Cerita Wik-Wik : Tetangga Berkunjung Ketika Suamiku Kerja

MandalikaPost.com
Sabtu, Juni 22, 2024 | 16.18 WIB Last Updated 2024-06-22T12:55:43Z

 

Ilustrasi.


KISAH HIDUP - Waktu tahu yang ngetuk pintu rumahku adalah pak Gun, aku sejujurnya menyesal membukakan pintu. Sebel aja sih kalau ketemu pria setengah baya yang genit itu.


Apalagi saat itu aku sedang sendirian di rumah. Mas Ridwan suamiku sudah berangkat kerja, sedang Dila anakku baru saja kuantarkan sekolah.





Tapi karena pintu sudah terlanjur terbuka, aku terpaksa bermanis muka. Toh sebagai tetangga, aku harus ramah terhadapnya. Lagipula pak Gun ini cukup disegani warga.


"Ada apa toh pak Gun??" tanyaku.


"Gak ada kok Nin, cuma mampir soalnya tak lihat sepeda motormu ada" jawabnya.


"Duh, Nina sibuk mau masak nih pak Gun, gak bisa nemenin ngobrol" ketusku.




Namanya pak Gunarto Wibowo. Usianya sudah 56 tahun, baru setahun ini pensiun dari dinas militer. Sudah setengah baya, tapi pak Gun masih bugar, juga tampan.


Cuma yang bikin aku suka kesel, tingkah pak Gun itu kesannya genit. Suka main mata setiap ketemu aku, kadang kalau ngobrol juga sering menjurus ke hal yang itu.


Bukannya aku nggak mau meladeni tetangga ngobrol. Tapi lama2 aku risih juga, apalagi pak Gun suka datang saat aku sedang sendirian di rumah. Takutnya jadi fitnah dan omongan tetangga lainnya.


Kubilang kalau aku sibuk mau masak, pak Gun malah terkekeh. Lalu berkata : Ya sudah, aku mau jalan-jalan dulu. Nanti kalau kamu beres masaknya, aku mampir lagi ya.


Kebiasaan pak Gun sejak pensiun memang jalan-jalan pagi. Keliling kompleks perumahan kami. Katanya usia boleh tiur tapi kesehatan dan kebugaran harus tetap kayak anak muda.


Kadang aku kasihan juga sama pak Gun, karena bu Gunarto istrinya sudah setahun ini meninggal dunia. Sedang dua anaknya sudah pada nikah dan tinggal di luar daerah.


Sejak bu Gunarto nggak ada, pak Gun memang terlihat sering ngelamun. Makanya, kalau suntuk di rumah, dia memilih jalan-jalan supaya bisa menyapa tetangga, ngobrol agar nggak kesepian.




Pagi itu aku ngerasa bersalah sudah bersikap ketus. Pak Gun nampak kecewa saar berbalik dan mau melangkah pergi. Gak tau kenapa aku jadi gak tega, soalnya aku jadi teringat mendiang ayahku.


"Eh.. gak usah pergi pak Gun. Ya sudah, pak Gun temenin Nina masak saja sambil ngobrol. Mau?" ujarku menawarkan.


Seketika wajah pak Gun sumringah, tersenyum lega lalu mengangguk.


Pak Gun bilang makasih sambil melintas mengikuti langkahku ke dalam. Aku menuju dapur karena mau melanjutkan memasak sayur lodeh dan ikan bumbu kuning sama kerang bumbu manis.


"Biar aku toh yang bantuin kamu membersihkan ikan dan kerangnya, Nina masak aja sayur lodehnya" ujar pak Gun.


"Wah, iya juga ya pak. Iya deh, bantuin Nina ya pak Gun" jawabku.


Lima hari yang lalu pak Gun juga pernah membantuku masak di dapur. Soalnya waktu itu gas komporku mendadak habis dan harus diganti. Sementara aku sendiri nggak berani gantinya.


Karena suami sedang kerja dan nggak ada yang nolongin, aku kemudian manggil pak Gun yang kebetulan jalan jalan dan melintas di depan rumahku. Pak Gun senang bisa membantuku pagi itu.




