Suasana kawasan camp di Gunung Samvana saat terjadi gempa Lombok. (FOTO : Dok. Farid / Mandalika Post) |
Wartawan Mandalika Post, menukilkan pengalamannya saat gempa pembuka itu terjadi 29 Juli 2018, lima tahun silam.
Farid Al Ahzab
Mandalika Post / Mataram
Mendaki ke puncak Samvana, gunung lebih rendah dari Rinjani lewat Sembalun Lombok Timur memang menantang.
Saya bersama rombongan mulai mendaki gunung Samvana 28 Juli 2018. Semangat rombongan yang kurang lebih 10 orang masih sangat fresh memulai perjalanan lepas magribh.
Kami sangat menikmati perjalanan sembari menikmati indahnya cahaya rembulan. Perjalanan memuncak di Samvana tak se-ekstrim pendakian Rinjani, tapi ini juga membutuhkan stamina dan adrenalin ekstra.
Tidak terasa kami sampai ke tempat camp sekitar pukul 23.30 Wita, hampir tengah malam. Setelah sampai di tempat camp kami membangun tenda dan menikmati makan malam. Setelah itu kami membagi tugas ada yang membangun tenda, cari kayu bakar, dan ada yang buat kopi untuk menghangatkan badan.
Malam tetap indah dengan cahaya bulan. Rombongan yang agak kelelahan mulai beristirahat di tenda masing-masing.
Tak ada yang mengira, malam menuju pagi 29 Juli 2018, perut kerak bumi akan bergerak. Lempengan yang bergeser bakal membawa bencana besar di pulau Lombok ini.
Keindahan sunrise di puncak Sabana baru muncul dengan kecantikannya. 29 Juli 2018 pagi, sambil menikmati kopi, sunrise terasa makin sempurna mendampingi indahnya panorama alam sekeliling gunung.
Terajut rasa lapar, saya kemudian membuat indomie dan mulai menikmatinya. Tapi di suapan kedua, saya mendengar suara gemuruh disusul getaran yang sangat kencang.
Kepanikan tercipta di tengah rombongan, hampir semuanya terpaksa tiarap, benar-benar membumi. Sebab, getaran sangat kencang, jangankan berdiri untuk jongkok saja rasanya mustahil.
Bumi berguncang, Gempa Bumi pembuka yang kemudian kami ketahui bermagnitodo 6.8, benar - benar menggetarkan puncak Samvana.
Dari puncak Samvana, kami bisa menyaksikan sebagian dinding punggung Rinjani yang longsor akibat gempa besar itu.
Semua orang yang ada di gunung waktu itu mulai cemas, setiap rombongan berusaha telpon pihak selter untuk mengkonfirmasi apakah kami boleh turun. Pihak selter itu tidak mengizinkan kami langsung turun katanya akan ada gempa susulan kami tambah cemas.
Tapi sekitar pukul 11.00 Wita saya dan rombongan diskusi dikarenakan logistik sudah habis air juga sudah habis. Kami memutuskan untuk turun waktu itu setelah baca doa kami berangkat turun.
Di Samvana kami sedikit beruntung, trek turun lebih mudah daripada Rinjani. Dalam perjalanan turun kami mendengar suara ambulans yang lalu lalang di Sembalun.
Suasana di Sembalun penuh kepanikan saat itu. Sejumlah bangunan rumah roboh akibat gempa. Ada yang terluka, ada juga korban jiwa.
Tapi alhamdulillah saya dan rombongan masih diberikan keselamatan.
Gempa Bumi Lombok 2018 sudah lima tahun berlalu, semua kenangan dan traumanya terkadang masih terasa. Semoga tak terjadi lagi bencana serupa. (*)