PENULIS: LEDANG SURYA PUTRA
Dalam momentum kontestasi politik,
pendekatan pragmatis dan taktis rawan digunakan menjadi strategi utama bagi
banyak calon untuk memenangkan dukungan pemilih. Pragmatisme di sini merujuk pada
tindakan para calon yang fokus pada hasil akhir (kemenangan) dengan menggunakan
segala cara yang efektif, meskipun mungkin tidak selalu beretika atau berbasis
prinsip. Strategi ini sering melibatkan belanja politik besar-besaran,
janji-janji populis, dan penggunaan sumber daya secara maksimal untuk
mendapatkan suara, tanpa memikirkan keberlanjutan kebijakan atau kesejahteraan
jangka panjang bagi masyarakat.
Analisis Pragmatisme dalam Kampanye
Politik
Pendekatan pragmatis ini cenderung
mengabaikan ideologi partai atau visi jangka panjang demi keuntungan jangka
pendek yang bersifat elektoral. Tujuan paling penting adalah memperoleh suara,
perihal bagaimana kejelasan konsep dan rencana program untuk memajukan daerah
adalah urusan belakang. Bahkan setelah menang, janji-janji yang ditanam itu
tidak dirawat hingga tumbuh dan mekar dengan biak dan bijak.
Belanja politik besar-besaran. Ini adalah
bentuk pragmatisme politik yang masih mengakar dengan kuat. Dalam hal ini calon
akan mengeluarkan dana besar untuk kampanye, termasuk dalam bentuk iklan,
kegiatan sosial, dan tidak menutup kemungkinan "serangan fajar"
(pembagian uang kepada pemilih). Ini strategi ampuh untuk menarik simpati
pemilih meski sering kali tidak berkelanjutan dan berdampak pada kerusakan
tatanan demokrasi. Pemilih mungkin hanya mendapatkan manfaat sesaat, sementara
kebijakan publik yang dihasilkan bisa kurang fokus pada peningkatan kualitas
hidup masyarakat.
Janji-janji populis juga kerap digunakan para
calon. Mereka akan memberikan janji yang terlampau ambisius atau populis untuk
menarik massa. Namun, janji-janji ini tidak selalu realistis atau didasarkan
pada analisis mendalam tentang apa yang dibutuhkan dan apa yang dapat dilakukan
di daerah tempat kursi yang ingin diduduki. Sekadar analogi, masyarakat butuh
obat sakit perut karena telat makan, tetapi para calon tidak jarang menawarkan
obat sakit kepala dalam janji-janji kampanyenya.
Tidak hanya itu, pendekatan taktis terhadap
pemilih juga sering dilakukan para calon. Mereka akan menggunakan data dan
analisis perilaku pemilih untuk menargetkan kelompok-kelompok tertentu yang
dianggap lebih mudah dipengaruhi. Biasanya mereka mungkin fokus pada pemilih di
daerah-daerah yang secara historis kurang mendapat perhatian dengan harapan
dapat mengamankan suara dengan "serangan" pendekatan langsung dan
program jangka pendek yang menarik perhatian. Atau hal ini juga sering
dilakukan dengan mengikuti tren atau gaya hidup pemilih mayoritas, sebut saja
pemilih muda yang basisnya adalah Gen Z.
Apa Dampaknya?
Pendekatan pragmatis yang kerap
dipraktikkan para calon ini adalah parasit bagi demokrasi. Dampaknya mungkin
tidak terlihat untuk sementara, namun ini akan menjadi manifestasi dari pepatah
"sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit". Beberapa dampak yang
saya maksud, saya coba uraikan dengan lebih sederhana dan semoga mudah
dipahami.