Hanya saja, saat itu aku kesal dan akhirnya dengan nada ketus pak Gun kusuruh pulang. Soalnya lelaki tinggi besar itu mulai usil dan berani colak colek pada diriku. 


"Dasar lelaki buaya" cetusku dalam hati.


Tapi nggak tahu kenapa, aku itu nggak bisa marah sama pak Gun. Sebenarnya walau sikapnya agak genit dan suka usil, pak Gun ini pria yang humoris dan enak diajak ngobrol dan bisa memberi solusi kalau curhat.


Jujur saja, meski sering kesal namun terkadang aku kangen juga kalau sehari nggak ketemu pak Gun. Makanya setelah lima hari mencoba marah ke dia, kini aku malah merasa nyaman ketika pak Gun menemaniku masak di dapur.


"Sayurnya sdh mateng pak Gun. Nina mau bikin ikan bumbu kuning dan kerang bumbu manis sekarang" kataku. 


Lalu kata pak Gun : ikan sama kerangnya biar pak Gun saja yang masak. "Aku gini2 pinter masak loh".


Dulu sewaktu masih dinas militer, pak Gun pernah menjadi juru masak pasukan tempur. Selain pintar meramu bumbu, cara kerjanya pun sangat rapi dan cepat. Aku sampai terpukau melihatnya memasak.


"Tuh, nggak kalah dengan chef Jono kan aku ini Nin??" ujarnya bangga. 


"Wao, pak Gun kok pinter banget sih" balasku setelah mencicipi masakannya, ikannya seger dan kerangnya sangat sedap sekali.



Aku bahagia karena mas Ridwan swamiku dan Dila anakku yang masih SD tentu akan senang dengan menu makanan hari ini. Terus terang aku belum pernah masak yang citarasanya lezat seperti pak Gun.


Selama masak di dapur tak terasa banyak yang kami obrolin, bahkan dari masalah dapur, sumur, hingga masalah kasur. Pak Gun lucu banget waktu cerita masa indahnya bersama mendiang bu Gun.


Kata pak Gun, dulu itu bu Gun sukanya yang buru2. Soalnya kalau sudah dinas militer pak Gun bisa berbulan bulan nggak pulang.


"Eh begitu pulang, bu Gun langsung menyergap dan menerkam. Sambil masak di dapur juga pernah he he he" ujarnya.


"Ih, pak Gun ada2 saja. Emang bisa sambil masak??" tanyaku sembari tertawa lepas.


"Ya bisa Nin. Namanya juga di ubun2 dan nggak bisa nahan he he he" jawabnya.


 "Kamu harus coba sama swamimu Nin, he he he" sambungnya sambil terkekeh.


"Ih pak Gun ini. Mas Ridwan mana suka yang aneh2 gitu" jawabku.


Selama ini hubunganku dengan mas Ridwan baik2 saja dan cukup harmonis. Walau memang untuk urusan kasur, aku seringkali kecewa.


Di usiaku yang sudah 36 tahun, sebenarnya keinginan dan imajinasiku sedang tinggi2nya. Aku ingin sekali mas Ridwan bisa mengajakku terbang tinggi sampai ke langit. Bukan hanya sekedar melayang rendah di bukit.


Tapi ya gitu. Mas Ridwan usianya baru 40, tapi belakangan suka gagal membawaku terbang melayang seperti itu. Kalau sedang melakukan perjalanan, selalu saja jalan yang konvensional dan membosankan.


Mas Ridwan yang sudah jadi manajer operasional di perusahaannya, juga jarang punya waktu untuk berfantasi lama bersamaku. Bisa bertahan 10 menit saja sudah sangat bersyukur. Bikin aku sebel.


"Waduh. Berarti kamu ini nggak seberuntung bu Gun, Nina. Bu Gun itu sampai suka nyerah kalau aku ajak terbang tinggi he he he" ujar pak Gun. 

