![]() |
Ketua Forum Wisata Lingkar Rinjani, Royal Sembahulun saat memaparkan perjalanan Forum hingga diakui jadi mitra TNGR. (Foto Rosyidin/MP). |
MANDALIKAPOST.com – Suasana hangat namun sarat akan aspirasi mewarnai rapat koordinasi pengelolaan wisata alam pendakian Gunung Rinjani yang mempertemukan Forum Wisata Lingkar Rinjani (FWLR) beserta berbagai asosiasi pelaku wisata dengan perwakilan pemerintah provinsi dan kabupaten terkait, Senin (14/4/2025).
Acara tersebut, di pasilitasi oleh Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) Bertempat di kantor TNGR Mataram, dalam Rapat Koordinasi Pengelolaan Wisata Alam Pendakian Gunung Rinjani. Pertemuan ini menjadi wadah bagi para pemangku kepentingan untuk menyampaikan keluh kesah, harapan, hingga polemik yang terjadi di balik layar industri pariwisata Rinjani.
Ketua FWLR, Royal Sembahulun, membuka diskusi dengan memaparkan sejarah dan dinamika forum yang ia pimpin.
“Forum wisata lingkar Rinjani ini didirikan pada tahun 2016, pada saat itu memang ada peraturan menteri yang mengamanatkan adanya forum sebagai mitra taman nasional,” jelas Royal.
Ia menekankan bahwa FWLR yang kini menaungi beragam elemen seperti porter, guide, pengusaha jasa wisata, pedagang, hingga pengelola pendakian, berupaya mengakomodasi kepentingan seluruh stakeholder.
“Sejatinya forum ini adalah mitra taman nasional,” imbuhnya.
Royal mengakui tantangan dalam menyatukan berbagai latar belakang dan aspirasi anggota forum.
“Kerja lintas kabupaten tentunya memiliki anggota berbeda-beda, berbeda karakter, berbeda pandangan terhadap memandang bagaimana menjadi masa depan,” ungkapnya.
Perbedaan pandangan ini tercermin dalam isu krusial seperti kuota pendakian. “Ada tuntutan kawan-kawan yang meminta untuk kuota unlimited, tetapi ada juga teman-teman yang hanya menuntut harus tetap dibatasi karena menyangkut daya tampung dan re-entry,” paparnya.
Ia berharap pertemuan ini dapat menemukan jalan tengah, mengingat Taman Nasional Gunung Rinjani merupakan kawasan konservasi yang mengedepankan pembangunan berkelanjutan.
“Di mana di situ sosial ekonomi lingkungan itu harus kita perhatikan,” tegas Royal.
Gelombang aspirasi kemudian berlanjut dari perwakilan berbagai asosiasi. Lalu Sapta Wijaya, Ketua ASTO Loteng (Asosiasi Trekking Organizer Lombok Tengah, Lombok Barat, dan Kota Mataram), menyampaikan dukungan penuh terhadap FWLR dan Taman Nasional.
“Apapun yang terjadi kami tetap loyal terhadap forum, loyal terhadap taman nasional sebagai mitra,” ujarnya.
Ia menyoroti dampak kurang sehat dari kejadian di awal pembukaan jalur pendakian dan berharap pengelolaan wisata Rinjani dapat menjadi lebih baik.
![]() |
Rapat koordinasi pengelolaan wisata alam pendidikan gunung Rinjani, (Foto: Rosyidin/MP). |
Sementara itu, Hamka Abdul Malik, Ketua Asosiasi Pengusaha Pariwisata Rinjani (APPR) menyoroti upaya peningkatan kualitas layanan pendakian.
“Sebagai jalur utama pendakian, maka kalau misalkan APPPR sudah sedang melakukan membangun ekosistem bisnis yang premium,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa APPR tengah mempersiapkan para pengusaha untuk memahami bisnis pendakian premium yang mengedepankan kualitas dan kelestarian lingkungan.
“Jadi tidak hanya menggunakan porter sebanyak-banyaknya, kita berbicara tentang kualitas,” tegasnya.
Pandangan berbeda namun tetap konstruktif disampaikan oleh I Putu Puspanegara, Ketua Himpunan Penyedia Jasa Wisata Alam Rinjani (Pijar). Ia menjelaskan bahwa Pijar memilih untuk tidak terlalu terlibat dalam konflik yang terjadi belakangan ini.
“Kami ini pengusaha, kami bukan orang politik, kami bukan ee pejabat pemerintah,” ujarnya.
Pijar lebih fokus pada penciptaan kondisi yang aman dan nyaman bagi wisatawan. “Bagaimanapun juga kondisi yang aman dan nyaman itu harus menjadi utamanya,” imbuhnya.
Terkait isu kuota, Pijar sepakat untuk penambahan kuota namun tetap mengedepankan keamanan dan kenyamanan wisatawan.
“Keamanan kota memang kami inginkan, tapi masih ada di atas kuota itu yang harus kami utamakan,” pungkasnya.
Polemik internal FWLR turut mencuat melalui penyampaian ketua Asosiasi Tracking Organaiz Senaru (ATOS), Munawir menyampaikan adanya kebijakan forum yang dianggap merugikan asosiasi, kebijakan tertutup dari pihak Taman Nasional yang tidak diterima masyarakat, hingga peran guide yang dinilai kurang tepat dalam menyampaikan informasi.
“Ada kebijakan CS yang mendelegasikan aturan guide atau sebagai penyambung lidah TN dalam menjalankan suatu aturan yang belum dipahami sama anggota asosiasi,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti dugaan kebijakan forum yang tidak sesuai dengan anggaran dasar dan rumah tangga (AD/ART) serta proses pemberhentian anggota forum yang dinilai tidak sesuai prosedur.
“Kami cari asosiasi minta untuk pihak Taman Nasional untuk mengakui forum di masing-masing wilayah di wilayah untuk mengakomodir aspirasi-aspirasi asosiasi dengan lebih cepat supaya tidak terjadi konflik permasalahan,” harapnya.
Rapat koordinasi ini menjadi bukti bahwa dinamika pengelolaan wisata Rinjani melibatkan berbagai kepentingan dan tantangan.
Aspirasi yang disampaikan para pelaku wisata ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dan pihak Taman Nasional untuk merumuskan kebijakan yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan mengakomodasi seluruh stakeholder demi kemajuan pariwisata Rinjani di masa depan.