Ilustrasi kejahatan ITE. |
MANDALIKAPOST.com - Kasus dugaan penyebaran berita bohong dengan tersangka oknum Ketua PHDI NTB, berinisial IMS, masih ditangani pihak kepolisian. Namun perjalanan kasus mulai disoroti, lantaran terkesan jalan di tempat meski sudah setahun lebih berjalan.
Publik mulai membandingkan penanganan kasus dengan delik ITE ini, dengan kasus yang menimpa Ketua KSU Rinjani, Sri Sudarjo, yang cepat diproses dan kini sudah masuk agenda persidangan di pengadilan.
Pengamat hukum Universitas Mataram, Taufik Abadi SH MH mengatakan, setiap kasus memang tidak bisa dilihat sama. Namun dalam respons aparat penegakan hukum (APH) harusnya sama, karena kasus tersebut sama-sama menggunakan undang-undang ITE.
"Memang deliknya (KSU Rinjani dan IMS) itu pasalnya berbeda. Tapi respons APH harusnya sama, karena ini sama-sama ITE," katanya, Sabtu 2 Juli 2022 di Mataram.
Menurutnya, dalam kasus ini tersangka IMS bisa ditahan, jika merujuk pada ketentuan Pasal 21 KUHAP. Apalagi ancaman pidana pasal 28 (1) undang-undang ITE yang mnejerat IMS, mencapai 6 tahun penjara.
"Pasal 28 ayat 1 UU ITE kaitannya menyebarkan berita bohong yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Delik ini ancaman hukuman 6 tahun, dari ketentuan KUHAP diatas aka lebih 5 tahun harusnya (bisa) ditahan," tukasnya.
Ia memaparkan, secara garis besar penahanan tersangka tentu ada pertimbangan hukum dan non hukum. Pertimbangan hukum antara lain agar tersangka tak melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan ancaman hukuman di atas 5 tahun penjara. Sementara aspek non hukum adalah pertimbangan subyektif dari penyidik kepolisian.
"Dalam kasus IMS ini, kemungkinan secara psikologis penyidik tidak melakukan penahanan karena tersangka adalah Tokoh Agama sehingga dikhawatirkan bisa menimbulkan keriuhan publik. Namun polisi juga perlu mempertimbangkan bahwa dalam kasus ini ada korban. Saya rasa dalam kasus ini kepolisian kurang bijak ketika tidak melakukan penahanan terhadap tersangka atau tidak merespons kasus ini, karena dalam kasus ini kan ada korban dan ada kerugian materil yang cukup besar," kata Taufik.
Dibanding dengan kasus KSU Rinjani, dimana tersangka ditahan dan prosesnya cukup cepat sampai ke persidangan, Taufik menilai kasus IMS ini cukup aneh.
"Kasus KSU Rinjani penanganannya cepat, sementara IMS agak lamban dan berkasnya masih bolak-balik dari kepolisian dan kejaksaan," kata akademisi Unram ini.
Taufan yang juga aktif di Pusat Bantuan Hukum Lembaga Pengembangan Wilayah NTB (PBH LPW NTB) ini menilai, kasus IMS hanya sebagian potret penegakan hukum di NTB ini.
"Dari data kami di PBH LWP NTB, selama ini kepolisian cenderung lamban merespons laporan yang kasusnya tidak diatensi publik, atau dalam bahasa sekarang kalau tidak viral. Kasus IMS ini hanya potret seperti fenomena gunung es," katanya.
Sejauh ini PBH LWP NTB mencatat cukup banyak pengaduan dan laporan masuk kepada pihak kepolisan yang tidak direspon. Ada pun yang direspon pun itu butuh waktu lama dan perlu ada upaya lain. Misalnya pelapor aktif menanyakan perkembangan kasus dan juga melibatkan media agar menjadi atensi publik.
"Hasil pendampingan kasus di PBH LPW NTB, ditemukan juga ada kasus yang diduga mengendap di penyidikan," katanya.
Taufan mengungkapkan, untuk menelusuri lebih jauh terkait respon laporan polisi, PBH LPW NTB akan melakukan survey di bulan Agustus 2022.
"Saat ini sedang tahapan penyusunan instrumen untuk survey Agustus nanti. Sebab, kuat dugaan kami banyak laporan polisi yang tidak direspons selain yang tidak mengadukan di PBH LPW NTB," tegasnya.
Padahal, lambannya respons polisi, ujar dia, kerap kali berdampak pada upaya masyarakat mengambil langkah main hakim sendiri.
Jika fenomena ini dibiarkan, papar dia, hal ini akan menjadi penghambat semangat Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang mendorong Polri PRESISI.
"Saya rasa di momen HUT Bhayangkara, hal semacam ini bisa menjadi instrospeksi. Karena ini bisa menghambat Polri PRESISI, yang didalamnya ada reponsif dan berkeadilan," tegasnya.
Ia menambahkan, dalam kasus IMS, pihak korban bisa menempuh cara melaporkan ke pihak Ombudsman, Kompolnas, dan Mabes Polri, agar kasus ini menjadi atensi.
Seperti diketahui, kasus dugaan pelanggaran ITE yang menjerat oknum Ketua PHDI NTB, IMS dilaporkan ke Polda NTB sejak Maret 2021 silam.
Kasus ini bermula dari unggahan medsos IMS. Di laman medsosnya https://www.facebook.com/made.santi.1441 pada tanggal 20 Februari 2021 nampak unggahan berupa photo hotel dengan narasi kondisi Hotel B yang akan segera dilelang. "Kalo ada yang berminat hubungi saya", tulis IMS yang mengesankan IMS sebagai pemilik hotel.
Selain itu, ada juga unggahan berupa Surat KPKNL Mataram yang ditujukan kepada PN Mataram, Surat KJPP ( Kantor Jasa Penilai Publik) yang ditujukan kepada PN Mataram, dan unggahan berupa Dokumen Hasil Penilaian Aset Hotel B oleh KJPP di Mataram.
Unggahan IMS tersebut kemudian dilaporkan oleh pemilik hotel, GG ke Polisi. GG sebagai pemilik hotel merasa dirugikan atas unggahan tersebut.
Pada Januari 2022, Polda NTB kemudian menetapkan IMS sebagai tersangka atas dugaan melanggar pasal 28 ayat (1) junto pasal 45A ayat (1) undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ia diduga menyebarkan berita bohong yang menyesatkan dan merugikan konsumen dalam transaksi elektronik.
Sementara itu, terkait saran melaporkan lambannya kasus ini ke Ombudsman atau Kompolnas dan Mabes Polri, GG owner Hotel B yang juga sebagai pelapor dan korban dalam kasus IMS ini mengatakan, pihaknya belum berpikir ke arah itu.
"Itu saran yang sangat rasional. Namun saya sejauh ini sangat percaya bahwa penyidik Subdit V Cybercrime Dit.Krimsus Polda NTB maupun Jaksa Kejati NTB sudah bekerja sungguh- sungguh dan profesional sejauh ini. Jadi kami menunggu saja," tukasnya.
Menurutnya, bahwa ada kesan lamban itu hal biasa. Terlebih di era digital dewasa ini masyarakat sangat membutuhkan informasi yang transparan, akurat, cepat dan tepat. Hal ini menjadi sesuatu yang perlu disikapi positif oleh para penegak hukum.