Tim Laskar NTB saat memasangan spanduk kepemilikan lahan di Gili Trawangan. |
MATARAM - Persoalan kepemilikan lahan di destinasi wisata Gili Trawangan hingga kini masih terjadi. Setelah usai drama sengketa antara Pemprov NTB dengan PT GTI, sejumlah sengketa antara oknum pengusaha dengan masyarakat pun masih terjadi.
Ibarat api dalam sekam, hal ini mulai mengungkap konstruksi dugaan permainan mafia tanah di pulau eksotis tersebut.
Dugaan ini mencuat ketika Lembaga Advokasi Laskar NTB, mencoba mengadvokasi dan mendampingi pemilik lahan bernama Zainuddin, dua pekan terakhir.
"Klien kami pak Zainudin menyampaikan laporan ke Laskar NTB, tanah miliknya diserobot dan dikuasai oleh oknum pengusaha, dan kita tindak lanjuti. Ternyata dalam perjalanan, ada riak-riak yang memperkuat dugaan permainan mafia tanah di Gili Trawangan," kata Ketua Umum Laskar NTB, HM Agus Setiawan SH, Sabtu 16 Oktober 2021, di Mataram.
Agus Setiawan memaparkan, Zainudin selaku ahli waris dari ayahnya, Daeng Demung memiliki tanah seluas sekitar 70 are di Gili Trawangan. Kepemilikan tanah itu diperkuat dengan dua persil sertifikat kepemilikan masing-masing 26 are dan 44 are. Namun, tanah itu ternyata dikuasai oleh oknum pengusaha, ZT pemilik sebuah villa terbesar di Gili Trawangan.
Ia mengungkapkan, kasus ini bermula pada tahun 1975-an dimana pemerintah memberikan tanah kepada masyarakat sesuai Keputusan Gubernur saat itu, rata-rata 1 sampai 2 hektare. Saat itu Daeng Demung yang merupakan ayah Zainuddin termasuk yang mendapatkan dan membayar seluas 3 hektare. Pada 1984, seluas 1,8 hektare dari total 3 hektare tanah tersebut kemudian disertifikatkan. Sementara 1,2 hektare sisanya belum, karena saat itu peraturan tak membolehkan lebih.
Masih di tahun 1984 atau sekitarnya, lahan seluas 1,8 Hektare milik Daeng Demung dibeli oleh pengusaha ZT dan dikelola untuk pembangunan hotel berkonsep Villa.
"Nah seiring berjalannya waktu, pada tahun 2000an, pak Zaainuddin selaku ahli waris Daeng Demung kemudian mengurus sertifikat tanah untuk lahan 1,2 hektare yang belum disertifikatkan ke BPN," katanya.
Dalam proses pengurusan sertifikat itu, muncullah sangggahan dari pengusaha ZT, yang meminta BPN tidak menerbitkan sertifikat. Alasannya lahan 1,2 hektare merupakan bagian dari 1,8 hektare yang sudah dia bayar. Selain itu, lahan itu juga termasuk sepadan pantai yang tidak boleh disertifikatkan.
Namun dengan dasar yang kuat, BPN Lombok Utara tetap menerbitkan sertifikat atas nama Zainuddin. Dengan luas masing-masing 26 are dan 44 are sehingga total seluas 70 are.
"Kenapa hanya 70 are, karena sebagian lainnya dijadikan jalan umum," kata Agus Setiawan.
Kemunculan sertifikat atas nama Zainuddin rupanya membuat pengusaha ZT geram, dan melakukan gugatan ke PTUN Mataram. Di PTUN Mataram BPN dan Zainudin menang, gugatan ZT ditolak, dan kemudian ZT banding ke PTTUN Surabaya kemudian menang. Hingga di tingkat Kasasi Mahkamah Agung, ZT tetap dimenangkan.
Menurut Agus, sejak saat itu Zainudin merasa kecewa dan tidak melanjutkan ke upaya hukum terakhir berupa peninjauan kembali (PK).
Hanya saja, lahan seluas 70 are itu sudah dijual Zainudin kepada pembeli bernama I Nengah Kardha di tahun 2014. Karena merasa bertanggungjawab Zainuddin pun kembali memperjuangkan lahan tersebut dan melaporkannya ke Laskar NTB.
"Klien kami merasa percuma PK karena biayanya besar dan juga bisa kalah karena tidak ada backing. Sehingga memilih melapor ke LSM, Laskar NTB," katanya.
Setelah menerima laporan Zainuddin dan melakukan kroscek dan klarifikasi ke pihak BPN Lombok Utara dan kantor perpajakan, Laskar NTB menilai kepemilikan Zainuddin sangat kuat. Sebab sertifikat tanah di BPN KLU masih on atas nama Zainudin. Selain itu pajak tujuh tahun yang dibayarkkaan senilai Rp20 juta juga masih diterima negara atas nama wajib pajak Zainuddin.
