Mahasiswa asal NTB bersama tenaga pengajar di Chodang University, Korea Selatan. (Foto: Dokumentasi/Istimewa) |
MATARAM - Belasan orang Tenaga Kesehatan asal Nusa Tenggara Barat (NTB), mahasiswa peserta program percepatan S1 di Chodang University, Korea Selatan, harusnya mulai masuk ke bangku kuliah September 2019 ini.
Tapi, karena berbagai kendala di negeri gingseng itu, para mahasiswa tak bisa meraih impiannya.
Bukannya mengenyam pendidikan, mereka malah harus melewati masa-masa sulit, dan beberapa diantaranya bahkan harus menjalani kerja serabutan.
"Iya saya pernah bekerja disini, bersih-bersih di rumah salah satu warga Korea, pernah juga di pabrik udang. Dan juga membantu berjualan di pasar," kata Sitti Aminah, Rabu (4/9) saat dihubungi dari Mataram.
Sitti termasuk 18 tenaga kesehatan asal NTB yang ikut program percepatan S1 di Chodang University.
BACA JUGA : Batal Raih S1, Belasan Tenaga Kesehatan asal NTB di Korea Memilih Pulang !!
Ia juga memilih resign dari sebuah klinik swasta di Lombok Barat, karena tertarik ikut dalam program ini.
Janji-janji di brosur yang ia terima cukup menggiurkan selain bisa meningkatkan strata pendidikannya, juga bisa sambil bekerja dengan gaji lumayan besar.
"Tapi faktanya setelah sampai disini ternyata tidak sesuai harapan," katanya.
Selain merasa kecewa, Sitti juga merasa terbeban dengan hutang yang harus ditanggungnya.
Sama seperti para mahasiswa lainya, sebelum berangkat ke Korea, mereka harus membayar Rp60 juta.
"Kalau kami yang non PNS pinjam di bank (Bank NTB Syariah) itu Rp60 juta. Nah ini yang sangat berat nanti setelah kami pulang," katanya.
Selama di Korea Sitti merupakan salah satu penerjemah untuk mahasiswa Indonesia dengan pihak kantor international program Chodang University.
Menurutnya, keraguan sudah mulai dirasakan saat berkomunikasi dengan pihak kampus.
"Yang membuat saya ragu dengan kampus ini karena seperti kurangnya sinkronasi antara ketua jurusan dengan para stafnya. Misalnya sebelum ujian topik Ketua jurusannya menyampaikan kami bisa masuk Universitas itu jika bisa lulus level 2, namun staffnya bilang harus lulus level 3," katanya.
Gagal meraih pendidikan di Korea bagi Sitti diambil sebagai pengalaman. Menurutnya, Pemprov NTB juga sudah menunjukan itikad baik dengan akan memfasilitasi pemulangan mereka.
"Ya harapan saya simple saja sih, untuk masalah hutang ini bisa dibantu," katanya.
Seorang mahasiswa lainnya, Muhammad Natsir menjelaskan, saat ini 14 orang mahasiswa (sebelumnya diberitakan 18), memilih untuk tidak melanjutkan program pendidikan di Chodang University. Mereka juga sudah keluar dari asrama sejak sepekan terakhir.
Sementara 4 lainnya memilih bertahan di asrama dan melanjutkan pendidikan bahasa Korea di Chodang University.
"Jadi yang sudah pasti pulang ada 14 sedangkan 4 orang lainnya, mereka perempuan semua memilih menyelesaikan pendidikan bahasa sampai Desember 2019," katanya.
Seperti Sitti, Natsir juga mengaku sempat bekerja di perkebunan bawang di Kabupaten Muan, yang masih satu wilayah dengan lokasi Chodang University. Pernah juga bekerja di pabrik pengolahan kertas, dengan upah harian.
Saat dihubungi Rabu siang, Natsir dan beberapa rekannya juga tengah bersiap untuk bekerja di areal perkebunan buah-buahan.
"Yang sekarang agak lebih baik. Kami dijemput dan diantar pulang ke lokasi dengan kendaraan pemilik perkebunan," akunya.
Bekerja di Korea memang cukup menjanjikan. Upah buruh harian di sana bisa mencapai Rp800 ribu hingga Rp1 juta per hari, dalam 12 jam kerja.
Nilai yang hampir sama dengan gaji pembantu rumah tangga selama sebulan di NTB.
"Tapi masalahnya bukan itu.Kami datang ke sini kan karena program pemerintah, tujuan kami ya untuk pendidikan bukan untuk bekerja," tukas Natsir.
