Anak-anak pengungsi Ahmadiyah bermain di halaman Wisma Transito Mataram. |
16 tahun bukan waktu yang singkat bagi para pengungsi Ahmadiyah di Transito, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Harta benda yang mereka cari puluhan tahun berupa tanah dan rumah, kini tak bisa digapai.
Asa dan pilu serta rindu para warga Ahmadiyah inilah yang akhirnya dijurnal oleh Aryati Astini dari Mandalika Post berikut ini :
“Ayah kapan kita bisa punya rumah sendiri, ada kamar ada ruang belajar, seperti teman-teman lainnya?”
Sekumpulan anak-anak sekira usia sekolah dasar, tampak asyik bermain di bekas lapangan bulu tangkis di halaman Wisma Transito, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Lapangan semennya mengelupas menyisakan bebatuan kerikil bercampur sedikit pasir. Tapi, hanya di situlah lokasi paling pas bagi belasan anak-anak pengungsi Ahmadiyah bermain.
"Iya bermain cuma di sini saja, nggak ke mana-mana," kata Muhammad Khataman Nabiyin (10) saat ditemui Desember 2021 silam.
Khataman adalah salah satu dari 38 anak warga Ahmadiyah yang lahir dan besar di masa pengungsian di Wisma Transito Mataram.
Seperti juga bekas lapangan badminton itu, bangunan Wisma Transito kini rapuh, kurang terawat.
Tahun 2022 adalah tahun ke-16 bagi puluhan keluarga warga Ahmadiyah menjalani masa pengungsian mereka di Wisma Transito, sejak terusir dari tempat tinggal mereka di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat pada Februari 2006.
Dalam kurun waktu 16 tahun, tiga kali pemilu dan tiga kali periode masa jabatan kepala daerah, tidak ada perubahan berarti bagi pengungsi transito. Waktu seakan berhenti di sana. Seperti juga mimpi dan kerinduan para pengungsi untuk pulang dan menjalani hidup yang normal, hingga kini masih di awang-awang.
"Sering tanya ke ayah, kapan kita bisa punya rumah sendiri, ada kamar ada ruang belajar, seperti teman-teman lainnya? Tapi ayah cuma jawab sabar ya nak," ujar Transiti Mariam Sidiqah (13), kakak perempuan Khataman.
Transiti dan Khataman adalah anak kedua dan ketiga dari pasangan Syahidin (50) dan Senah (45).
Menurut sang ayah, Syahidin, nama Transiti diambil dari nama Wisma Transito. Transiti lahir di Wisma Transito pada 2008 silam. Kini ia adalah gadis yang duduk di bangku kelas 2 SMP.
Syahidin adalah koordinator pengungsi Ahmadiyah di Wisma Transito. Ia kerap disapa pak RT. Kejadian rusuh dan pengusiran warga Ahmadiyah di Dusun Ketapang, 15 tahun silam, masih sangat melekat dalam ingatannya.
Saat itu sekitar 40 keluarga jemaat Ahmadiyah menempati semacam komplek perumahan di Ketapang. Dua tahun pertama kehidupan mereka berjalan normal. Mereka bergaul akrab dengan warga masyarakat asli setempat.
Namun, label sesat dan menyimpang yang dihembuskan oleh pihak yang tak bertanggung jawab, membuat mereka terusir. Kerusuhan dan pengusiran terjadi pada Februari 2006.
"Rusuh sekali waktu itu, rumah kami dilempari, kami dipaksa pergi. Semua barang diambil, perabotan, televisi, lemari semua mereka bawa di depan mata saya," kenangnya.
Dengan tatapan nanar, Syahidin kembali mengingat masa kelam yang dialaminya belasan tahun lalu. Ia merasa tidak pernah merugikan pihak manapun dengan keyakinannya itu. Dia juga tidak pernah mengajak apalagi memaksa siapapun untuk mengikuti apa yang dia yakini.
Berbagai tudingan yang dialamatkan kepada kelompok Ahmadiyah kemudian memunculkan banyak stigma yang hingga kini melekat pada orang Ahmadiyah.
"Apa yang kami yakini bukanlah ajaran yang menyimpang. Kami juga tidak pernah mengajak siapapun untuk mengikuti ajaran yang kami percaya. Kesimpangsiuran tentang yang kami yakini selalu muncul terlebih menjelang agenda perpolitikan," tegasnya.
