CATATAN PENTING KEPADA MASYARAKAT NTB DALAM MENYIKAPI MASA KAMPANYE PILKADA 2024

L. Guruh Virgiawan D. K
Senin, September 02, 2024 | 12.45 WIB Last Updated 2024-09-02T04:45:41Z

             PENULIS: LEDANG SURYA PUTRA

 

Dalam momentum kontestasi politik, pendekatan pragmatis dan taktis rawan digunakan menjadi strategi utama bagi banyak calon untuk memenangkan dukungan pemilih. Pragmatisme di sini merujuk pada tindakan para calon yang fokus pada hasil akhir (kemenangan) dengan menggunakan segala cara yang efektif, meskipun mungkin tidak selalu beretika atau berbasis prinsip. Strategi ini sering melibatkan belanja politik besar-besaran, janji-janji populis, dan penggunaan sumber daya secara maksimal untuk mendapatkan suara, tanpa memikirkan keberlanjutan kebijakan atau kesejahteraan jangka panjang bagi masyarakat.

 

Analisis Pragmatisme dalam Kampanye Politik

 

Pendekatan pragmatis ini cenderung mengabaikan ideologi partai atau visi jangka panjang demi keuntungan jangka pendek yang bersifat elektoral. Tujuan paling penting adalah memperoleh suara, perihal bagaimana kejelasan konsep dan rencana program untuk memajukan daerah adalah urusan belakang. Bahkan setelah menang, janji-janji yang ditanam itu tidak dirawat hingga tumbuh dan mekar dengan biak dan bijak.

 

Belanja politik besar-besaran. Ini adalah bentuk pragmatisme politik yang masih mengakar dengan kuat. Dalam hal ini calon akan mengeluarkan dana besar untuk kampanye, termasuk dalam bentuk iklan, kegiatan sosial, dan tidak menutup kemungkinan "serangan fajar" (pembagian uang kepada pemilih). Ini strategi ampuh untuk menarik simpati pemilih meski sering kali tidak berkelanjutan dan berdampak pada kerusakan tatanan demokrasi. Pemilih mungkin hanya mendapatkan manfaat sesaat, sementara kebijakan publik yang dihasilkan bisa kurang fokus pada peningkatan kualitas hidup masyarakat.

 

Janji-janji populis juga kerap digunakan para calon. Mereka akan memberikan janji yang terlampau ambisius atau populis untuk menarik massa. Namun, janji-janji ini tidak selalu realistis atau didasarkan pada analisis mendalam tentang apa yang dibutuhkan dan apa yang dapat dilakukan di daerah tempat kursi yang ingin diduduki. Sekadar analogi, masyarakat butuh obat sakit perut karena telat makan, tetapi para calon tidak jarang menawarkan obat sakit kepala dalam janji-janji kampanyenya.

 

Tidak hanya itu, pendekatan taktis terhadap pemilih juga sering dilakukan para calon. Mereka akan menggunakan data dan analisis perilaku pemilih untuk menargetkan kelompok-kelompok tertentu yang dianggap lebih mudah dipengaruhi. Biasanya mereka mungkin fokus pada pemilih di daerah-daerah yang secara historis kurang mendapat perhatian dengan harapan dapat mengamankan suara dengan "serangan" pendekatan langsung dan program jangka pendek yang menarik perhatian. Atau hal ini juga sering dilakukan dengan mengikuti tren atau gaya hidup pemilih mayoritas, sebut saja pemilih muda yang basisnya adalah Gen Z.

 

Apa Dampaknya?

 

Pendekatan pragmatis yang kerap dipraktikkan para calon ini adalah parasit bagi demokrasi. Dampaknya mungkin tidak terlihat untuk sementara, namun ini akan menjadi manifestasi dari pepatah "sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit". Beberapa dampak yang saya maksud, saya coba uraikan dengan lebih sederhana dan semoga mudah dipahami.