"Hmm, tapi itu kan dulu??. Pak Gun kan sekarang sudah tuir.. weekk" kataku.


"Eits.. sapa bilang??. Kata orang aku masih keren kok, gak kalah dengan chef Jono he he" jawab pak Gun, sembari tangannya merapikan rambutnya yang sedikit beruban. "Nina gak percaya ah" sahutku.


Kutatap pak Gun dengan teliti. Wajahnya memang tampan, masih menyisakan kesan ganteng dan tegas. Gak salah kalau orang bilang masa muda pak Gun sangat mirip dengan chef Jono, koki andalan yang juga menjadi idola aku.


Menggunakan kaos ketat, bahu pak Gun nampak kokoh dengan lengan yang membentuk layaknya atlit. Postur pak Gun masih sangat tegap, terlihat berwibawa kalau sedang berjalan dan melangkah.


Saat tatapanku turun ke bawah, aku seketika berdebar. Jantungku berdegup kencang nafasku seperti tercekat. Sesuatu yang sangat menggelembung membentur penglihatanku. "Pak Gun emang super" bathinku.


"Waduh, jangan diliatin terus Nin. Ntar kebawa mimpi loh?" celetuk pak Gun sembari merapikan cln training biru yang dikenakannya. Aku jadi gelagapan kepergok sedang terpukau menatap depan cln trainingnya pak Gun.


Segera kualihkan pandangan, lalu berkata, "Oh ya pak Gun, sudah beres masaknya, Nina mau beres beres rumah dulu nih" kataku. Maksudku agar pak Gun pamit pulang. Tapi pak Gun malah menjawab, "Aku bantuin juga ya Nin??" ujarnya.


Ya udah, aku kan nggak enak mau nolak atau minta pak Gun untuk pulang. Takutnya nanti dikira mengusir. Jadi pagi itu pak Gun bukan hanya nemenin aku masak, tapi juga sampai nemenin bersih2 dan beberes rumah.


Hubungan kami sebagai tetangga semakin dekat dan akrab. Mas Ridwan swamiku juga nganggap pak Gun sudah seperti saudara. Dan Dila anak kami memanggil pak Gun dengan sebutan pakde Gun, juga sangat akrab dengannya.


Di rumahnya yang tepat di samping kanan rumahku, pak Gun tinggal seorang diri sejak bu Gun meninggoi setahun yang lalu. Paling cuma sama mbok Sari, ART yang membantunya. Tapi mbok Sari hanya kerja pagi sampai sore, terus pulang.


Sejak pak Gun sering datang dan menemaniku di saat suami kerja dan Dila sekolah, makin lama aku jadi mikirin pak Gun. Rasa kesal sepertinya mulai terganti dengan rasa nyaman yang sulit kulukiskan.


Tadinya aku suka ngomelin kalau oak Vun usil colak colek lengan dan pinggangku. Aku juga ngomelin kalau dia genit bermain mata padaku. Namun ketika pak Gun tidak lagi usil, justru aku yang rindu dengan keusilannya itu.


Pak Gun tetanggaku seperti sudah mengisi hati dan alam pikiranku. Apalagi, aku mulai merasakan ada yang aneh dalam diriku. Setiap kali memberikan kewajibanku pada mas Ridwan swamiku, aku malah sering berhayal sedang bersama pak Gun.


Hingga suatu saat, apa yang kupikirkan da kuhayalkan akhirnya terwujud menjadi sebuah kenyataan dalam hidupku. Pak Gun benar2 membawaku terbang tinggi menembus awan dan meraih puncak itu bersamanya.


Seperti yang sudah2, pagi itu pak Gun mampir setelah jalan2 pagi. Aku langsung memintanya membantu masak di dapur. Namun baru saja melangkah masuk rumah, pak Gun seketika menutup dan mengunci pintu rumahku.


"Lho kok ditutup pak Gun??" ujarku terkejut.

Pak Gun nggak menjawab, malah menatapku dengan senyuman manis dan melangkah semakin dekat. 