Lagipula, meski pendapatan lumayan besar, bagi Natsir dan para mahasiswa lain yang sebenarnya tenaga kesehatan tetap saja terasa lebih nyaman menjadi para medis di NTB, ketimbang buruh tani di Korea.
Ia mengatakan, 14 mahasiswa yang berhenti mengikuti program pendidikan di Chodang University, akan pulang ke NTB pada 13 September mendatang.
Sudah ada kepastian dari Pemprov NTB untuk memulangkan mereka.
"Tanggal 13 flight ticket issued, by Garuda. Yang jemput Bu Immanuella dari LPP (NTB)," kata Natsir.
BACA JUGA : Batal Raih S1, Belasan Tenaga Kesehatan asal NTB di Korea Memilih Pulang !!
Kasus pengiriman tenaga kesehatan NTB untuk program pendidikan di Chodang University, Korea Selatan ini, menjadi preseden buruk bagi NTB.
Apalagi di saat masalah terjadi, sejumlah pihak terkesan lempar tanggung jawab.
Dalam postingan media sosialnya, Gubernur NTB Dr H Zulkieflimansyah menjelaskan beberapa pertanyaan masyarakat terkait program unggulan NTB.
Salah satunya yang menyoroti soal program percepatan S1 di Korea ini. Dia menjelaskan, program ini diinisiasi oleh Prof Hamsu, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Mataram.
"Ada lagi yang mempermasalahkan tentang pengiriman mahasiswa ke Korea bahkan mencurigai ini motif untuk perdagangan manusia. Padahal ini program sederhana. Yang punya ide memberangkatkan anak-anak NTB ke Luar Negeri bukan kami saja. Banyak orang-orang dan tim lain," tulis Dr Zul dalam akun facebook Bang Zul Zulkieflimansyah.
Menurutnya ide memberangkatkan lulusan D3 keperawatan dan melanjutkan S1 di Chodang University tersebut merupakan ide yang diinisiasi oleh Dr Hamsu dari Fakuktas Kedokteran Unram.
"Kata beliau kita punya kelebihan perawat, dan sambil sekolah anak-anak kita bisa bekerja membantu di bidang perawatan dan kesehatan di Korea dengan gaji yang lumayan. Menurut kami program ini bagus dan harus didukung," katanya.
Tapi, lanjutnya, pihaknya juga meminta Prof Hamsu untuk mengecek kualitas dan reputasi Chodang University sambil mengirimkan Kadis Kesehatan NTB, Dr Nurhandini Eka Dewi dan Dirut RSUP NTB Dr Hamzy Fikri.
"Setelah semuanya oke, baru berani kita kirimkan anak-anak kita ke sana. Bahwa kemudian ada hal-hal yang kenyataannya tidak sesuai dengan yang dijanjikan tentu patut disesali. Kita tinggal perbaiki kalau ada prosedur yangg keliru atau ganti tempat studi ke tempat yang sesuai harapan," katanya.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB, Dr Nurhandini Eka Dewi yang dikonfirmasi Rabu (4/9) belum bersedia memberikan keterangan.
Dikonfirmasi di Mataram, Ketua Kerjasama Antar Bangsa LPP NTB Imanuela Andilolo membenarkan, bahwa LPP NTB akan menjemput untuk pemulangan 14 tenaga kesehatan asal NTB itu.
"Iya, kita akan ke Korea tanggal 8 September ini, untuk menjemput 14 orang mahasiswa NTB itu," kata Immanuela.
Ia menjelaskan, program percepatan S1 di Chodang University ini bukan program beasiswa LPP NTB.
LPP NTB mengambilalih tanggungjawab untuk membantu nasib para mahasiswa. Baik 18 orang yang sudah berada di Korea, maupun 17 orang yang batal berangkat.
"Kami diminta oleh pak Gubernur untuk bantu Dikes (NTB)," katanya.
Menurut Immanuela, LPP tidak melihat dari mana program ini berasal, tapi yang terpenting ialah menyelamatkan nasib para tenaga kesehatan ini.
"Yang ini saya pertegas bahwa program Korea ini bukan program LPP dan sama sekali bukan program beasiswa luar negeri LPP," katanya.
Immanuela mengaku, LPP NTB ikut terdampak dengan masalah program pendidikan S1 Korea ini.
Beberapa penerima beasiswa LPP NTB yang akan berangkat ke sejumlah negara seperti Malaysia sudah banyak bertanya.
"Ada awardee dan orangtua mereka bertanya, mereka khawatir nasibnya sama dengan Korea ini. Ya saya tegaskan (Korea) itu bukan LPP," katanya.
Meski begitu, Immanuela menukas, harus ada yang bertanggungjawab atas masalah program Korea ini. (*/Bersambung)