Masyarakat Gili Trawangan Mulai Tandatangani Perjanjian Kerjasama dengan Pemprov NTB

MandalikaPost.com
Kamis, Januari 20, 2022 | 20.25 WIB Last Updated 2022-01-20T15:30:48Z
Ketua Tim Satgas Gili Trawangan H Ahsanul Khalik bersama pakar hukum Prof Zainal Asikin dan Kabag Hukum Pemprov NTB Lalu Rudy Gunawan dalam diskusi publik Pojok NTB di Mataram.

MANDALIKAPOST.com - Sebanyak 36 orang masyarakat Gili Trawangan menandatangani perjanjian kerjasama pemanfaatan lahan asset Pemprov NTB.


Saat ini Tim Satgas Penyelesaian Masalah Gili Trawangan tengah melakukan validasi terhadap sekitar 80 pengajuan permohonan kerjasama dari masyarakat dan pengusaha di Gili Trawangan.


"Yang kemarin sudah 36 masyarakat dan pengusaha tandatangani perjanjian kerjasama. Hari ini kita lakukan validasi terhadap 80 pengajuan kerjasama dari masyarakat dan pengusaha. Inshaa Allah akan bertambah," kata Ketua Tim Satgas Gili Trawangan, H Ahsanul Khalik, di sela Diskusi Publik "Plus Minus HGB Gili Trawangan" yang digelar Pojok NTB, Kamis sore, 20 Januari 2022 di Kata Cafe, Kota Mataram.


Ahsanul menjelaskan, berdasarkan pendataan yang dilakukan tercatat setidaknya 1.200 orang menempati lahan asset Pemprov tersebut. Dari jumlah itu, sekitar 478 diantaranya terkategori pengusaha, atau masyarakat yang membuka usaha di sektor kepariwisataan.    


"Untuk pengusaha jumlah total tercatat 478-an. Tetapi kami akan validasi lagi apakah alat administratifnya memenuhi syarat atau tidak. Berapa lama tinggal di sana, berapa lama usaha di sana, ini juga kita tanyakan," katanya.


Seperti diketahui Pemprov NTB telah membuka ruang dan mengakomodir masyarakat dan pengusaha yang menempati lahan eks PT GTI, asset Pemprov di Gili Trawangan seluas 65 hektare.


Pola kerjasama pemanfaatan lahan ini diluncurkan Gubernur NTB Dr H Zulkieflimansyah bersama Buati Lombok Utara H Djohan Syamsu pada 11 Januari 2022 di Gili Trawangan, atau 90 hari setelah kontrak perjanjian kerjasama dengan PT GTI diputus.


Dengan pola kerjasama pemanfaatan lahan ini, masyarakat dan pengusaha yang sudah terlanjur menempati lahan eks PT GTI, bisa tetap berada dan berusaha di sana dengan mendapatkan HGB dan membayar sewa tahunan kepada Pemprov NTB selaku pemilik asset. Mereka yang mengikat kerjasama ini terbagi dalam dua klaster, masyarakat dan pengusaha.


Ahsanul menegaskan, dalam proses ini tim Satgas berupaya bekerja dengan profesional dan teliti, tanpa mengesampingkan aspek sosial dan kemanusiaan.


"Prinsipnya, Gubernur perintahkan agar tidak boleh ada yang dirugikan," katanya.


Ia menambahkan, pola kerjasama pemanfaatan asset Pemprov di Gili Trawangan juga didorong dengan cita-cita Gubernur Zulkieflimansyah.


"Gubernur berharap kelak Gili Trawangan menjadi satu-satunya destinasi wisata internasional yang sepenuhnya dikelola oleh masyarakat," katanya.


Dalam diskusi publik, Kabag Hukum Pemprov NTB Lalu Rudi Gunawan menjelaskan, besaran biaya sewa lahan pemilik HGB juga tidak terlampau membebani karena mengacu pada Perda NTB No 5 Tahun 2018. Untuk masyarakat berkisar Rp2,5 juta per Are/tahun, dan pengusaha Rp5 juta per Are/tahun.


"Pola pembayarannya pun sangat fleksibel, bisa dicicil jika kemudian masyarakat tidak mampu di tahun pertama bisa dilanjutkan di tahun kedua dan seterusnya. Jadi sebenarnya sangat memudahkan," kata Rudi.


Rudi mengungkapkan, Gubernur NTB Dr H Zulkieflimansyah beberapa kali menekankan tim agar tidak membebani masyarakat.


