MANDALIKAPOST.com – Negara-negara anggota G20 mendukung dan mendorong adanya jaringan harmonisasi protokol kesehatan terkoneksi antarnegara. Koneksi jaringan antarnegara ini didorong menjadi salah satu poin penting dalam pembicaraan puncak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20, di Bali, pada 15-16 November 2022, selain sepakat meluncurkan “pandemic fund” (dana pandemi).
Harmonisasi protokol kesehatan ini menjadi jembatan negara-negara, terutama yang tergabung di dalam G20, untuk saling terhubung antara masing-masing negara terkait mobilisasi manusia saat pandemi dengan lebih aman demi mempercepat pemulihan ekonomi. Kesepakatan harmonisasi ini merupakan hasil dari pertemuan para menteri negara-negara G20 atau Health Ministerial Meeting kedua, pada Oktober 2022 lalu.
“Harmonisasi ini berupa kolaborasi sertifikasi perjalanan orang antarnegara. Kalau pandemi lagi (serupa Covid-19), negara tidak perlu lagi memberlakukan karantina wilayah atau lock down. Orang sehat tetap boleh bergerak atau bepergian, sementara yang sakit saja yang tidak boleh,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Kunta Wibawa Dasa Nugraha, dalam jumpa pers #G20updates, Jumat (11/11/2022).
Kunta menjelaskan kolaborasi protokol kesehatan yang saling terhubung dengan aplikasi masing-masing negara ini berguna untuk saling mengontrol mobilisasi orang sehat dalam perjalanan. Harapannya, ketika menghadapi pandemi di masa mendatang, orang boleh melakukan perjalanan sehingga ekonomi tetap berputar.
Pengalaman pandemi lalu, lanjutnya, sejumlah negara mengeluarkan kebijakan lock down. Banyak orang sehat tidak dapat melakukan kegiatannya, termasuk bepergian ke luar negeri sehingga berdampak kepada kolapsnya perekonomian.
Menurut Kunta, harmonisasi standar kesehatan global sangat berguna membantu dunia mengendalikan dampak negatif dari keadaan darurat kesehatan di masa mendatang. Caranya, para negara yang sepakat berintegrasi untuk terkoneksi saling melakukan pertukaran data dan saling mengakui aplikasi digital masing-masing negara.
Dengan adanya pertukaran data, maka hanya orang-orang yang sakit yang dilarang bepergian. Sementara orang-orang yang sehat tetap diizinkan melakukan aktivitas di luar rumah sehingga ekonomi tetap bisa berjalan.
Ia menyontohkan, bila orang Indonesia pergi ke Jepang, maka petugas di negara tersebut cukup memindahkan aplikasi Peduli Lindungi (milik Indonesia) dan tidak perlu lagi mengunduh aplikasi negara setempat (Jepang). Begitu pula sebaliknya, ketika negara-negara lain datang ke Indonesia.
Kolaborasi riset
Salah satu aksi kunci lain yang disepakati dalam Pertemuan Menteri Kesehatan G20 Kedua di bulan Oktober lalu, adalah bagaimana setelah selesainya evaluasi Access to COVID-19 Tools-Accelerator (ACT-A), negara-negara G20 dapat terus memimpin pembentukan entitas dan fungsi penerus demi memastikan kesiapan mekanisme untuk menanggapi pandemi di masa depan.
Kolaborasi interdisipliner dan lintas negara diperlukan untuk menjamin pencegahan, kesiapsiagaan dan penanggulangan pandemi di masa depan. Kolaborasi semacam ini membutuhkan peningkatan kapasitas, kemitraan ilmiah, dan upaya berbagi pengetahuan.
Kunta juga menegaskan pentingnya membangun dan memperkuat jaringan kolaboratif para ilmuwan di bidang kedaruratan kesehatan masyarakat.
Pada Presidensi G20 Indonesia, lanjutnya, menggarisbawahi pentingnya surveilans (pengawasan), terutama surveilans genomik menggunakan pendekatan One Health.
Negara G20 mendukung pertukaran data patogen tepat waktu, pada platform yang dapat dipercaya. Di Indonesia, jelas Kunta, menginisiasi Biomedical and Genome Science Initiative (BGS-i) guna mendukung surveilans genomik yang lebih baik lagi ke depannya.
Pada pertemuan Health Working Group pertama membahas relevansi standar bersama untuk memastikan perjalanan yang mulus dengan rekognisi bersama sertifikat vaksinasi dan interoperabilitas, serta saling pengakuan aplikasi digital. Negara-negara telah setuju dengan usulan tersebut dan saat ini sedang eksplorasi pendekatan terbaik untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dengan melakukan rangkaian uji coba virtual terkait uji kelayakan teknologi, untuk mendirikan Direktori Kepercayaan Publik Global Federasi (Federated Public Trust Directory) untuk sertifikat COVID-19 digital.
Saat itu, Indonesia terpilih sebagai salah satu penerima (recipient) manufaktur mRNA WHO. Menindaklanjuti hal tersebut, Indonesia dan Afrika Selatan melalui Bio Farma dan Afrigen mengembangkan kerja sama produksi vaksin COVID-19 berbasis mRNA, dan kerjasama penguatan jaringan hub vaksin WHO.
Indonesia sedang dalam proses mengembangkan pusat penelitian dan manufaktur vaksin. Dan, mengidentifikasi calon mitra untuk membangun kapasitas penelitian dan pembuatan vaksin, dengan kemitraan produsen nasional.
Pertemuan Menteri Kesehatan G20 Kedua, negara anggota G20, juga sepakat untuk melakukan analisis kesenjangan dan pemetaan jaringan penelitian, pengembangan dan manufaktur yang ada dan yang sedang berkembang sebagai langkah awal untuk memperluas penelitian dan kapasitas produksi untuk vaksin, terapi dan diagnostik (VTD). Hasil diskusi mendapati tujuh negara anggota G20 yang berminat, , yaitu Argentina, Brazil, India, Indonesia, Arab Saudi, Turki, dan Afrika Selatan.