOST.com - Tahun 2021 ini, terhitung sudah lebih dari 15 tahun bagi puluhan keluarga warga Ahmadiyah menjalani masa pengungsian mereka di Wisma Transito, Mataram sejak terusir dari tempat tinggal mereka di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat pada Juni 2006 silam.


Waktu terus berjalan. Di dunia politik, 15 tahun adalah masa yang panjang untuk tiga kali Pemilu dan tiga periode masa jabatan Kepala Daerah. Tapi, di Wisma Transito, waktu seperti berhenti. Stagnan, tidak banyak yang berubah. Seperti juga mimpi dan kerinduan para pengungsi untuk pulang dan menjalani hidup yang normal, hingga kini masih di awang-awang.


"Sering tanya ke ayah. Ayah kapan kita bisa punya rumah sendiri, ada kamar ada ruang belajar, seperti teman-teman lainnya?. Tapi ayah cuma jawab sabar ya nak," ujar Transiti Mariam Sidiqah (13), saat dijumpai Mandalika Post, Minggu 19 September 2021, di Wisma Transito.


RINDU PULANG. Syahidin (58) bersama putrinya Transiti Mariam Sidiqah (13). Pulang dan tinggal di rumah sendiri, masih jadi mimpi di awang-awang, bagi 37 keluarga pengungsi Wisma Transito. 

Transiti merupakan salah satu dari setidaknya 38 orang anak warga Ahmadiyah yang lahir dan besar dalam masa pengungsian keluarganya di Wisma Transito.


Gadis 13 tahun ini adalah putri ketiga dari Syahidin (58), salah seorang pengungsi Transito. Transiti yang kini duduk di bangku SMP ini, lahir pada 2008, tepat dua tahun setelah mengungsi di Transito.


"Nama Transiti kita ambil karena lahirnya di Wisma Transito. Ada juga beberapa anak yang namanya pakai Transita dan juga Transito, semua lahir di masa pengungsian ini," kata Syahidin.


Usai menyajikan cangkir kopi, Transiti duduk di samping ayahnya. Syahidin menyeruput kopi, menarik nafas panjang.


Pertanyaan Transiti tentang rumah sendiri  dan beragam cerita keceriaan, kedamaian, cinta dan kasih sayang di dalamnya, mewakili pertanyaan puluhan anak pengungsi Transito, sebaya dia. Dan ini, bagi para orangtua adalah beban yang berat.


"Selama ini kalau ditanya ya kami orangtua, hanya bisa jawab InshaaAllah nak, sabar, pasti nanti suatu saat kita bisa tinggal di rumah sendiri," ujar Syahidin.


Hidup selama 15 tahun di pengungsian adalah hal yang berat. Lebih dari 37 Kepala Keluarga dengan jumlah jiwa sekitar 95 orang, harus rela berbagi ruang Transito menjadi beberapa bilik kamar berdinding tripleks untuk masing-masing keluarga.


Sebagian kecil masih bisa bertani di tempat asal mereka di Ketapang, Lombok Barat. Menggarap sedikit lahan mereka yang tersisa, untuk meneruskan hidup. Sebagian besar lainnya banting setir, ada yang berjualan sayur mayur, menjadi tukang bangunan, mengumpulkan rongsokan, hingga menjadi driver ojek online.


Anak-anak pengungsi Wisma Transito menghabiskan waktu bermain bersama di teras Wisma Transito Mataram. 

Meski masih tinggal di pengungsian Transito, Syahidin tetap bersyukur, karena saat ini para pengungsi sudah terdata dan memiliki KTP penduduk Kota Mataram. Mereka juga mendapat jaminan BPJS kesehatan, dan menerima bantuan sosial PKH dari pemerintah.


"Yang paling kita syukuri, saat ini sudah tidak ada diskriminasi terutama untuk anak-anak kami yang sekolah," ujarnya.


Menurutnya, Gubernur NTB Dr H Zulkieflimansyah bersama Kepala Dinas Sosial NTB H Ahsanul Khalik pernah melihat kondisi para pengungsi Transito di awal tahun 2021 lalu.


"Pak Gubernur dan Kadisos sudah kemari. Ada juga bantuan paket sembako dari Dinsos. Ya kata pak Gubernur, kami harus sabar nanti pemerintah carikan jalan keluar (untuk masalah pengungsian)," katanya.


Anak-anak pengungsi Wisma Transito bermain layangan di halaman pengungsian.

Muhammad Khataman Nabiyin (10) adik Transiti, masih berusaha menerbangkan layang-layangnya di halaman Wisma Transito. Bersama teman sebayanya bernama Saleh, Khatam bermain cita-cita.


Khatam dan Saleh bertekad, jika layangan mereka bisa terbang, maka InshaaAllah cita-cita dan impian mereka untuk bisa tinggal di rumah sendiri bisa tercapai.


Layang-layang berwarna kuning hijau berhasil terbang dengan benang di tangan Khatam. Khatam dan Saleh tertawa lepas, bahagia.


Angin sudah menjawab cita-cita mereka untuk menerbangkan layangan. Toh, tak sekadar angin yang dibutuhkan untuk menjawab harapan dan mimpi-mimpi mereka ; bisa tinggal dan hidup normal di rumah sendiri, seperti anak-anak sebaya yang lebih beruntung nasibnya.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Kapan Kami Bisa Tinggal di Rumah Sendiri .. ?

Trending Now