Ketua Umum Serikat Nelayan Independen (SNI), Hasan Gauk. (foto: Istimewa/MP). |
MANDALIKAPOST.com – Ketua Umum Serikat Nelayan Independen (SNI), Hasan Gauk, menyuarakan keprihatinannya terhadap praktik tidak sehat yang dilakukan oleh perusahaan Joint Venture (JV) dalam pengelolaan Benih Bening Lobster (BBL) di bawah mekanisme Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 7 Tahun 2024.
Dalam keterangannya
pada Rabu (4/9/2024), Hasan menegaskan bahwa meskipun Permen tersebut lebih
baik dibandingkan regulasi sebelumnya, namun ada beberapa permasalahan serius
yang harus segera dibenahi, baik oleh Badan Layanan Umum (BLU) Situbondo maupun
perusahaan Joint Venture.
Hasan Gauk
meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera melakukan audit
terhadap perusahaan-perusahaan Joint Venture yang ditunjuk sebagai pelaku
ekspor dan budidaya BBL, baik di dalam maupun di luar negeri.
Menurutnya,
ada praktik monopoli yang dilakukan oleh pihak-pihak oligarki yang bernaung di
bawah JV tersebut, yang sangat merugikan nelayan serta negara.
“Saya
mendesak KPK dan Kejaksaan Agung untuk segera memeriksa semua perusahaan Joint
Venture yang telah ditunjuk, mengingat jumlah kuota Benih Bening Lobster yang
mencapai 493 juta ekor. Berapa persen dari itu yang sudah disetorkan ke negara
melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)?" tegas Hasan Gauk.
Ia juga
mengingatkan bahwa kebocoran dalam pengelolaan BBL benar-benar terjadi, seperti
yang sering disampaikan oleh Prabowo Subianto.
"Sudah
ada kerugian negara hingga ratusan triliun akibat mafia black market yang masih
beroperasi sampai sekarang," katanya.
Hasan Gauk
juga mengkritisi beberapa kejanggalan di lapangan, seperti JV yang langsung
membeli BBL dari nelayan, padahal dalam aturan Permen 7/2024, koperasi
seharusnya menjadi penghubung antara nelayan dan BLU. JV, menurut Hasan,
seharusnya membeli langsung dari BLU, bukan dari nelayan.
“Masalah
lainnya adalah harga yang ditetapkan oleh BLU bervariasi di berbagai daerah,
yang membuka celah bagi munculnya pemain black market baru.
“Keseragaman
harga nasional harus segera diterapkan agar regulasi berjalan dengan baik dan
negara mendapatkan keuntungan maksimal dari sumber daya laut ini,” lanjutnya.
Hasan
menekankan bahwa Permen 7/2024 seharusnya tidak dijadikan alat oleh segelintir
oligarki untuk menguasai pasar dengan dalih mensejahterakan nelayan. Ia khawatir
bahwa nelayan hanya dijadikan korban dalam permainan politik dan ekonomi yang
tidak adil.
“Kami
berharap Presiden Jokowi dan presiden terpilih, Prabowo Subianto, segera
mengevaluasi BLU dan JV dalam menjalankan aturan ini. Jangan sampai Permen 7
ini dijadikan alat legitimasi oleh para mafia yang dulu kesulitan mengirimkan
BBL secara ilegal ke Vietnam,” tambahnya.
Permen 7
Tahun 2024, menurut Hasan, seharusnya menjadi harapan baru bagi para nelayan
yang sebelumnya kesulitan mendapatkan pekerjaan. Namun, dengan adanya mekanisme
yang tidak berjalan sesuai aturan, nelayan enggan berharap banyak.
“KKP
harusnya punya kendali penuh dalam menentukan kebijakan, bukan malah disetir
oleh pengusaha JV dan pengusaha luar negeri. Jika harga BBL tetap tidak stabil
dan berbeda-beda di setiap daerah, ini akan semakin merugikan nelayan dan
pendapatan negara akan tercekik,” jelasnya.
Hasan
menegaskan bahwa stabilitas harga sangat penting untuk meningkatkan
kesejahteraan nelayan, bukan malah menjerumuskan mereka ke dalam kemiskinan
yang lebih dalam. Ia menyerukan agar negara hadir dan tidak tersandera oleh
kepentingan oligarki.
“Kita punya sumber daya alam yang melimpah, seharusnya negara hadir sebagai alat untuk mensejahterakan masyarakat nelayan. Serikat Nelayan Independen akan terus bersuara, mengawal, dan mengawasi setiap kebijakan pemerintah, agar hak-hak nelayan terlindungi dan keadilan bagi mereka tercapai,” pungkas Hasan Gauk.