Umat Tri Dharma berdoa di Klenteng Pao Hwa Kong dalam perayaan tahun baru Imlek 2022 lalu. |
MANDALIKAPOST.com - Tahun baru Imlek 2574 Kongzili, jatuh pada hari Minggu 23 Januari 2023. Di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), biasanya umat Tri Dharma, warga keturunan Tionghoa memusatkan perayaan Imlek salah satunya di Klenteng Pao Hwa Kong, yang diyakini merupakan Klenteng tertua di pulau Lombok.
Klenteng Pao Hwa Kong atau sering disebut sebagai Vihara Bodhi Dharma dipercaya sebagai Klenteng tertua di pulau Lombok. Klenteng yang didirikan pada tahun 1884 ini, bahkan dipercaya tertua kedua di Indonesia, setelah Klenteng Banyuwangi, Jawa Timur.
Tak heran, bangunan Klenteng yang terletak di jalan Yos Sudarso ini, juga masuk dalam kawasan wisata Kota Tua Ampenan. Berdekatan dengan pantai Kota Tua Ampenan yang dulunya merupakan pelabuhan laut penghubung
Lombok dengan Bali.
BACA JUGA : Sejarah Imlek dan Liburan Cuti Bersama
Sejak berdiri dahulu, Klenteng ini diyakini merupakan bagian universal dari kerukunan beragama penduduk setempat. Meski Klenteng merupakan tempat beribadah umat Tri Dharma ; Budha, Tao, dan Kong Hu Cu, namun umat lain juga kerab datang, baik yang Muslim, Kristen, maupun Hindu.
Klenteng ini sifatnya Universal, dari agama apa pun bisa datang, asal niat baik dan berdoa demi kebaikan.
Seperti tahun-tahun sebelumnya dalam menyambut tahun baru Imlek, Klenteng ini ramai di malam hari sebelum hari puncaknya. Namun karena puncak acara Imlek kini lebih sering dilakukan secara terpusat di Vihara Avalokitesvara Sweta, maka persembahyangan di Klenteng Pao Hwa Kong dilakukan secara pribadi-pribadi.
Seperti setiap pergantian tahun Imlek, Imlek kali ini juga dimanfaatkan umat Tri Dharma untuk berdoa mengungkap kesyukuran dan juga memohon rejeki dan ketentraman hidup.
Menariknya, Imlek juga menjadi moment untuk berbagi kebahagian bersama warga sekitar, kegiatan sosial, maupun pemberian paket bantuan untuk warga kurang mampu.
Sejarah Klenteng Pao Hwa Kong
Ampenan di Kota Mataram dulunya merupakan pusat perniagaan karena dekat dengan kawasan pesisir dan terdapat pelabuhan yang dibangun pemerintahan kolonial Belanda sejak 1896 lampau.
Klenteng Pao Hwa Kong, Kota Tua Ampenan, Kota Mataram. |
Pelabuhan ini pun menjadi pintu masuk masyarakat dari berbagai suku dan etnis ke Lombok. Sebut saja suku Melayu, Banjar, dan Bugis.
Di Ampenan ini, mereka kemudian membangun perkampungan dengan nama sesuai asal suku atau etnisnya, termasuk etnis Tionghoa. Mereka mendirikan sejumlah bangunan sekaligus tempat berdagang di Pabean hingga menuju Simpang Lima, dikenal juga sebagai kawasan Pecinan.
Tidak sulit mencari kawasan ini di Ampenan. Penandanya adalah sebuah gapura besar warna merah muda bertuliskan "Kota Tua Ampenan" setinggi sekitar tujuh meter dan lebar sepuluh meter tepat di mulut kawasan Pabean.
Di Pabean terdapat sebuah Klenteng dan saksi bisu awal keberadaan etnis Tionghoa di tanah Lombok.
Awalnya Klenteng tersebut adalah rumah seorang warga Tionghoa. Warga yang tidak diketahui namanya itu membuka kediamannya bagi masyarakat Tionghoa lainnya untuk beribadah bersama.
