Dr. Ihsan Hamid, MA. Pol. |
MANDALIKAPOST.com - Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kembali melahirkan satu doktor dalam bidang ilmu politik, yang ditandai dengan pelaksanaan Ujian Sidang Promosi Doktor dengan Promovendus Ihsan Hamid.
Ihsan sapaan akrabnya tercatat sebagai Doktor ke-1370 Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta setelah berhasil mempertahankan Disertasinya yang berjudul “Korupsi di Parlemen: Studi Terhadap Perilaku Politik Sejumlah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Pasca Reformasi”.
Disertasi disampaikan Ihsan di hadapan tujuh profesor dewan penguji dalam sidang yang dilakukan di auditorium kampus tersebut, cukup menarik perhatian publik. Para dewan penguji memberikan apresiasi dan pujian atas keberanian peneliti untuk meneliti tema atau kasus yang dibilang cukup sensitif dimata publik, karena isu dan objek yang diteliti termasuk lembaga yang tidak main-main.
Para penguji berharap disertasi ini untuk segera diterbitkan menjadi buku sertai dipublikasikan menjadi jurnal sehingga dapat memberi kontribusi besar dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia umumnya dan di parlemen secara lebih khusus.
Jika ditelisik lebih jauh seperti yang dipaparkan dalam Sinopsis Disertasi dan pemaparan promovendus dalam Ujian Promosi Doktor tersebut, dapat dibaca jika penelitian ini secara umum bertujuan untuk menjelaskan dinamika korupsi di Parlemen Pasca Reformasi dengan mengambil studi kasus terhadap perilaku korupsi sejumlah Anggota DPR RI Periode 2014-2019 di berbagai alat kelengkapan dewan.
Ihsan mengatakan, dalam temuannya, bahwa korupsi di parlemen tersebut terjadi karena berbagai faktor, baik faktor internal seperti: motivasi ekonomi, moralitas, pengawasan dan manajemen pengendalian yang lemah dan minus transparansi, maupun faktor eksternal seperti: faktor keluarga, lingkungan kerja, kesempatan, dan minimnya kontrol oleh partai politik.
Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa korupsi yang cenderung banal tersebut, juga secara tidak langsung dipengaruhi oleh sistem Pemilu proporsional terbuka, konsolidasi demokrasi dan kelembagaan di lembaga DPR RI yang terus berjalan, akibatnya semakin tersebarnya posisi setrategis pengambil keputusan. Selain itu disebabkan juga oleh kuatnya budaya kerja dengan model patronase (patron-cilent/atasan bawahan).
Data tiga periode masa jabatan terakhir Anggota DPR RI di Parlemen kemudian mempertegas hal tersebut. Pada periode Masa Jabatan 2004-2009 tercatat sebanyak 12 orang Anggota DPR RI terlibat korupsi yang diadili dan diputus inkracht bersalah, begitu juga periode setelahnya, dalam Masa Jabatan 2009-2014 sebanyak 8 orang diadili tersandung kasus korupsi yang juga diputus bersalah.
Seolah tidak ada ujungnya, kasus korupsi di Parlemen terus terjadi dan kian masif, tercatat sebanyak 22 orang Anggota DPR RI pada Masa Jabatan 2014-2019 juga tersandung kasus korupsi setelah diputus bersalah, yang terjadi di berbagai alat kelengkapan dewan dalam bentuk dan sebab yang beranekaragam, disebabkan oleh beberapa faktor utama, seperti faktor ekonomi, faktor politik dan tata kelola kelembagaan, serta faktor sosial-budaya.
"Masifitas korupsi yang terjadi di DPR RI, cenderung banal dan laten tersebut pada batas tertentu juga dipengaruhi oleh besarnya pengaruh kekuatan modal untuk merebut pos-pos jabatan di parlemen," ujar dia.
Kontestasi untuk menjadi Anggota DPR RI yang membutuhkan biaya tinggi, dan pembiayaan aktivitas partai politik yang sangat besar, kemudian membutuhkan akses finansial yang sangat besar pula. Hal ini kemudian mendorong kekuatan pasar semakin dominan dalam proses politik. Biasanya pelaku bisnis memberikan sumbangan pada mereka yang sedang terlibat dalam kompetisi politik yang kemudian dibarengi dengan intensi mengenai ganjaran timbal balik berupa kebijakan-kebijakan dan lain sebagainya yang menguntungkan mereka.