Saat kerusuhan dan pengusiran itu pecah, petugas kepolisian bertindak cepat mengevakuasi para jemaat Ahmadiyah menuju penampungan sementara di Wisma Transito.
Mimpi warga Ahmadiyah berharap bisa kembali ke tempat tinggal mereka di Ketapang pupus. Memasuki 16 tahun, mereka masih berada di wisma ini. Sebuah penampungan sementara, sekaligus pengungsian paling panjang.
Rindu Pulang dan Trauma Mendalam
Ketua RT Pengungsi Ahmadiyah Transito, Syahidin. |
Hingga kini, pulang dan tinggal di rumah sendiri, masih jadi mimpi di awang-awang, bagi 37 keluarga pengungsi Wisma Transito. Transiti dan Khatam dua dari 38 orang anak warga Ahmadiyah yang lahir dan besar dalam masa pengungsian keluarganya di Wisma Transito.
Pertanyaan Transiti tentang rumah sendiri dan beragam cerita keceriaan, kedamaian, cinta dan kasih sayang di dalamnya, mewakili pertanyaan puluhan anak pengungsi Transito, sebaya dia. Dan ini adalah beban bagi para orang tua.
"Selama ini kalau ditanya ya kami orangtua, hanya bisa jawab insyaallah nak, sabar, pasti nanti suatu saat kita bisa tinggal di rumah sendiri," ujar Syahidin.
Hidup selama 15 tahun di pengungsian adalah hal yang berat bagi para pengungsi. Lebih dari 37 Kepala Keluarga dengan jumlah jiwa sekitar 95 orang, harus rela berbagi ruang yang disekat menjadi beberapa bilik kamar berdinding tripleks untuk masing-masing keluarga.
Sebagian kecil masih bisa bertani di tempat asal mereka di Ketapang, Lombok Barat. Menggarap sedikit lahan mereka yang tersisa, untuk meneruskan hidup. Sebagian besar lainnya banting setir, ada yang berjualan sayur mayur, menjadi tukang bangunan, mengumpulkan rongsokan, hingga menjadi driver ojek online.
Meski masih tinggal di pengungsian Transito, Syahidin tetap bersyukur, karena saat ini para pengungsi sudah terdata dan memiliki KTP Kota Mataram. Mereka juga mendapat jaminan BPJS kesehatan, dan menerima bantuan sosial PKH dari pemerintah.
"Yang paling kita syukuri, saat ini sudah tidak ada diskriminasi terutama untuk anak-anak kami yang sekolah," ujarnya.
Menurutnya, Gubernur NTB, Zulkieflimansyah bersama Kepala Dinas Sosial NTB H Ahsanul Khalik pernah melihat kondisi para pengungsi Transito di awal tahun 2021 lalu.
"Pak Gubernur dan Kadinsos sudah kemari. Ada juga bantuan paket sembako dari Dinsos. Ya kata pak Gubernur, kami harus sabar nanti pemerintah carikan jalan keluar (untuk masalah pengungsian)," katanya.
Sama seperti Transiti, Tiara Raisa Naurin Damanik juga mengutarakan hal yang sama. Gadis yang kini duduk di Kelas 11 SMK ini juga sering menanyakan kapan keluarga mereka bisa pulang dan tinggal di rumah sendiri.
"Sering bertanya kepada orang tua, kapan ada rumah yang layak tapi dijawab sabar aja, bapak sama ibu bilang ini sabar belum saatnya dikasih sama Allah.Tapi saya nggak pernah menuntut , hanya bisa berdoa sama Allah," ujar Tiara.
Seingat Tiara, waktu dia pertama kali pindah ke Transito ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Ia juga sempat mendapatkan diskriminasi dari teman- teman sekolahnya di Mataram.
"Pernah merasakan didiskriminasi waktu di sekolah dasar sering mendengar pertanyaan itu Jemaat Ahmadiyah nabinya siapa? Ya saya tanya balik, nabimu siapa? Mereka jawab Nabi Muhammad. Ya saya jawab nabi saya juga Nabi Muhammad," kenangnya.
Tak hanya anak-anak, sejumlah ibu rumah tangga juga sangat rindu bisa pulang ke Ketapang.
