Tsunami Politik di Pilkada NTB

L. Guruh Virgiawan D. K
Selasa, Agustus 20, 2024 | 03.42 WIB Last Updated 2024-08-19T19:53:06Z
                      Penulis: Lalu Muammar Qadafi

Setelah magrib, seorang teman dengan terburu-buru memperlihatkan tulisan di kolom sorotan Instagram yang katanya milik seorang politisi. Ia mencoba memantik saya untuk merespon tulisan tersebut. Sebenarnya, saya merasa sedikit malas meresponya, sebab tulisan semacam itu biasa ditulis seorang politisi saat menjadi tim pemenangan dari salah satu Paslon (Pasang Calon). Tetapi, setelah menilik puluhan paragraf yang tersaji, terdapat satu kutipan yang menurut saya cukup menarik. Dalam tulisan tersebut, penulis menjelaskan bahwa ia mengutip kalimat hasil obrolan bersama temannya, “hanya tsunami politik yang mampu mengalahkan pasangan ini (Zul-Uhel).” Begitulah kiranya kutipan itu ditulis.

Membongkar Makna Kebahasaan
Sebelumnya, harus saya jelaskan alasan mengatakan, "tulisan semacam itu biasa ditulis seorang politisi saat menjadi tim pemenangan dari salah satu Paslon (Pasang Calon)." Sebab, ketika tulisan tersebut dikaji dengan kajian Pragmatik dalam ilmu Linguistik maka akan ditemukam praanggapaan/presuposisi pada salah satu paragraf dalam tulisan tersebut, yakni pada kalimat, "Sejujur apapun saya menulis cerita ini, tetaplah akan banyak juga yang mengira saya menyembunyikan banyak hal. Sebabnya tak lain karena saya dianggapnya pasti memihak ke Bang Zul." Praanggapan merupakan pembahasan tentang referensi yang lalu, terdapat gagasan yang menarik bahwa penutur menganggap informasi tertentu sudah diketahui pendengarnya (Pragmatik, George Yule). Berdasarkan pengertian itu, dapat kita simpulkan bahwa penulis ingin menghalang pembaca beranggapan ia mendukung salah satu paslon. Hal tersebut tersirat dalam penggalan kalimat, "Saya dianggapnya pasti memihak ke Bang Zul." Kalimat tersebut menunjukkan usaha penulis menilai tanggapan pembaca lebih awal sebelum pembaca membaca tulisannya lebih lanjut. Oleh sebab itu, saya akan menggunakan kajian pragmatik untuk membedah makna tulisan tersebut karena dalam kajian Pragmatik yang akan dianalisis adalah makna kalimat dan penuturnya.

Mendukung analisa di atas, terdapat banyak kalimat yang menunjukkan bahwa penulis tersebut tidaklah menulis dengan subjektif. Sebelum membahas beberapa hasil analisa, saya menyarankan untuk membaca tulisan penulis tersebut di sorotan akun Instagram @diansandiutama dengan judul Panggung Belakang.

Kalimat pertama, yakni "Ada kelompok yang paling sering menyerang bang zul tapi menggunakan nama orang lain."
Penulis mengungkapkan kalimat di atas dengan maksud mendoktrin pembaca mengenai perpisahan Bang Zul dengan Umi Rohmi bukan karena Bang Zul, tetapi disebabkan oleh kelompok tertentu.

"Miq gite dijanjikan akan menjadi Wakil Calon Gubernur (salah satu calon) dengan catatan beliau harus menyerang Bang Zul."

Kalimat di atas dapat dimaknai dengan Penulis yang bermaksud mengajak pembaca untuk melihat kondisi Bang Zul seakan-akan memilki kekuatan yang besar, sehingga Bang Zul Banyak dijegal.

Sebenarnya terdapat banyak kalimat dalam tulisan tersebut yang dapat dijadikan data dalam pemaknaan kebahasaan. Sayangnya tulisan ini berbentuk opini. Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya bahwa pragmatik juga menganalisa penutur/penulis. Pada realitasnya, penulis tersebut merupakan salah seorang tim pemenangan paslon Zul-Uhel. Saya telah menganalisa tulisan tersebut secara kebahasaan untuk membantu pembaca memaknai maksud sebenarnya dari penulis yang dapat kita lihat berbeda dari penyampaian pada kalimat dalam tulisannya.

Siapa di Balik Tsunami Politik?
Saya tidak akan menjawab dengan menyebutkan nama paslon, melainkan saya akan mengajak pembaca melihat kondisi lapangan Pilkada 2024.