"Kondisi semacam ini kemudian semakin parah terjadi di parlemen ketika sistem pemilihan Anggota DPR RI menggunakan sistem proporsional terbuka, dimana politisi terpilih untuk duduk di parlemen adalah politisi yang berhasil meraih suara terbanyak dalam Pemilu, ditambah juga dengan adanya ketentuan sistem parliamentary threshold 2.5 % pada Pileg 2009, 3.5% pada Pileg 2014, dan 4% pada Pileg 2019 menjadikan kontestasi semakin kompetitif. Proses liberalisasi politik ini tidak hanya membuat proses politik semakin liar, namun juga meningkatkan biaya politik secara signifikan," bebernya.
Kondisi yang demikian kemudian turut pula membuat kompetisi antar partai politik menjadi semakin keras, semua partai berkompetisi untuk menjadi pemenang Pemilu dan lolos ke parlemen, namun untuk mencapai itu semua partai membutuhkan modal yang sangat besar.
Sehingga tidak jarang Parpol dalam memenuhi kebutuhan modal tersebut kemudian meminta iuran kepada Anggota DPR-nya di parlemen, yang terkadang lebih dari 30 persen dari gaji legislator dipotong langsung oleh bendahara partai.
Karena itu, kedepan potensi terjadinya kasus korupsi di parelemen terus terbuka lebar, akibat sistem pemilu yang semakin liberal dan membutuhkan biaya yang cukup besar tersebut. Sehingga masih terdapat Anggota DPR RI yang terjebak dalam praktik korupsi baik sebagai, mafia anggaran, mafia peradilan, mafia proyek, serta menerima suap karena jual pengaruh atas legitimasi yang mereka miliki. Dalam hal ini seringkali para legislator tersebut terpaksa menerima biaya dari perusahaan, agen, atau pemerintah daerah dengan imbalan menyetujui item anggaran yang sangat penting.
Kondisi ini kemudian membawa pengaruh besar pada memburuknya sistem kerja di parlemen, mengabaikan proses-proses good governance yang dicerminkan oleh fraksi masing-masing Parpol lewat Anggota DPR, apalagi dinamika dan perilaku Parpol ini menjadi hulu dari semua aktifitas di parlemen, jika baik pengelolaan keuangan di Parpol rasanya baik juga pengelolaan keuangan di hilir.
"Artinya jika Anggota DPR dalam proses rekrutmen sebagai Caleg hingga setelah terpilih menjadi Anggota DPR tidak dituntut mengeluarkan banyak biaya dan iuran Anggota rupanya Anggota DPR juga tidak akan terlalu terbebani dengan persoalan keuangan sehingga dapat menekan perilaku koruptif," katanya.
Pada titik ini, penelitian ini menunjukkan selama konsolidasi kelembagaan di DPR RI belum tuntas, kemudian terus berjalan melalui sistem kerja dalam proses politik di DPR, semakin banyaknya tersebar pos kekuasaan, serta mekanisme pembagian kekuasaan di DPR yang belum tuntas, turut menjadi bagian yang akan terus menyuburkan korupsi di parlemen karena Pasca Reformasi terjadi penyebaran simpul-simpul kekuasaan, yang awalnya dikendalikan oleh beberapa individu sentral, namun setelah adanya liberalisasi politik menjadi tersebar ke beberapa elemen individu hingga ke level bawah.
Akibatnya, terdapat lebih banyak veto players (penentu keputusan), yang memberi jalan bagi perluasan pos-pos baru terjadinya penyuapan. Kondisi yang semacam ini kemudian sangat mempengaruhi sistem dan budaya kerja bagi Anggota DPR RI yang turut membuat korupsi tersebut kian banal.
Mekanisme kerja seperti pola budaya politik patronase di DPR RI, membuat Anggota DPR RI harus tunduk terhadap semua intervensi partai atau Ketum partai, membuat mereka menjadi pekerja partai atau elit-elit oligarkis yang menjadi penopang bekerjanya lembaga-lembaga politik di parlemen.
Dalam budaya kerja patronase maka patron (atasan-majikan) dan client (bawahan-pesuruh). Dalam konsepsi yang demikian, partai atau ketum partai akan berposisi sebagai patron dan Anggota DPR adalah client. Mekanisme kerja pun tidak ubahnya seperti majikan dan buruh.
Patron-client melahirkan mekanisme kerja “balas budi‟. Model pola hubungan kerja yang semacam itu kemudian terus membudaya dan seolah melembaga di parlemen.