"Pak Gubernur malah sempat tanya, apa bisa untuk masyarakat digratiskan saja?. Tetapi kami konsultasi ke Kemendagri dan KPK, dan petunjuk KPK jalankan saja dulu pola kerjasamanya dengan Perda, nanti di kemudian hari untuk masyarakat yang tidak mampu ya dievaluasi kembali, dicek apakah benar tidak mampu," katanya.


Rudi mengatakan, selama turun ke Gili Trawangan untuk sosialisasi dan pendataan, masyarakat menyambut baik pola kerjasama dengan Pemprov tersebut, yakni dengan HGB.


Soal wacana masyarakat meminta Sertifikat Hak Milik (SHM), ia menduga ada pihak tertentu yang sengaja mengembuskannya.


"Fakta lapangannya seperti itu, tetapi ada yang memutarbalikkan," katanya.


Menurut dia, pola kerjasama HGB ini paling ideal untuk Gili Trawangan. Dan dalam hal ini, Pemprov NTB sebagai pemilik asset sudah sangat mengakomodir masyarakat dan memberi banyak kemudahan.


"Gubernur sudah sangat memberi kemudahan, karena soal Gili Trawangan ini tim diperintahkan untuk tidak ansih dengan kacamata hukum, tetapi kedepankan aspek sosial. Sebab kalau pakai kacamata hukum ya (langsung) selesai. Tapi apakah iya kita mau gusur masyarakat? di sana ada sekolah, ada masjid," katanya.


Ia menjelaskan, masyarakat bisa saja mengajukan permohonan SHM. Namun prosesnya akan sangat panjang. Apalagi, dalam pengajuan SHM maka pihak pemegang HPL dalam hal ini Pemprov NTB harus sukarela menyerahkan.


"Kalau pun iya, Pemprov tidak bisa serta merta menyerahkan, tetapi harus melalui proses pengajuan ke dewan, DPRD NTB kemudian proses di Kementerian. Dan selama proses itu berjalan keberadaan masyarakat di sana bisa dibilang illegal," katanya.


Menurutnya, pola kerjasama dengan HGB saat ini paling ideal, baik bagi masyarakat dan juga Pemprov NTB. Selain itu, kerjasama pemanfaatan lahan dengan pola HGB ini juga dilakukan untuk menghentikan dugaan praktik sewa menyewa dan juga jual beli yang dilakukan oknum masyarakat tertentu.


"Fakta riil di lapangan kami punya datanya, itu ada oknum yang menyewakan 15 Are untuk 15 tahun senilai Rp9.75 Miliar. Kemudian dia patok (lahan) lagi dan disewakan ke yang lain. Ada juga dijual belikan. Jadi HGB ini untuk mencegah hal itu terjadi lagi, kita berusaha menyelamatkan asset daerah tanpa merugikan masyarakat," katanya.


Sementara itu, pakar hukum Prof Zainal Asikin mengatakan, saat ini masyarakat harus diberikan motivasi dan sosialisasi terkait pola kerjasama HGB ini. Tidak perlu lagi diperpanjang apakah SHM atau HGB.


"Yang penting masyarakat kita berikan saja motovasi dan sosialisasi. Bahwa kalau HGB begini dan begini. Jadi pak Gubernur (bisa) santai saja, dan fokus bagaimana menumbuhkan suasana (pariwisata) Lombok ini. Nggak usah diperpanjang HGB atau SHM, silahkan Satgas bekerja," ujarnya.


Asikin mengatakan, ada 3 klaster yang harus mendapatkan perlakukan berbeda-beda di Gili Trawangan.


Yang pertama adalah kelompok masyarakat yang hanya menempati rumah tanpa ada usaha. Yang kedua masyarakat yang menempati dan membuka usaha. Sementara yang ketiga adalah oknum yang melakukan sewa menyewa lahan.


"3 klaster ini berbeda perlakuannya, jangan dipukul rata. Untuk klaster 3 ini ada yang sewakan Rp10 Miliar dan lainnya, ini klaster 3 jangan dapat HGB, saya nggak setuju. Terserah Pemda klaster 3 ini dicabut izinnya juga nggak apa-apa. Itu pendapat saya saat itu ke Biro Hukum," katanya.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Masyarakat Gili Trawangan Mulai Tandatangani Perjanjian Kerjasama dengan Pemprov NTB

Trending Now