Wisatawan berswafoto di kawasan Danau Gili Meno, Lombok Utara. |
MANDALIKAPOST.com - Keindahan alam dan bahari di Gili Meno, pulau eksotis di perairan Lombok Utara memang tak ada duanya. Rangkaian pulau indah bagian dari Gili Tramena (Trawangan, Meno, dan Air) ini juga sudah menjadi destinasi wisata internasional.
Yang istimewa, Gili Meno memiliki danau air asin dengan vegetasi hutan bakau atau mangrove. Hal yang tak bisa ditemukan di Gili Trawangan dan Gili Air.
Sayangnya, pulau kecil yang ditetapkan sebagai pulau konservasi ini diduga mulai tergerus pembangunan pariwisata yang tak ramah lingkungan.
Sejumlah wisatawan menyampaikan temuan mereka tentangdugaan kerusakan hutan bakau atau mangrove serta penimbunan danau di Gili Meno, Kabupaten Lombok Utara.
"Panoramanya sangat indah di Gili Meno ini, baik di danaunya maupun bahari lautnya. Tapi sayang kelihatan kurang terawat dan juga ada kerusakan mangrove serta kita lihat ada penimbunan danau untuk pembangunan," kata Ahmad Satya Wirawan (35), wisatawan asal Yogyakarta yang berlibur di Gili Meno.
Menurut Wirawan, pemerintah sudah membangun sarana jembatan kayu sepanjang lintasan hutan bakau di danau Gili Meno. Hanya saja, lintasan kayu ini sudah terlihat banyak yang lapuk dan bisa membahayakan wisatawan yang memanfaatkannya.
Tutupan sebaran hutan mangrove di kawasan juga nampak banyak yang mulai gundul.
"Yang lebih mengkhawatirkan, kami melihat ada pekerjaan proyek semacam hotel di tepi danau sisi selatan. Dari bentangannya bisa terlihat kalau lahan yang dipakai itu merupakan reklamasi atau penimbunan Danau," jelasnya.
Wirawan berharap masalah ini menjadi perhatian semua pihak, termasuk pemerintah. Sebab jika dibiarkan, maka upaya konservasi hanya akan menjadi sia-sia semata.
Menyikapi masalah ini, Walhi NTB menekankan, hutan bakau merupakan salah satu jenis ekosistem yang memiliki banyak manfaat bagi kehidupan di bumi. Kerusakan hutan bakau menimbulkan berbagai dampak buruk bagi manusia dan lingkungan. Namun, faktanya banyak hutan bakau yang telah rusak.
"Dampak hutan bakau yang rusak akan menimbulkan terjadinya abrasi pantai. Rusaknya hutan bakau berarti gelombang pasang surut laut dengan mudahnya mengikis pantai dan menyebabkan abrasi. Tanpa adanya hutan bakau, garis pantai akan cepat terkikis dan perlahan menyempit karena abrasi," kata Eksekutif Daerah Walhi NTB, Amri Nuryadin, seperti dikutip dari global hukum Indonesia.
Amri mengatakan, regulasi tentang perlindungan hutan mangrove termaktub dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pulau-Pulau kecil dimana diberikan kewajiban kepada pemerintah daerah untuk memberikan perlindungan salah satunya kawasan mangrove karena memang itu salah satu yang dilindungi ekosistem pesisir dan laut.
Apalagi, sejauh ini data dari Pemda Kabupaten Lombok Utara menyatakan ada 18 titik rawan abrasi disepanjang pantai di Lombok Utara.
"Jadi janganlah ditambah lagi dengan memberikan ijin kepada salah satu perusahaan, tapi tidak mengontrol perusahaan itu yang teritorialnya di wilayah pantai. Apalagi GiliMeno itu wilayah konservasi," tandasnya.
Amri menandaskan, Walhi NTB akan melakukan proses investigasi terhadap temuan wisatawan tersebut.