Pupuh Lampan Lahat, "Kotak Kematian" Paling Ditakuti dalam Wayang Sasak

MandalikaPost.com
Sabtu, Juli 23, 2022 | 12.21 WIB Last Updated 2022-07-23T04:21:33Z
Ki Dalang Wildan, budayawan dan dalang wayang kulit Sasak di Lombok Timur.

MANDALIKAPOST.com - Pada tataran kasat mata, semua lakon wayang selalu tunduk pada sang Dalang. Baik - buruk karakter yang mewarnai perjalanan adalah mutlak kuasa sang Dalang.


Tapi, secara eksoteris, pupuh dan fragmen bisa berdiri di atas sang Dalang. Beberapa gubahan karya para pujangga, bahkan bisa menggetarkan nyali dan adrenalin sang Dalang.


Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, sebuah fragmen dalam kisah serat menak dalam Wayang Sasak terkenal sarat akan mistis. Fragmen bernama Lampan Lahat tidak sembarang dalang mampu memainkannya. Jika salah berlaku, pupuh Lampan Lahat bisa menjadi death box, sebuah "kotak kematian" bagi sang Dalang.


Konon, jika dalang salah-salah dalam memainkan fragmen Lampan Lahat, taruhannya adalah nyawa dirinya bahkan keturunannya. Betul-betul dalang yang sudah paripurna mampu mementaskan Lampan Lahat.


Seorang dalang dari Desa Rumbuk, Lombok Timur, Ki Dalang Wildan mengatakan banyak ritual khusus yang digunakan dalang untuk memainkan Lampan Lahat. Mula-mula sebelum pementasan, di depan panggung harus disembelih kambing hitam mulus. 


Selain itu, dalang maupun semua yang terlibat dalam pementasan wayang tidak boleh putus dalam wudhu. Sehingga disiapkan air khusus di belakang panggung untuk berwudhu. 


"Dalang dan pembantu dalang akan mengenakan pakaian ihram. Pembantu dalang di kiri dan kanan harus Tuan Guru (kiyai) saat pementasan," katanya ditemui di kediamannya di Desa Rumbuk, Kecamatan Sakra, Lombok Timur.


Syarat lainnya, selama pementasan Lampan Lahat tidak boleh dijeda atau istirahat. Pementasan harus terus dilaksanakan hingga segmen tersebut berakhir. Bahkan pengunjung atau penonton tidak boleh pergi sebelum pementasan berakhir.


Fragmen Lampan Lahat penuh aura mistis. Konon saat pementasan, suasana akan berubah. Di atas panggung dipenuhi leak atau tuselak, yaitu mahluk halus yang akan bertarung satu dengan lainnya.


"Cerita Lampan Lahat harus sempurna, tidak boleh ditambah atau dikurangi. Orang yang betul-betul suci yang bisa memainkan. Jika masih pikir duniawi, tidak akan mampu," ujarnya.


Jika terjadi kesalahan dalam pementasan Lampan Lahat, diyakini akan ada kejadian tak terduga yang memakan korban jiwa, baik dalang atau orang yang mengundang dalang untuk memainkannya.


"Di situ akan keluar leak tuselak. Yang ngundang atau kita yang mainkan itu akan jadi korban. Seolah kita mengundang jin semua di atas," katanya.


Lantas, mengapa Lampan Lahat begitu penuh dengan aura mistis? Ki Dalang Wildan mengatakan dalam kisah Serat Menak, menceritakan perjalanan paman Rasulullah SAW yaitu Amir Hamzah atau dalam pewayangan dikenal dengan Jayeng Rane. Kisah tersebut menceritakan Jayeng Rane menyebarkan Islam dan menumpas musuh Islam.


Lampan berarti adalah judul atau cerita, sementara Lahat adalah jebakan atau kuburan. Kisah atau fragmen Lampan Lahat berisi akhir hidup Jayeng Rane yang gugur di medan perang melawan musuh Islam. Dalam Islam, Amir Hamzah gugur dalam perang Uhud.


"Di lahat atau lubang, bisa juga dimaknai sebagai kubur. Di situlah sejarah Jayeng Rane berakhir bersama kuda perangnya," katanya.


Ki Dalang Wildan bahkan tegas mengatakan tidak akan berani memainkan Lampan Lahat meskipun dibayar berapapun. 


"Jika ada yang kasih saya Rp100 juta untuk memainkan (Lampan Lahat), saya tidak akan berani. Mohon maaf, salah-salah bisa lari ke keturunan (jadi korban)," ujarnya.


Ki Dalang Wildan menjelaskan, Jayeng Rane dalam wayang Sasak digambarkan dengan ciri khas sederhana. Berbeda dengan wayang Jawa, Jayeng Rane digambarkan sebagai Arjuna dengan menggunakan perhiasan mahkota dan gelang.


"Jayeng Rane kalau di wayang Jawa itu Arjuna. Banyak gelang, mahkota, kalau di wayang Sasak bentuknya polos sebagai simbol kesederhanaan," katanya.


Dijelaskan, karakter dalam wayang dibagi dua yaitu wayang kiri dan kanan, dan satunya adalah gunungan wayang. Wayang kiri menggambarkan sosok antagonis berwatak sombong, dan wayang kanan menggambarkan tokoh utama atau pahlawan dan sosok yang baik.


Dalam wayang Sasak menggunakan bahasa Kawi. Bahasa tersebut untuk memudahkan penonton, karena menggabungkan tiga bahasa, seperti Sasak, Jawa dan Bali.


"Kenapa pakai bahasa Kawi wayang Sasak, diambil garis tengah bahasa Sasak masuk, bahasa Jawa masuk dan bahasa Bali masuk. Cepat dicerna publik," ujarnya.


Ki Dalang Wildan sejak tahun 1973 telah menjadi dalang. Bahkan saat usia sekolah, dia selalu belajar membuat dan memainkan wayang. Itu membuat dirinya kini sering dipanggil untuk pertunjukan wayang. 


Dia menceritakannya, pementasan wayang Sasak dipenuhi dengan simbol-simbol yang memuat nilai Islam. Seperti tiang panggung berjumlah sembilan yang artinya sembilan wali yang menyebarkan Islam, bangunan panggung segi empat yang memiliki filosofis empat mahzab dalam Islam, musik pengiring atau gendang berjumlah lima yang artinya rukun Islam.


"Sebenarnya gendang berjumlah enam. Tapi Lanang dan Wadon adalah suami istri, sehingga dihitung satu," katanya.


Begitu juga dengan dalang dan semua yang terlibat dalam pementasan berjumlah 13 orang, yang memiliki filosofis jumlah rukun salat. Bahkan, ritual mengeluarkan wayang tidak asal-asalan, ada doa khusus yang diucapkan.


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Pupuh Lampan Lahat, "Kotak Kematian" Paling Ditakuti dalam Wayang Sasak

Trending Now