Catatan atas draf Peraturan Senat tentang Tata Cara Pemilihan Rektor Tahun 2025.
Oleh : Martoni Ira Malik, Mahasiswa FKIP Jurusan Pendidikan Sosiologi Martoni Ira Malik, Mahasiswa FKIP Jurusan Pendidikan Sosiologi
![]() |
Martoni Ira Malik, Mahasiswa FKIP Jurusan Pendidikan Sosiologi. (Foto: Istimewa/MP). |
MANDALIKAPOST.com - Dalam dinamika demokrasi kampus, pemilihan rektor merupakan momentum strategis. Ia bukan sekadar urusan pergantian kepemimpinan, tetapi juga cermin dari integritas institusi dan kedewasaan hukum di lingkungan akademik.
Dalam konteks ini, Universitas Mataram (UNRAM) patut diapresiasi karena tengah menyusun draf Peraturan Senat tentang Tata Cara Pemilihan Rektor Tahun 2025. Namun apresiasi saja tidak cukup—perlu pengawasan publik terhadap substansi, bukan hanya niat baik.
Salah satu bagian paling krusial dalam draf ini adalah soal persyaratan calon rektor, khususnya pada Pasal 2 huruf c, yang menyatakan bahwa calon rektor harus “berusia paling tinggi 60 (enam puluh) tahun, yang mengandung makna belum memasuki ulang tahun ke 61 (enam puluh satu) pada saat berakhirnya masa jabatan Rektor yang sedang menjabat.”
Frasa ini mengingatkan kita pada polemik hukum di beberapa kampus negeri lainnya seperti kasus Pilrek UNIMA dan UNSRAT yang akhirnya berbuntut hingga ke Mahkamah Agung dan kementerian. Misalnya, dalam kasus UNSRAT, pengangkatan dekan dibatalkan Mahkamah Agung karena melampaui batas usia, meski sebelumnya disandarkan pada surat Sekjen yang menyebut 'belum memasuki usia 61 tahun'.
Inti masalahnya selalu sama: bolehkah seseorang mencalonkan diri sebagai rektor jika pada akhir masa jabatan nanti ia telah melewati usia 60 tahun?
Ketegasan Regulasi Nasional
Berbagai peraturan sudah jelas menyatakan bahwa batas usia maksimal calon pimpinan PTN adalah 60 tahun. Ketentuan ini termuat dalam Permenristekdikti Nomor 19 Tahun 2017 jo. Nomor 21 Tahun 2018, dan telah ditegaskan ulang melalui Surat Klarifikasi Kemdiktisaintek No. 0163/M.A/HK.10/2024.
Surat itu bahkan menolak dengan tegas penggunaan tafsir longgar seperti “belum 61 tahun” yang pernah termuat dalam Surat Sekjen 2022. Penegasannya tegas: regulasi nasional bersifat mengikat dan tidak bisa digantikan dengan surat administratifyang hanya bersifat penjelasan dan tidak memiliki kekuatan hukum normatif.
Yang menarik, draf peraturan senat UNRAM ini mencoba menjembatani batas tersebut dengan tetap mencantumkan usia maksimal 60 tahun, namun menggunakan frasa 'belum memasuki ulang tahun ke-61'.
Padahal, penggunaan frasa semacam ini pernah dinila sebagai sumber cacat hukum oleh Mahkamah Agung, yang menyebut bahwa norma usia harus mengacu pada regulasi, bukan interpretasi administratif.
Jika UNRAM tetap menggunakan redaksi serupa tanpa merujuk tegas pada Permenristekdikti, maka potensi gugatan hukum akan tetap terbuka dan hasil pemilihan bisa dibatalkan. Dengan tetap mencantumkan usia maksimal 60 tahun, namun menggunakan frasa "belum memasuki ulang tahun ke-61".
Di sinilah ruang kontroversi masih bisa muncul, jika frasa itu tidak ditegaskan bahwa rujukannya harus tunduk pada regulasi nasional, bukan sekadar penafsiran senat.
Antisipasi Potensi Cacat Hukum
Seperti yang terjadi di UNSRAT, pengangkatan pejabat yang melanggar ketentuan usia dianggap cacat hukum, dan telah dibatalkan oleh Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 258K/TUN/2024.
Putusan itu bersifat erga omnes: berlaku universal dan wajib dipatuhi semua pejabat TUN. Artinya, jika UNRAM suatu saat tetap memaksakan pencalonan rektor yang melanggar batas usia tersebut, maka legitimasi hasil Pilrek bisa dibatalkan secara hukum.
