Walhi NTB dan SP Mataram saat kunjungan lapangan di Dusun Buwuh, Desa Mambalan, Lombok Barat. |
MANDALIKAPOST.com - Kasus banjir tanpa hujan yang melanda sebagian wilayah di Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat, 17 Juni 2022 silam, semakin menjadi perhatian banyak pihak.
Jajaran Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Barat (NTB) menyatakan tengah membuka investigasi untuk kasus yang diduga berkaitan dengan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Meninting di Lombok Barat.
Direktur Eksekutif Walhi NTB, Amri Nuryadin SH mengatakan, Walhi NTB mulai melakukan investigasi. Hal ini dilakukan setelah Walhi menerima laporan pengaduan dari setidaknya 25 warga masyarakat terdampak di Desa Mambalan, Lombok Barat.
"Kami menerima laporan dari sekitar 25 warga terdampak, dalam kasus banjir tanpa hujan yang terjadi pada 17 Juni lalu. Laporannya kami terima pada 10 November 2022 dan saat ini kami dari Walhi NTB sudah mulai melakukan serangkaian investigasi," kata Amri, Minggu 20 November 2022, di sela kunjungan lapangan di Dusun Buwuh, Desa Mambalan, Lombok Barat.
Direktur Eksekutif Walhi NTB, Amri Nuryadin SH. |
Dalam kunjungan lapangan Walhi NTB bersama jajaran Serikat Perempuan (SP) Mataram ke Dusun Buwuh, sejumlah masyarakat terdampak banjir tanpa hujan menyampaikan beragam keluhan mereka. Termasuk rasa trauma dan kekhawatiran mereka kalau saja kejadian serupa bakal terjadi lagi.
Dusun Buwuh, Desa Mambalan berlokasi di bantaran sungai di lintasan sungai Meninting. Sejumlah warga menuturkan bahwa saat kejadian banjir bandang setinggi 1,5 meter merusak perabotan rumah tangga, dan juga merusak lahan sawah yang saat itu tengah pembibitan.
BACA JUGA : Warga Mambalan Khawatir Banjir Akibat Pendangkalan Sungai Meninting
Amri mengatakan, dari keterangan warga, saat kejadian 17 Juni lalu sama sekali tidak ada hujan. Namun tiba-tiba banjir bandang datang dari luapan sungai meninting. Sehingga dugaan menguat pada kelalaian pembangunan PSN Bendungan Meninting, dimana saat itu sebuah bendung pengalih sementara dikabarkan jebol.
"Banjir yang terjadi menimbulkan banyak dampak yang langsung dirasakan masyarakat, karena ada banjir besar yang diduga disebabkan aktivitas PSN Bendungan Meninting. Kami dari Walhi tidak bisa buru-buru menyimpulkan ini bencana alam, karena memang faktanya saat itu tidak ada hujan," tegas dia.
Amri mengatakan, sebagai organisasi nirlaba yang concern terhadap lingkungan, Walhi wajib menindaklanjuti laporan warga terdampak. Apalagi hal ini berkaitan dengan PSN yang sejatinya merupakan upaya pembangunan yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat.
Menurutnya, saat ini pengumpulan keterangan dari warga terdampak akan terus dilakukan dengan wilayah yang lebih luas. Sebab diduga cukup banyak lokasi lain yang juga terdampak saat kejadian banjir tanpa hujan tersebut.
Walhi juga akan mengumpulkan data dan keterangan terkait proses pembangunan Bendungan Meninting. Termasuk meneliti kembali pola mitigasi kebencanaan dalam proyek nasional itu. Sebab, Walhi menduga mitigasi kebencanaan belum digunakan maksimal dalam PSN Bendungan Meninting.