Keberadaan tempat ibadah yang kemudian dinamai Klenteng Pao Hwa Kong itu membuat kawasan Pabean menjadi ramai karena masyarakat Tionghoa ikut membangun tempat tinggal mereka tak jauh dari Klenteng.
Klenteng yang di era Orde Baru dinamai sebagai Vihara Bodhi Dharma itu sejatinya merupakan tempat ibadah bagi umat Buddha, Tao, dan Konghucu (Tri Dharma). Ia juga menjadi Klenteng tertua dan satu-satunya di Lombok.
Klenteng Pao Hwa Kong mempunyai keunikan yaitu adanya patung Dewa Chen Fu Zhen Ren, letaknya di bagian tengah bangunan diapit oleh dua patung pengawal.
Klenteng dengan ciri khas bangunan bercat merah dengan beberapa lampion di bagian depannya itu adalah satu di antara sembilan Klenteng lainyang memiliki patung tadi. Empat Klenteng ada di Situbondo, Besuki, Probolinggo, dan Banyuwangi (Jawa Timur). Empat lainnya di Tabanan, Kuta, Negara, dan Singaraja (Bali).
Dewa Chen Fu Zhen Ren diyakini masyarakat Tionghoa di Lombok ada kaitannya dengan Kelenteng Sam Poo Kong, bekas tempat persinggahan dan pendaratan pertama seorang laksamana asal Tiongkok beragama Islam yang bernama Zheng He atau Cheng Ho di Semarang, Jawa Tengah. Chen Fu Zhen Ren adalah anak buah sang laksamana itu.
Ia adalah arsitek dengan sejumlah kesaktian dan menjadi andalan Laksamana Cheng Ho. Menurut Legenda Watu Dodol, Chen Fu Zhen Ren pernah ikut sayembara pembuatan Taman Ayun oleh Raja Karangasem yang menguasai Bali dan Mataram. Tantangan itu berhasil ia wujudkan dalam tiga hari.
Hal itu juga terdapat di dalam dokumen Melayu yang disimpan di KITLV, Leiden, Belanda. Dokumen tersebut berhasil disalin oleh seorang cucu dari pengurus Klenteng Hoo Tong Bio, Banyuwangi saat ia berada di Buleleng, Bali pada 1880.
Banyak umat yang menanyakan masalah kehidupan maupun pengobatan kepada Chen Fu Zhen Ren. Bagi umat Konghucu keakuratannya dipercaya setara dengan Gongzu atau Kongco dari Klenteng Kwan Sing Bio, Tuban.
Beberapa umat yang mengalami kebaikan Chen Fu Zhen Ren meninggalkan kenang-kenangan berupa tulisan (papan nama atau sepasang papan sajak Dui Lian) atau cenderamata pada Klenteng yang memuja dia. Karena itu maka sebagian menyembahnya sebagai Dewa.
Kendati di kawasan Ampenan ini berdiam bermacam suku dan etnis, mereka tetap hidup rukun berdampingan dan saling menjaga toleransi.
Ini diperkuat oleh pernyataan pengamat budaya asal Lombok, Muhammad Shafwan.
Ia dalam bukunya Ampenan Kota Tua menyebutkan bahwa masyarakat setempat dengan latar budaya berbeda telah membentuk akulturasi dari heterogenitas tadi.
"Etnis Tionghoa mengambil atau membeli barang kepada pedagang Arab. Kemudian mereka memerlukan tenaga pribumi untuk bekerja dan itu digunakan pribumi untuk menyambung hidup. Itu semua membuat antarkomunitas menjadi saling tergantung," tulis Shafwan.
Singgah ke Lombok?, jangan lupa ya berkunjung ke objek-objek wisata sejarahnya seperti di Ampenan dan Kelenteng Pao Hwa Kong yang ikut merawat kebinekaan di Pulau Seribu Masjid ini.