Poin lainnya yang perlu disorot adalah penyusunan panitia pemilihan. Dalam draf Pasal 5, panitia terdiri dari unsur senat, dosen fakultas, tenaga kependidikan, dan unsur universitas. Struktur ini ideal secara administratif, tapi akan lebih kuat jika pelibatan unsur luar juga dipertimbangkan.
Sebagai contoh, dalam proses Pilrek Universitas Gadjah Mada, keterlibatan Ombudsman dan pemantau independen dari kalangan akademisi lintas kampus pernah diterapkan untuk menjaga transparansi dan mencegah konflik kepentingan. (misalnya, pengamat independen dari Ombudsman atau akademisi lintas kampus) juga dibuka, guna memperkuat transparansi dan akuntabilitas.
Melihat Irisan Perspektif Alumni dan Mahasiswa
Polemik mengenai batas usia calon rektor yang diatur dalam surat Sekjen Dikti telah memicu diskusi hangat di kalangan mahasiswa. Sebagai subyek yang yang akan merasakan dampak langsung dari kebijakan ini, kami memiliki pandangan yang beragam mengenai batasan usia tersebut.
Di satu sisi, banyak mahasiswa yang mendukung adanya batas usia maksimal untuk calon rektor. Kami percaya bahwa perguruan tinggi perlu dipimpin oleh individu yang memiliki pemahaman yang mendalam tentang tantangan dan dinamika yang dihadapi oleh generasi muda saat ini.
Dalam era digital dan globalisasi, pemimpin yang lebih muda cenderung lebih adaptif terhadap perubahan, lebih terbuka terhadap inovasi, dan lebih memahami kebutuhan serta aspirasi mahasiswa. Dengan demikian, batasan usia ini dapat menjadi langkah positif untuk mendorong regenerasi kepemimpinan yang lebih relevan dengan konteks zaman.
Namun langkah Universitas Mataram membaca batas usia pencalonan bakal calon rektor sebagai regulasi dalam proses pemilihan rektor justru mnejadi bomerang yang menurut asumsi liar kami adanya potensi cacat dalam regulasi.
Jika melihat kembali draf peraturan senat pasal 2 huruf c, rasa rasanya menimbulkan berbagai macam irisan perspektif mulai dari batas 60 ( enam puluh) tahun, yang mengandung makna sesuai dengan apa yang dijelaskan di pragraf ke 2 di atas.
Pada akhirnya frasa umur yang ada dalam draf peraturan senat ini membuat kami berpikir apakah akan ada babak baru polemik pemilihan rektor unram. Pada akhirnya situasi ini menempatkan Universitas Mataram pada dilema hukum dan administratif memanfaatkan surat Dirjen Dikti dan balasan sekjen sebagai dasar hukum dalam proses pemilihan berpotensi melahirkan sengketa hukum yang dapat merusak legitimasi institusi.
Oleh karena itu, diperlukan analisis yang holistik untuk menilai keabsahan dasar regulasi yang digunakan sebagai landasan pemilihan, menelaah implikasi hukumnya, dan memberikan langkah – langkah strategis bagi Universitas Mataram agar dapat menyelasaikan polemik ini secara sah, transparan, dan akuntabel.
Penting juga untuk diingat bahwa disisi lain kepemimpinan yang efektif dalam pendidikan tinggi tidak hanya bergantung pada usia, tetapi juga pada kemampuan untuk beradaptasi dan berinovasi.
Dalam konteks ini, kami berharap agar Kementerian dapat mempertimbangkan pendekatan yang lebih fleksibel dalam menetapkan kriteria pencalonan rektor.
Dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa institusi pendidikan tinggi dipimpin oleh individu yang paling mampu membawa perubahan positif dan kemajuan bagi dunia pendidikan.
Meneguhkan Moral Kelembagaan
Apa yang ditata dalam draf senat ini bukan hanya kerangka prosedural. Ia adalah landasan moral kelembagaan. UNRAM memiliki kesempatan besar untuk menjadi kampus percontohan: kampus yang tidak hanya taat prosedur, tetapi juga teguh pada prinsip hukum nasional.
Peraturan senat bukanlah ruang kompromi terhadap hukum, tetapi instrumen untuk menegakkan standar etik dan legalitas. Karena itu, penyusunan frasa dan pengaturan teknis dalam draf ini harus didampingi dengan kesadaran konstitusional dan kehati-hatian administratif.