"Di tutup saja Nin, biar kita lebih rileks pagi ini" bisiknya, seraya merapatkan dirinya padaku.


Aku hendak menepis saat tangannya menggengam tanganku, tapi tenaga pak Gun sangat kuat. Dadaku serasa bergemuruh saat itu. Aku bingung harus bagaimana??. Berhadapan dekat dengan pria mirip chef Jono di depanku.


Untungnya pagi itu aku sudah mandi dan berdandab rapi. Kalau nggak kan bisa malu banget kalau sampai aku beraroma kecut bau ketek he he he. Pakeyanku juga wangi parfum walau cuma daster rumahan biasa.


"Tanganmu kok dingin Nin??, kamu deg degan ya??" ucapnya lirih. "Ih pak Gun, mau ngapain sih??, Nina malu ditatap seperti itu" kataku seraya menjatuhkan wajah. Tapi mataku jadi melebar melihat yang kutatap.


Pak Gun seperti bisa menebak apa yang kupikirkan. Dia nampak mengetahui kalau aku seringkali menghayalkan hal itu darinya. Pikiranku seketika gelap ketika pak Gun mengangkat daguku, lalu mendekatkan wajahnya.


Aku tak bisa menolak. Bukan melepas genggaman pak Gun, kini tanganku malah sudah melingkar di bahunya. Hanya bisa terpejam dengan perasaan campur aduk saat kuterima tanda kasih sayang pak Gun di bibirku. 


Anganku seketika melambung, aku merasa melayang, hingga akhirnya kusadari sudah terjerembab di atas pembaringanku. Masih ku dengar suara langkah pak Gun menutup dan mengunci pintu kamarku, lalu kembali menghampiriku.


Aku heran. Pak Gun seperti paham apa yang sedang kubutuhkan. Semalam aku dan mas Ridwan swamiku memang sudah menunaikan kewajiban. Namun seperti biasa, aku masih menanggung kecewanya.


Kini pak Gun bertindak bagai sang hero yang membantu bathinku yang kecewa. Dia mulai membuat aku gelisah tak tenang, gusar bergerak ke sana kemari. Pak Gun menghujaniku dengan ciuman mautnya.


Aku tak sadar kapan tepatnya lembar demi lembar itu luruh dan tercecer di lantai. Yang kuhayati hanya keindahan yang sulit untuk kugambarkan, ketika pak Gun sudah mulai berhasil mengajakku masuk dalam imajinasiku sendiri.


Seperti layaknya ikan bumbu kuning, pak Gun membolak balikku dengan penuh kepiawaian. Chef Jono KW itu, juga mencicipi menu kerang yang kusajikan. Pak Gun tak hanya terampil masak di dapur, tapi juga sangat lihai di kasur.


Tak bisa kuingat berapa lama dan berapa kali aku terbang menggapai impian. Yang jelas aku merasa lelah dan akhirnya tersungkur dengan degup jantung tak beraturan. Nafasku ngos-ngosan, diselimuti perasaan plong dan kelegaan.


"Gmana Nin?? Capek ya habis kuajak jalan2?" bisik pak Gun. 

"Au' ah gelap pak Gun" jawabku. 

"Kamu marah ya??". 

"Iya lah. Kan Nina jadi harus keramas lagi, huh".

Kami seperti bertengkar, gontok2an. Namun kali ini aku penuh dgn kemanjaan.


Gara2 pak Gun, aku jadi telat masak dan bersih2 rumah. Aku lalu bergegas menyelesaikan tugasku, karena ingat kalau sebentar lagi aku harus menjemput Dila di sekolahnya. Apalagi sudah hampir jam 12 siang ketika itu.


Pak Gun pamit pulang. Tak lupa dia mengecupku sekali lagi. "Makasih ya sayang?" ucapnya sebelum berlalu. Entah kenapa hari itu aku merasa bahagia, hatiku bagaikan berbunga-bunga jadinya.







Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Cerita Wik-Wik : Tetangga Berkunjung Ketika Suamiku Kerja

Trending Now