 

Pertama, degradasi kualitas demokrasi. Ini terjadi ketika politik didorong oleh pragmatisme, menyebabkan demokrasi bisa terancam karena keputusan yang diambil lebih banyak didasarkan pada strategi elektoral daripada nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi. Pemilih mungkin lebih mudah terpengaruh oleh janji-janji yang bersifat sementara dan kampanye yang intensif, daripada menilai calon berdasarkan visi dan misi jangka panjang yang mereka tawarkan. Salah satu bentuk kasus yang demikian kuat saat ini adalah politik uang atau "serangan fajar". Ini sudah mengakar cukup kuat hingga membuat masyarakat tidak lagi fokus pada konsep dan gagasan yang ditawarkan calon, melainkan pada berapa banyak uang yang dapat calon berikan.

 

Kedua, ketidakstabilan kebijakan. Pragmatisme politik cenderung menghasilkan kebijakan yang tidak stabil karena dibuat untuk memenuhi kebutuhan politik jangka pendek. Setelah kontestasi, banyak janji berhamburan seperti debu di atas tanah yang tidak terealisasi. Atau program-program yang diusulkan tidak dilaksanakan dengan baik, yang menyebabkan ketidakpuasan dan menurunnya kepercayaan publik terhadap pemimpin terpilih. Ini akan menjadi batu sandungan bagi kesejahteraan daerah sebab ketidakselarasan gerakan antara pemerintah dan masyarakat. Setiap kebijakan mungkin tidak akan menuai respon positif dari masyarakat hingga kemudian berdampak pada tidak maksimalnya kebijakan oleh karena kurang dukungan. Pada ujungnya, anggaran besar yang dkeluarkan untuk menunjang kebijakan itu akan mengalir sia-sia tanpa hasil yang maksimal.

 

Dampak lainnya yang belum saya uraikan, silahkan tambahkan sendiri dalam benak masing-masing kita. Mari renungkan dengan bijak dan bajik tentang bagaimana seharusnya kita sebagai masyarakat yang memiliki hak pilih dalam menyikapi masa kontestasi ini. Pilkada NTB 2024 ini, mari sama-sama kita kawal dengan kritis. Pragmatisme ini mungkin akan terlihat dalam strategi kampanye beberapa calon utama.

 

Pesan Kepada Masyarakat NTB.

 

Terakhir, saya ingin sampaikan beberapa hal kepada para pemilih di kontestasi Pilkada 2024 ini. Saya akan menyampaikannya dengan lebih interaktif dengan sedikit racikan kekecewaan dari kontestasi-kontestasi yang telah.

 

Jangan menelan mentah gagasan kampanye normatif dari para calon! Saat kampanye, tidak hanya janji-janji, para calon juga kerap melontarkan gagasan normatif entah itu tentang pembangunan, pendidikan, manajemen, dan lain-lain.

 

Mungkin ungkapan mereka akan terdengar kurang lebih begini: "Kami akan memperbaiki manajemen atau pengelolaan anggaran yang masih kurang maksimal. Nantinya kami akan merekonstruksi dan memperbaiki hal-hal yang masih belum optimal difungsikan. Dan bla bla blaa".

 

Yap, itu normatif! Untuk sekadar berkata demikian, anak-anak sekolah dasar juga bisa. Jika mereka mengatakan akan memperbaiki pengelolaan atau manajemen anggaran, pertanyakan strategi atau cara bagaimana mereka akan melakukan itu. Jika mereka mengatakan akan memperbaiki hal-hal yang belum optimal difungsikan, tanyakan apa saja hal-hal itu dan bagaimana rencana strategis mereka dalam melaksanakannya.

 

Selain itu, perlu juga untuk sesuaikan gagasan dan jawaban itu dengan rekam jejak mereka di masa lalu sebagai seorang pejabat publik. Lihat persentase kesesuaiannya. Ini penting untuk melihat siapa yang sekadar pandai berbicara dan berjanji, dan siapa yang pandai bekerja. Dengan demikian, kredibilitas mereka dapat dipertimbangkan sebagai acuan dalam menautkan pilihan.

 

Tetap kritis dan selektif dalam menentukan pilihan. Karena lima tahun itu bukan waktu yang sebentar untuk menderita jika calon yang terpilih hanya pandai mengobral janji dan jual beli suara.

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • CATATAN PENTING KEPADA MASYARAKAT NTB DALAM MENYIKAPI MASA KAMPANYE PILKADA 2024

Trending Now