![]() |
Rektor Universitas Gunung Rinjani, Dr. basri Mulyani, SH., MH l. (Foto: Istimewa/MP). |
MANDALIKAPOST.com – Wacana pemberian izin usaha pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi menuai kritik tajam dari Rektor Universitas Gunung Rinjani (UGR), Dr. Basri Mulyani, SH., MH. Menurutnya, wacana ini merupakan "jebakan" untuk membungkam sikap kritis kampus terhadap pemerintah.
"Wacana kampus dapat izin tambang merupakan jebakan untuk membuat perguruan tinggi yang semestinya kritis menjadi bungkam terhadap pemerintah," tegas Basri dalam keterangannya saat dikonfirmasi, Kamis (6/2).
Basri memaparkan beberapa alasan mengapa kampus harus menolak mentah-mentah pemberian WIUP. Pertama, ia menyoroti rekam jejak buruk pengelolaan tambang yang selalu berdampak negatif terhadap lingkungan.
"Pengelolaan tambang selama ini selalu berdampak negatif terhadap lingkungan. Belum ada rekam jejak tambang memproteksi lingkungan atau melindungi manusia," ujarnya.
Kedua, Basri tidak setuju jika pemberian konsesi pengelolaan tambang dianggap dapat mengembangkan pendidikan. Menurutnya, izin tersebut justru akan merusak integritas dunia pendidikan dan menghancurkan masa depan bangsa.
"Pemberian izin itu justru merusak integritas dunia pendidikan dan menghancurkan masa depan bangsa. Hal ini karena orientasi tambang adalah keuntungan, tanpa menghitung biaya sosial maupun biaya lingkungan hidup yang ditimbulkan dari pertambangan, maka tidak ada pembangunan berkelanjutan tersebut," paparnya.
Ketiga, izin tambang akan merusak marwah kampus sebagai lembaga pendidikan, penelitian, dan pengabdian dengan Tri Dharmanya. Kampus akan terlibat dalam pragmatisme dan keuntungan semata melalui bisnis berisiko tinggi seperti tambang, alih-alih fokus pada pemajuan ilmu pengetahuan.
"Izin tambang akan merusak marawah kampus sebagai Lembaga Pendidikan, penelitian dan pengabdian dengan Tri Darmanya," kata Basri.
Keempat, potensi konflik kepentingan dalam pengelolaan izin tambang sangat mungkin terjadi. Perebutan profit, kerusakan ekologi dan sosial budaya di tengah masyarakat, hingga persoalan korupsi di sektor pertambangan menjadi ancaman nyata jika kampus terlibat dalam pengelolaan tambang.
"Konflik kepentingan dalam pengelolaan izin tambang akan sangat mungkin terjadi. Konflik kepentingan itu berhubungan dengan perebutan profit, bahkan rusaknya ekologi dan social budaya di Tengah-tengah Masyarakat jika kampus masuk dalam pengelolaan tambang. Belum lagi persoalan korupsi di sektor pertambangan yang harus kampus masuk terjerembab dalam lingkungan pertambangan," jelasnya.
Basri menegaskan bahwa core business kampus adalah pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat, bukan pengelolaan tambang.
Ia meminta rencana pemberian konsesi pertambangan dibatalkan dan mengajak perguruan tinggi di Indonesia untuk merenungkan dampak sosial serta lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh pengelolaan tambang.
"Lebih baik perguruan tinggi di Indonesia ini memikirkan bersama dampak sosial dan dampak lingkungan hidup yang ditimbulkan dari pengelolaan tambang. Termasuk potensi konflik kepentingan dan konflik ekologi, social budaya dan ekonomi yang akan timbul dari pengelolaan tambang," pungkasnya.