"Karena sertifikat dan pajaknya masih on atas nama Zainuddin, maka kami kirimkan 18 anggota Laskar NTB untuk memasang spanduk pengumuman di lahan milik Zainudin, bahwa tanah itu milik Zainudin berdasarkan nomor sertifikatnya," katanya.
Agus mengungkapkan, saat tim Laskar NTB datang ke Gili Trawangan pada Rabu 13 Oktober 2021, di lahan milik Zainuddin sedang ada aktivitas pembangunan semacam cafe dan restoran, di mana lokasi pembangunan ditutupi dengan pagar keliling dari tripleks.
Setelah koordinasi dengan aparat Dusun setempat dan memberi permakluman kepada penanggungjawab di proyek tersebut, tim Laskar NTB akhirnya diberi akses untuk memasang spanduk pengumuman di lokasi tersebut.
"Tim kami datang baik-baik dan pulang juga baik-baik, bersalam salaman juga," ujar Agus.
Namun, papar Agus, muncul masalah baru yang janggal. Sebab disaat tim Laskar NTB masih dalam perjalanan dari Gili Trawangan kembali ke Mataram, tiba-tiba muncul surat panggilan untuk dirinya selaku Ketua Laskar NTB dari pihak Polres Lombok Utara.
"Ini kan menjadi persoalan baru sekarang. Anak-anak masih di tengah laut, belum sampai di Mataram, namun ada surat LP polisi sudah datang hanya hitungan dua jam. Dari Polres KLU ditandatangani Kasatresrim, surat pemanggilan saya dan pak Nengah Kardha dengan pasal perusakan. Dalam surat pun tidak ada pelapornya siapa, ini kan aneh bin ajaib," tegasnya.
Menurut Agus hal ini sangat aneh. Sebab pihak kepolisian pun tidak tahu siapa saja pemasang spanduk di Gili Trawangan. Dan tidak pernah memeriksa mereka, namun tiba-tiba memanggil Ketua Laskar NTB dengan tuduhan perusakan.
"Ini yang kita maksud ada dugaan mafia pertahanan. Sehingga Senin nanti kita akan gelar hearing publik di Polda NTB. Ini kan peristiwa hukum, sementara kami tidak berada di Gili Trawangan, dan tim kami pun masih dalam perjalanan, bagaimana surat panggilan sudah jadi padahal pihak kepolisian juga tidak mengenal siapa saja yang pasang spanduk itu satu persatu," ujar dia.
Agus menekankan, dalam kasus ini Laskar NTB ingin mengungkap sejelas-jelasnya dugaan praktik mafia tanah yang sudah sangat menggurita di Gili Trawangan.
"Jangan sampai keadilan di Gili Trawangan hanya menjadi milik pengusaha dan oknum-oknum yang berduit ini saja. Dan jangan sampai juga hukum ini dikendalikan oknum-oknum tak bertanggungjawab. Laskar NTB tetap akan berjuang dan bersuara, bahkan bila perlu sampai jadi atensi Kapolda dan Kapolri sekali pun," tegas dia.
Sementara itu, Kasatreskrim Polres Lombok Utara, Iptu I Made Sukadana, membantah bahwa memeriksa Ketua Laskar tanpa ada laporan pihak pelapor. Dia mengatakan, pihak hotel melaporkan anggota Laskar NTB atas dugaan perusakan.
"Dugaan pengerusakan yang kami tindaklanjuti berdasarkan laporan dari pemilik yang sah," katanya, saat dikonfirmasi terpisah.
Sukadana menjelaskan kronologis kejadian. Bermula saat Laskar NTB mendapat kuasa dari warga yang mengaku pemilik tanah untuk mengadvokasi kasusnya.
"LSM ini datang berangkat dari sebuah sertifikat. Namun sertifikat itu oleh sidang pengadilan dibatalkan. Dari pemilik yang dibatalkan memberikan kuasa ke Laskar," ujarnya.
"Bergerak Laskar di sana (Gili Trawangan), merasa memiliki dan membongkar atap sedikit tidaknya. Jadi pengerusakan yang kami tindaklanjuti, laporan dari pemilik yang sah," ujarnya.
Sukadana menegaskan bahwa tidak ada unsur kriminalisasi dari kasus tersebut. Dia mengatakan itu murni karena menindaklanjuti laporan.
"Kita murni ada yang lapor tetap kita tindaklanjuti, melakukan penyelidikan. Mengumpulkan bahan keterangan dan kita simpulkan sesuai fakta yang ada," katanya.
"Kalau merasa ada bukti lain silahkan dia menyanggah. Kalau enggak diproses salah juga nanti polisi," ujarnya.