Dunia kampus harus menjadi tempat yang paling duluan (terdepan) dalammenegakkan kepastian hukum. Jangan sampai pemilihan rektor yang semestinya menjadi ajang konsolidasi akademik justru berubah menjadi bola panas hukum karena kelalaian terhadap detail regulasi.
Jika UNRAM bisa menyelesaikan peraturan ini dengan cermat, adil, dan berbasis norma yang sahih, maka kepercayaan publik dan marwah institusi akan naik. Namun jika longgar, maka bukan hanya hasil pemilihannya yang bisa digugat, tapi kredibilitas kelembagaannya yang bisa tergerus.
Penutup
Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) menjadi contoh nyata tentang bagaimana ketidakpatuhan terhadap aturan dapat berujung pada konsekuensi serius yang mencoreng reputasi institusi.
Pelanggaran terhadap prosedur dan substansi hukum dalam pemilihan pimpinan di UNSRAT mengajarkan bahwa pengabaian terhadap regulasi tidak hanya membawa risiko hukum tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan tinggi.
Hal ini memberikan pelajaran berharga bagi Universitas Mataram, bahwa memastikan setiap tahapan pemilihan pimpinan sesuai dengan ketentuan hukum adalah sebuah keharusan, bukan sekadar pilihan.
Kepatuhan terhadap prosedur formal menjadi fondasi awal yang harus ditegakkan. Setiap tahapan pemilihan, mulai dari penjaringan hingga pengangkatan, harus berjalan sesuai mekanisme yang ditetapkan dalam peraturan. Tidak boleh ada ruang untuk penyimpangan, karena hal ini dapat memunculkan konflik atau kecurigaan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Dengan mengikuti prosedur yang telah ditentukan, Universitas Mataram dapat menjaga proses yang adil dan transparan. Prinsip transparansi dan akuntabilitas harus menjadi panduan utama dalam setiap pengambilan keputusan.
Penilaian terhadap kandidat, misalnya, harus dilakukan berdasarkan kriteria yang jelas, objektif, dan terdokumentasi dengan baik. Tanpa ini, proses seleksi berisiko kehilangan legitimasi. Transparansi tidak hanya menjaga kepercayaan para pemangku kepentingan tetapi juga melindungi universitas dari tuduhan penyalahgunaan kewenangan atau konflik kepentingan.
Yang tidak kalah penting adalah kepatuhan terhadap batas usia, seperti yang diatur secara tegas dalam Permenristekdikti Nomor 19 Tahun 2017. Aturan ini menetapkanbahwa calon pimpinan PTN harus berusia maksimal 60 tahun, tanpa ruang untuk interpretasi ulang. Ketaatan pada ketentuan ini mencerminkan penghormatan terhadap hukum dan memperkuat legitimasi setiap keputusan yang diambil dalam proses pemilihan.
Dengan belajar dari kasus UNSRAT, Universitas Mataram memiliki peluang besar untuk memperbaiki tata kelola administrasi dan memastikan bahwa setiap proses dilakukan secara sah dan akuntabel. Keberhasilan sebuah institusi pendidikan tinggi tidak hanya bergantung pada prestasi akademik, tetapi juga pada integritasnya dalam menjalankan tata kelola yang baik.
Kasus UNSRAT menjadi pengingat yang jelas bahwa ketaatan terhadap hukum bukan hanya tanggung jawab administratif, tetapi juga nilai fundamental yang menopang legitimasi institusi. Universitas Mataram harus mengambil langkah proaktif untuk menunjukkan bahwa mereka tidak hanya mematuhi hukum, tetapi juga menjadikannya panduan dalam setiap aspek tata kelola.
Referensi:
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Peraturan Menteri Ristekdikti No. 19 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin PTN. Jakarta, 2017.
Peraturan Menteri Ristekdikti No. 21 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Permenristekdikti No. 19 Tahun 2017. Jakarta, 2018.
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Surat Klarifikasi No.0163/M.A/HK.10/2024. 23 Des. 2024.
Sekretaris Jenderal Kemdikbudristek. Surat No. 16244/A.A3/TP.00.02/2022 tentang
Penafsiran Usia Pimpinan PTN. 8 Mar. 2022.
Mahkamah Agung RI. Putusan Kasasi No. 258K/TUN/2024. 2024.
Pemerintah RI. Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Jakarta, 2014.
Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif. Jakarta, 2016.
Senat Universitas Mataram. Draf Peraturan Senat UNRAM Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemilihan Rektor. Mataram, 2025.
Universitas Gadjah Mada. Dokumen Internal Pilrek UGM. Yogyakarta, 2022.