Film Thor: Love and Thunder. |
MANDALIKAPOST.com - Thor: Love and Thunder mengingatkan saya dengan pengalaman menonton film-film Marvel Cinematic Universe (MCU) sebelum era multiverse. Bermodal jalan cerita ringan dengan berbagai selipan adegan komikal, film ini memberi angin segar di tengah fase empat MCU yang semakin terasa menjemukan.
Dalam edisi ini, Taika Waititi kembali dipercaya menukangi film solo Thor usai sukses 'menyelamatkan' sang Dewa Guntur lewat Thor: Ragnarok (2017). Ia pun tak ragu mengulang formula kesuksesan Ragnarok, terutama soal unsur komedi yang mendominasi.
Jurus jitu yang dipakai Waititi itu terbilang sukses membawa Thor: Love and Thunder menjadi film yang segar nan menyenangkan. Sebagian besar penonton juga mengakui itu, terlihat dari ragam komentar yang beredar di media sosial.
Namun, pengulangan itu mengakibatkan Thor: Love and Thunder tak bisa mengungguli pendahulunya. Seri keempat Thor ini juga membuktikan bahwa pendekatan baru diperlukan jika ingin melampaui kesuksesan Thor: Ragnarok.
Terlepas dari itu, pengalaman menonton Thor 4 masih tetap menyenangkan berkat sejumlah aspek lain. Selain unsur komedi, Thor: Love and Thunder hanya fokus menyoroti perjalanan hidup Thor Odinson (Chris Hemsworth).
Taika Waititi kembali menggambarkan sang Dewa secara lebih humanis, seperti saat Thor bergulat dengan dirinya yang merasa tak layak mengemban tugas sebagai Dewa bagi bangsa Asgard dalam Ragnarok.
Sang putra Odin itu kini juga masih menyimpan berbagai kerapuhan di balik predikat dewa yang tersemat pada dirinya.
Sisi yang rapuh itu kemudian dipilih sebagai bagian utama dari plot cerita, yakni tentang proses Thor menemukan jati diri. Penggambaran tersebut tak pelak membuat cerita sang Dewa justru terasa lebih dekat bagi penonton.
Kehidupan Thor yang diselimuti gundah gulana kemudian sukses menggaet atensi penonton untuk tetap fokus mengikuti cerita. Alur yang seolah hanya bermodal satu garis lurus itu juga mempermudah Waititi dalam menyelipkan adegan komikal sekaligus menyuguhkan aspek audio visual yang menawan.
Secara visual, Thor: Love and Thunder memiliki segudang pengambilan gambar apik yang memanjakan mata. Begitu pula dengan pemilihan soundtrack pada sejumlah adegan kunci film ini.
Lagu hits Guns N' Roses yang sudah lama digembar-gemborkan oleh sutradara dan para pemeran nyatanya sukses memenuhi ekspektasi penggemar. Penempatannya pun tak asal-asalan sehingga berhasil memperkuat emosi sejumlah adegan.
Sejumlah poin plus itu menjadi komplit dan terasa memuaskan berkat penampilan gemilang Christian Bale sebagai villain. Bale dalam film ini memerankan Gorr the God Butcher, makhluk yang dikhianati Dewa Rapu dan berambisi membasmi dewa-dewi di seluruh semesta.
Karakter itu berhasil dieksekusi dengan nyaris sempurna di semua lini. Secara penampilan fisik, Christian Bale rela menurunkan berat badan secara cukup drastis demi peran ini.
Riasan dan prostetik juga mendukung transformasi Bale sebagai Gorr the God Butcher. Wujud Bale dalam film ini jauh berbeda dari peran-peran lainnya, dengan kulit putih pucat serta tubuh yang begitu kurus.
Transformasi itu lalu disempurnakan dengan penampilan Bale yang dikenal memiliki 'acting range' luas. Gorr sebagai makhluk pendendam bengis yang menyimpan trauma besar begitu tercermin lewat gestur hingga cara Christian Bale bertutur.
Teror mengerikan juga begitu terasa di setiap kehadiran Gorr the God Butcher dalam film ini. Nuansa komedi yang ringan itu seolah langsung berbalik menjadi horor ketika sang villain muncul.
Hal itu sekaligus menjadi penyeimbang yang membuat Thor: Love and Thunder terasa komplit. Ia tak hanya menyajikan tontonan menyenangkan, tetapi juga tetap menyelipkan ketegangan pada sejumlah bagian cerita.
Sayangnya, porsi karakter Gorr the God Butcher dalam film ini masih terlalu sedikit. Gorr punya potensi besar untuk lebih digali perjalanannya, tetapi hal itu tampak disia-siakan oleh sang sutradara.
Sang villain sejatinya punya peluang untuk mendulang lebih banyak simpati penonton karena latar belakang yang emosional. Taika Waititi juga seperti melewatkan kesempatan untuk menggambarkan bagaimana perjalanan Gorr sebagai sang penjagal Dewa.
Tak pelak film ini memiliki alur dengan tempo cepat, sehingga dapat dimaklumi jika ada beberapa penonton yang merasa kurang terikat dengan cerita. Alasan itu juga yang menjadikan Thor: Love and Thunder, bagi saya, belum bisa menandingi Thor: Ragnarok.
Namun, Thor 4 tetap saja memberikan pengalaman menonton film MCU yang akhir-akhir ini hilang. Film ini seperti membawa kembali penonton ke masa MCU yang dipenuhi film solo superhero tanpa banyak embel-embel crossover atau cerita yang kompleks.
Kesan tersebut juga bisa diartikan sebagai sinyal bagi Marvel Studios, bahwa film dengan premis ringan pun masih banyak diminati penggemar.
Jika ingin mempertahankan basis penggemar MCU, terutama penggemar yang awam, studio rasanya harus menyiapkan lebih banyak film sejenis Thor: Love and Thunder.