Senah, istri Syahidin mengatakan, sebagian besar pengungsi Ahmadiyah pasti ingin pulang. Meski tak dipungkiri, rasa trauma atas kerusuhan dan pengusiran belasan tahun lalu masih kerap melintas dan menjadi kekhawatiran.
Di Wisma Transito, Senah mengaku bisa mendapatkan kedamaian. Walaupun dalam keadaan yang tidak layak.
"Benar-benar butuh waktu bertahun-tahun untuk beradaptasi dan menerima keadaan. Kalau sekarang keadaannya Alhamdulillah tak seperti dulu. Sebenarnya kami juga ingin balik ke kampung halaman, tapi tentu saja kalau sudah diperbolehkan pemerintah dan ada jaminan keamanan agar kejadian 15 tahun lalu tak terulang lagi," katanya.
Senah mengaku cukup nyaman di Wisma Transito, karena warga setempat di lingkungan Monjok, Mataram bisa menerima mereka dan hidup berdampingan.
"Di Transito pergaulan anak dijaga. Di sini kita bisa kontrol. Ada jam malamnya (dan semua ini) mengajarkan kesabaran. Sekarang sudah tidak ada diskrminasi. Kalau dulu, anak saya yang pertama sering di-bully. Teman-temannya mengatakan kami keluarga yang sesat. Tapi sekarang semua baik-baik saja," katanya.
Wanita lainnya, Mastum juga mengutarakan hal yang sama. Berbeda dengan pengungsi dari Ketapang, Mastum dan suaminya terusir dari Selong, Lombok Timur tahun 2010 silam. Ada sekitar 15 KK bersamanya saat terusir dan harus mengungsi ke Wisma Transito. Namun sudah banyak yang keluar dan menyewa rumah kontrakan. Mastum dan keluarga memilih bertahan di Wisma Transito bersama pengungsi lainnya.
"Kejadian di Selong juga sama. Kami dituduh sesat dan diusir paksa. Yang bisa saya selamatkan hanya dokumen penting dan celengan senilai Rp800 ribu," katanya.
Menurut Mastum, malam itu sangat kacau. Banyak suara teriakan kemarahan, lemparan batu hingga suara tembakan aparat keamanan yang berusaha menghalau massa yang mengamuk.
Sejak mengungsi di Wisma Transito, Mastum bertahan hidup dengan berjualan jajanan tradisional.
"Sekarang alhamdulillah saya mulai berjualan baju, untuk keperluan sehari-hari. Saya lebih memilih di sini daripada kembali ke Lombok Timur, masih trauma sekali," katanya.
Boleh Pulang Hanya Bercocok Tanam
Aset warga Ahmadiyah yang tertinggal di Dusun Ketapang. |
Penolakan dan resistensi warga masyarakat Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat terhadap jemaat Ahmadiyah terjadi hingga kini. Stigma sesat dan menyimpang, juga tak pernah lekang oleh waktu. Ini diakui pula oleh Kepala Desa Gegerung, Harun.
Menurutnya, Pemerintah Desa Gegerung belum bisa menjamin keselamatan jemaat Ahmadiyah jika mereka ingin kembali tinggal di Dusun Ketapang.
"Saya tidak berani menjamin keselamatan para jemaat Ahmadiyah karena sudah dua kali terjadi penyerangan dari 2006-2007 kejadiannya. Saya tidak berani menjamin ketika tinggal di sini lagi bukan saja dari Gegerung tapi di luar Gegerung juga akan melakukan penyerangan lagi," ujarnya.
Diagram aset pengungsi Ahmadiyah. |
Ia mengakui, sejumlah jemaat Ahmadiyah yang kini tinggal di Wisma Transito Mataram masih memiliki aset berupa rumah dan lahan perkarangan di Dusun Ketapang, Desa Gegerung.
Warga setempat tidak keberatan jika para jemaat Ahmadiyah datang untuk mengelola lahan yang dimiliki. Karena ada beberapa dari mereka yang memang menggantung hidup dengan bercocok tanam.
"Silakan saja datang nggak ada yang larang, tapi untuk tinggal seperti dulu belum bisa. Kami takut kejadian belasan tahun lalu akan terulang lagi," tegas Harun.