Pertama, degradasi kualitas demokrasi. Ini
terjadi ketika politik didorong oleh pragmatisme, menyebabkan demokrasi bisa
terancam karena keputusan yang diambil lebih banyak didasarkan pada strategi
elektoral daripada nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi. Pemilih mungkin
lebih mudah terpengaruh oleh janji-janji yang bersifat sementara dan kampanye
yang intensif, daripada menilai calon berdasarkan visi dan misi jangka panjang
yang mereka tawarkan. Salah satu bentuk kasus yang demikian kuat saat ini
adalah politik uang atau "serangan fajar". Ini sudah mengakar cukup
kuat hingga membuat masyarakat tidak lagi fokus pada konsep dan gagasan yang
ditawarkan calon, melainkan pada berapa banyak uang yang dapat calon berikan.
Kedua, ketidakstabilan kebijakan.
Pragmatisme politik cenderung menghasilkan kebijakan yang tidak stabil karena
dibuat untuk memenuhi kebutuhan politik jangka pendek. Setelah kontestasi,
banyak janji berhamburan seperti debu di atas tanah yang tidak terealisasi.
Atau program-program yang diusulkan tidak dilaksanakan dengan baik, yang
menyebabkan ketidakpuasan dan menurunnya kepercayaan publik terhadap pemimpin
terpilih. Ini akan menjadi batu sandungan bagi kesejahteraan daerah sebab
ketidakselarasan gerakan antara pemerintah dan masyarakat. Setiap kebijakan
mungkin tidak akan menuai respon positif dari masyarakat hingga kemudian
berdampak pada tidak maksimalnya kebijakan oleh karena kurang dukungan. Pada
ujungnya, anggaran besar yang dkeluarkan untuk menunjang kebijakan itu akan
mengalir sia-sia tanpa hasil yang maksimal.
Dampak lainnya yang belum saya uraikan,
silahkan tambahkan sendiri dalam benak masing-masing kita. Mari renungkan
dengan bijak dan bajik tentang bagaimana seharusnya kita sebagai masyarakat
yang memiliki hak pilih dalam menyikapi masa kontestasi ini. Pilkada NTB 2024
ini, mari sama-sama kita kawal dengan kritis. Pragmatisme ini mungkin akan
terlihat dalam strategi kampanye beberapa calon utama.
Pesan Kepada Masyarakat NTB.
Terakhir, saya ingin sampaikan beberapa hal
kepada para pemilih di kontestasi Pilkada 2024 ini. Saya akan menyampaikannya
dengan lebih interaktif dengan sedikit racikan kekecewaan dari
kontestasi-kontestasi yang telah.
Jangan menelan mentah gagasan kampanye
normatif dari para calon! Saat kampanye, tidak hanya janji-janji, para calon
juga kerap melontarkan gagasan normatif entah itu tentang pembangunan,
pendidikan, manajemen, dan lain-lain.
Mungkin ungkapan mereka akan terdengar
kurang lebih begini: "Kami akan memperbaiki manajemen atau pengelolaan
anggaran yang masih kurang maksimal. Nantinya kami akan merekonstruksi dan
memperbaiki hal-hal yang masih belum optimal difungsikan. Dan bla bla blaa".
Yap, itu normatif! Untuk sekadar berkata
demikian, anak-anak sekolah dasar juga bisa. Jika mereka mengatakan akan
memperbaiki pengelolaan atau manajemen anggaran, pertanyakan strategi atau cara
bagaimana mereka akan melakukan itu. Jika mereka mengatakan akan memperbaiki
hal-hal yang belum optimal difungsikan, tanyakan apa saja hal-hal itu dan
bagaimana rencana strategis mereka dalam melaksanakannya.
Selain itu, perlu juga untuk sesuaikan
gagasan dan jawaban itu dengan rekam jejak mereka di masa lalu sebagai seorang
pejabat publik. Lihat persentase kesesuaiannya. Ini penting untuk melihat siapa
yang sekadar pandai berbicara dan berjanji, dan siapa yang pandai bekerja.
Dengan demikian, kredibilitas mereka dapat dipertimbangkan sebagai acuan dalam
menautkan pilihan.
Tetap kritis dan selektif dalam menentukan
pilihan. Karena lima tahun itu bukan waktu yang sebentar untuk menderita jika
calon yang terpilih hanya pandai mengobral janji dan jual beli suara.