"Kami menduga konsep mitigasi kebencanaan dari BNPB dan BPPD NTB itu tidak dipakai. Peristiwa banjir tanpa hujan 17 Juni 2022 itu bisa menjadi indikatornya. Kekhawatiran kami, jika ini tidak dikritisi akan terjadi kejadian serupa di kemudian hari. Jangan sampai akibat peristiwa ini masyarakat akan merubah slogan Proyek Strategis Nasional (PSN) menjadi Proyek Sumber Bencana," tukas Amri.
Ia menambahkan, proses investigasi Walhi akan dilakukan sepanjang sepekan ke depan. Kesimpulan investigasi akan dipublikasikan dan menjadi rekomendasi kepada pemerintah Pusat dan Daerah, serta BUMN terkait PSN Bendungan Meninting di Lombok.
"Yang jelas Walhi akan meminta pertanggungjawaban pemerintah, BUMN. Agar bertanggungjawab penuh atas peristiwa banjir tanpa hujan 17 Juni silam. Jangan simpulkan itu sebagai bencana alam," tegas dia.
Amri menegaskan, langkah Walhi ini dilakukan agar pembangunan PSN Bendungan Meninting benar-benar memperhatikan aspek dampak dan mitigasi kebencanaan.
"Sebab masyarakat butuh rasa aman mitigasi. Karena hajat proyek ini kan untuk kesejahteraan masyarakat. Jangan sampai ada masyarakat yang dirugikan," ujarnya.
Banyak Perempuan Turut Terdampak
Sementara itu, Ketua Serikat Perempuan (SP) Mataram, Nurul Utami mengatakan, kejadian banjir tanpa hujan yang terjadi pada 17 Juni 2022 lalu, tidak hanya berdampak di Desa Mambalan. Kasus serupa juga terjadi di Desa Sandik, Kecamatan Batulayar, dan beberapa kawasan lintasan sungai meninting lainnya.
"Di Sandik, itu ada sekitar 30 KK terdampak. Saat itu banjirnya ada yang sampai ke atap rumah," ujar Nurul.
BACA JUGA : Hj Sunaini Sebut Banjir Tanpa Hujan, Air Deras Setinggi Dada Dewasa
Menurut Nurul, SP Mataram berfokus pada para korban perempuan dan anak-anak. Di beberapa lokasi terdampak, SP Mataram mencatat terjadi penurunan kualitas air yang bisa menganggu kesehatan.
Selain itu, para perempuan petani dan buruh tani banyak yang mengalami kerugian karena lahannya rusak dan harus direcovery.
"Jumlah yang kami dampingi saat ini sekitar 60 perempuan. Mereka juga merasakan dampak langsung, karena sumber penghidupan mereka terganggu akibat peristiwa itu," katanya.
Nurul memaparkan, SP Mataram sudah melakukan pendampingan untuk kaum perempuan terkait pembangunan PSN Bendungan Meninting sejak tahun 2020 silam.
Proses pembebasan lahan di lokasi bendungan dinilai menyebabkan banyak perempuan kehilangan mata pencaharian dan sumber penghidupan.
"Misalnya di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, itu banyak pohon aren yang tadinya menjadi sumber bahan baku gula aren dan ijuk sapu, akhirnya dikorbankan. Padahal ini merupakan sumber penghidupan cukup banyak perempuan disana," katanya.
Kejadian banjir tanpa hujan, menurut Nurul menambah panjang daftar kerugian yang dialami kaum perempuan. Terutama di lintasan sungai Meninting.
Hal ini menjadi ironi. Apalagi saat ini Pemprov NTB tengah menggalakkan posyandu keluarga, pemberdayaan perempuan, dan penanganan kasus stunting.
"Kami mengapresiasi Walhi NTB yang juga sudah turut memperhatikan masalah ini. Sebab, para perempuan terdampak ini hanya masyarakat biasa, mereka tak tahu kemana dan bagaimana harus bersuara. Mudah-mudahan dengan advokasi bersama maka suara mereka bisa tersampaikan ke pemerintah," ujar Nurul.