Pantauan di Dusun Ketapang, setidaknya 30 unit rumah Jemaat Ahmadiyah dalam kondisi rusak dan tak terawat. Sebagian besar ditumbuhi perdu dan semak belukar.
Di dekat kompleks perumahan itu, ada lahan sekira 30 are. Lahan tersebut nampak tak terbengkelai karena masih digunakan Jemaat Ahmadiyah yang datang untuk sekadar bercocok tanam.
Beberapa jemaat Ahmadiyah sempat menjual aset tersebut akan tetapi belum laku. Hal ini disebabkan karena harga yang ditawarkan tidak sesuai.
"Pernah mau dijual tapi harganya belum cocok," katanya.
Ada sebanyak 21 Unit rumah yang dimiliki para jemaat Ahmadiyah pada tahun 2005 lalu dibeli dengan harga Rp15 juta per are .
"Dulu belinya Rp15 juta per are sekarang kalau di jual harganya mencapai Rp95 juta, Aset berupa rumah tersebut juga masih atas nama masing-masing jemaat" ujar Syahidin.
Pemerintah Masih Mencari Solusi
Pengungsian panjang jemaat Ahmadiyah di Wisma Transito masih menjadi perhatian Pemprov NTB.
Kepala Dinas Sosial Provinsi NTB, H Ashanul Khalik mengatakan, para pengungsi Wisma Transito menjadi tanggung jawab Pemprov NTB, dan semua hak-haknya sebagai warga negara, harus dipenuhi dan diperhatikan.
"Mereka pengungsi yang harus dipenuhi hak-haknya oleh pemerintah, salah satunya dari pemerintah provinsi, terlebih pemerintah pusat, kabupaten kota juga harus memperhatikan haknya sebagai warga negara," kata Ahsanul.
Ashanul menjelaskan, Pemprov NTB juga sudah berkoordinasi dengan Pemkot Mataram dalam penerbitan dokumen kependudukan para pengungsi Ahmadiyah. Yang dulunya ber-KTP Lombok Barat, kini KTP-nya Mataram sebagai warga Kota Mataram.
"Data administrasi kependudukannya terlayani sebagai warga Kota Mataram. Mereka juga mendapatkan hak-haknya seperti BPJS Kesehatan dan juga program PKH. Kemudian hak-hak politiknya juga terpenuhi dalam hak dia sebagai warga negara," katanya.
Sedangkan untuk kebutuhan dasar, jemaat Ahmadiyah juga tak luput diperhatikan Dinas Sosial. Misalnya saja bantuan sembako disalurkan untuk mereka di masa pendemi Covid-19 ini.
"Kebutuhan dasarnya kita juga memberikan perhatian khusus bahkan pada saat Covid pemerintah memberikan bantuan sembako kepada mereka. Ada juga selimut matras. Artinya tetap diperhatikan," ujarnya.
Ahsanul mengatakan, untuk saat ini upaya yang bisa dilakukan pemerintah hanya menjamin kebutuhan dasar mereka sebagai warga negara. Sementara untuk mengembalikan mereka ke kampung halaman, masih dikhawatirkan akan memicu persoalan lama muncul kembali.
"Untuk saat ini pemerintah masih memberikan bantuan karena untuk mengembalikan mereka ke tempat asalnya dahulu dirasa tidak mungkin, karena pasti akan memicu persoalan lama," katanya.
Saat ini Pemprov NTB tengah mengupayakan agar pengungsi Wisma Transito bisa memiliki rumah yang layak dan tetap.
"Saat ini kita tengah mengajukan bantuan pembangunan rumahnya ke Kementrian PUPR ini sudah berlangsung pembahasan dengan kementrian Agama dan kantor Staf Kepresidenan. Mudah-mudahan bisa terlaksana, kita coba ajukan juga asrama transito itu menjadi rusun tempat tinggal mereka," katanya.
Ahsanul menekankan, secara prinsip warga Ahmadiyah di Wisma Transito adalah warga negara Indonesia, masyarakat NTB yang memiliki hak yang sama dengan yang lain.
"Soal ada kekurangan-kekurangan selama masa pengungsian pasti ada. Tetapi kita pemerintah terus berusaha untuk bagaimana memenuhi dan memperhatikan mereka," katanya. (*)