"Lambat laun, hingga saat ini, perilaku korup yang diakibatkan oleh sistem kerja dengan model patronase tersebut menjadi habitus yang terus terbangun, yang pada akhirnya habitus tersebut akan mempengaruhi munculnya perilaku koruptif, karena pada dasarnya Anggota DPR RI tersebut merupakan individu yang organis adaptif terhadap lingkungannya," urainya.
Ihsan mengungkapkan, secara lebih spesifik penelitian ini juga menemukan bahwa, secara umum kecendrungan jenis korupsi yang dilakukan oleh Anggota DPR RI Pasca Reformasi, atau pasca Anggota DPR RI dipilih oleh rakyat, adalah korupsi dengan jenis seperti penyuapan, mark up anggaran, kecurangan, dan penggelapan. Mulai dari korupsi skala besar (grand corruption), hingga korupsi skala kecil (petty corruption).
Adapun untuk model korupsi yang dilakukan adalah korupsi dengan model Resources Allocation corruption (sebuah model korupsi yang menjelaskan adanya persaingan kegiatan birokrasi untuk mendapatkan alokasi anggaran) dan agency model corruption (sebuah model korupsi dimana Anggota Legislatif tersebut berperan sebagai agen sedangkan swasta/individu tersebut sebagai prinsipil yang membutuhkan jasa agen atas kekuasaan yang dimiliki dalam mempermudah semua urusan prinsipil, seperti menjadi makelar kasus, makelar pengurusan izin tambang, dan lainnya), dengan pola-pola korupsi yang melibatkan principal, agent, client, dan diperparah oleh keterlibatan makelar (middlemen) di dalamnya, yang terjadi di empat Alat Kelengkapan Dewan (AKD) paling rawan terjadinya korupsi yakni di Banggar, Baleg, Komisi dan di Pansus/Panja. Dalam setiap kasus korupsi yang terjadi di DPR RI tersebut dapat dipastikan pasti melibatkan tiga unsur kongsi pelaku korupsi di dalamnya yaitu dari unsur Legislatif, Birokrat, dan Korporasi/Swasta.
Sehingga dalam batas tertentu, hasil penelitian ini kemudian sejalan dengan pendapat Warren, Jhon Girling, Arvin K Jain, Artidjo Alkostar, Azyumardi Azra, dan Sukron Kamil yang berpandangan bahwa korupsi di Parlemen pada dasarnya melekat pada sistem pelaksanaan kekuasaan politik itu sendiri, lewat konsolidasi demokrasi dan kelembagaan yang terus berjalan sehingga entitasnya bersifat sistemik, dengan suasana kebatinan yang memang bobrok.
Akhirnya berbagai modus korupsi mereka lakukan, seperti menjadi mafia anggaran, jual beli pasal, makelar proyek dan jual pangaruh, tanpa merasa bersalah. Penelitian ini tidak sejalan dengan salah satu pandangan dari Robert Klitgaard, Samuel P. Huntington, dan Pinto, yang terkadang memandang dalam batas tertentu jika korupsi dalam bentuk suap atau gratifikasi masih dianggap sebagai bagian dari cara dalam menciptakan alokasi sumber daya ekonomi untuk efisiensi.
Akhirnya diantara alternatif tindakan pencegahannya adalah dengan menegakkan hukum, bila perlu hukuman mati, perbaikan budaya, sistem kerja serta terus melalukan penguatan konsolidasi demokrasi di parlemen, perbaikan manajemen kerja Parpol, serta penguatan integritas dan moralitas penyelenggara Negara, Anggota DPR RI dan semua elemen bangsa. Penguatan basis ekonomi yang merata dan pembangunan yang berkelanjutan diikuti dengan profesionalisme kerja yang tinggi turut menjadi solisi untuk mengeliminir terulangnya kasus korupsi terjadi kembali.
"Sehingga point inti dari riset ini adalah, jika korupsi disebabkan oleh adanya tekanan maka solusinya adalah perkuat penegakan hukum atau perberat hukuman bagi koruptor, jika penyebabnya adalah adanya kesempatan akibat lemahnya sistem, maka solusinya adalah perbaikan sistem politik dan birokrasi, dan apabila penyebab korupsi tersebut adalah lebih karena faktor rasional atau faktor-faktor individu pelaku maka solusinya adalah penguatan moral dan integritas penyelenggara Negara," tegas Ihsan.
Dr. Ihsan Hamid, MA. Pol merupakan Alumni Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. Saat ini Dr Ihsan Hamid aktif sebagai Dosen di UIN Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Selain kerap menjadi narasumber untuk diskusi bertema politik, Dr Ihsan Hamid juga kerap menjadi nasarasumber desk politik di sejumlah media massa di NTB.