Umi Rohmi memiliki basis yang cukup besar, yaitu NWDI. Sayangnya, hasil survei untuk Umi Rohmi tidak pernah berada di posisi teratas, entah survei dari OMI maupun LSI. Tampaknya, kekuatan Umi Rohmi tidak begitu kuat sebagai Cagub. Kondisi berbeda dapat kita lihat ketika Ia diusung sebagai Cawagub di tahun 2018 yang Dimana bersanding dengan Bang Zul sebagai Cagub. Dapat dikatakan bahwa Umi Rohmi dengan jamaah NWDI yang telah membawa Bang Zul ke singgasana tinggi Bumi Gogo Rancah. Melihat kondisi waktu itu, Bang Zul memiliki suara elektoral rendah. Saya tidak akan menerangkan penyebabnya di sini, silahkan baca di tulisan opini sebelumnya, diterbitkan melalui web mandalikapost dengan judul Menilik Serba-Serbi Pilkada NTB 2024.

Lembaga Survei Indonesia (LSI), menerbitkan dalam simulasi tiga nama, Miq Iqbal meraup elektabilitas 22,4 persen. Ia unggul dari Zulkieflimansyah yang meraih 21,5 persen dan Siti Rohmi Djalilah 21 persen. Sementara responden yang memilih tidak tahu/tidak jawab sebesar 35 persen, sumber CNN Indonesia.

Tanggal 11-17 Mei dari hasil survei LSI yang dilansir detikbali.com, Bang Zul menjadi Cagub dengan elektabilitas tertinggi. Di bulan Agustus ini disalip oleh Miq Iqbal. Tentu saja Hasil survei tersebut mengejutkan bagi para lawan tarungnya. Cagub dengan jargon representatif anak muda ini benar-benar mampu menarik perhatian pemilih muda yang Dimana mereka memiliki suara mayoritas dalam pemilihan tahun2024 ini.

Tampaknya, ilmu seorang diplomat telah dipraktekkan dalam perpolitikan di Pilkada NTB kali ini. Faktanya, seluruh partai besar dapat Miq Iqbal negosiasikan untuk merekomendasikan dirinya. Presiden terpilih, Prabowo Subianto, mampu Ia luluhkan. Akhirnya, seluruh partai pengusung Prabowo berlabuh ke Miq Iqbal. Tidak hanya itu, relawan Projo yang menjadi ring utama dari pemenangan Jokowi dan Prabowo juga siap bertarung untuk Miq Iqbal. Kini, terlihat banyak tokoh elit politik dan agama mendeklarasikan dukungan ke Miq Iqbal. Setelah segaris perjuangan dengan Pathul Bahri sebagai calon bupati Loteng yang digadang-gadang akan sama-sama memborong suara Lombok Tengah, terlihat juga minggu ini Ali BD mantan Bupati Lombok Timur dua periode, ikut dalam perjuangan mendukung Miq Iqbal. Bahkan tokoh politik nasional, Fahri Hamzah yang sama-sama berasal dari pulau sumbawa dengan Bang Zul menjadi tokoh yang terus mempopulerkan nama Miq Iqbal. Tidak tanggung-tanggung, pasukan DPW Partai Gelora NTB dikerahkan bertarung untuk Miq Iqbal.

Terkejutnya, Tribunnews menerbitkan lirisan bahwa TGH Fadli Fadil Tohir (Tuan Guru Bodak) pengurus Yatofa yang merupakan keluarga dari Abah Uhel, Cawagub dari Bang Zul malah memberi dukungan untuk Miq Iqbal. Hal tersebut menjadi tanda warning mengingat Yatofa merupakan basis terbesar Abah Uhel. Setelah deklarasi Pimpinan Yatofa tersebut, Bang Zul dan Abah Uhel langsung membuat acara dukungan Alumni Pondok Pesantren untuk pasangan Zul-Uhel. Artinya gerakan Miq Iqbal membuat Zul-Uhel kepanasan dan kocar-kacir. Ketangguhan negosiasi Miq Iqbal begitu menakjubkan melihat Ia bukanlah seorang politisi tulen. Pantas saja akhirnya Prabowo jatuh hati padanya, berharap kekuatan negosiasi dapat membawa daerah NTB makmur mendunia, seperti jargonnya. Bukan tidak mungkin, bisa saja kekuatan negosiasi itu dapat membawa investor luar ke NTB. Tidak mengandalkan APBD dengan mencoba membuat program kelas internasional, namun malah meninggalkan hutang besar.

Berkaca dari Pilpres kemarin, kekuatan seorang Jokowi sebagai Presiden mampu membawa kemenangan bagi Prabowo, apalagi hanya sekedar daerah, mengingat NTB merupakan salah satu basis kemenangan Prabowo. Namun, tidak habis pikir, Miq Iqbal tampaknya tidak merasa cukup dengan dukungan dari Presiden terpilih, tokoh-tokoh daerah seperti nama-nama di atas dilibas habis.

Saya tidak menyebutkan bahwa Miq Iqbal merepresentasikan tsunami politik. Itu urusan para pembaca memaknai hal tersebut seperti apa. Namun, kondisi politik yang menjawab siapa orangnya.



Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Tsunami Politik di Pilkada NTB

Trending Now